Search This Blog

Monday, September 30, 2019

Situs Waruga


Situs Waruga di Minahasa Utara
Memasuki salah satu situs bersejarah di Minahasa Utara ini butuh sedikit perjuangan untuk mencarinya. Letaknya yang berada di belakang perumahan dan lahan penduduk membuat salah satu situs bersejarah di Sulawesi Utara ini agak tersembunyi. Inilah Situs Waruga Sawangan yang merupakan kuburan tua peninggalan zaman megalitik orang Minahasa.

Waruga di Minahasa diperkirakan berkembang pada sekitar awal abad ke-13 sebelum Masehi. Kemunculan Waruga pertama kali di daerah Bukit Kelewer, Treman, dan Tumaluntung, Kabupaten Minahasa Utara. Kemunculan Waruga kemudian terus berkembang di berbagai daerah di Sulawesi Utara hingga awal abad ke-20 Masehi.

Pada zaman pra-sejarah masyarakat Minahasa masih percaya jika roh leluhur memiliki kekuatan magis. Untuk itu, kuburan dibuat secara khusus dengan seindah mungkin. Waruga terdiri dari dua bagian, bagian badan dan bagian tutup. Bagian badan berbentuk kubus dan bagian tutup berbentuk menyerupai atap rumah.

Uniknya, waruga tidak dibuat oleh kerabat atau keluarga dari orang yang meninggal akan tetapi dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggal. Ketika orang itu akan meninggal maka dengan sendirinya akan memasuki waruga yang dibuatnya itu setelah diberi bekal kubur lengkap. Suatu hari bila itu dilakukan dengan sepenuhnya akan mendatangkan kebaikan bagi keluarga yang ditinggalkan.

Sebenarnya di Sulawesi Utara banyak terdapat situs Waruga, salah satunya di Desa Sawangan Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa Utara. Terdapat 143 buah Waruga di desa ini yang dibagi dalam beberapa ukuran yang dikelompokkan menjadi 3 kelompok.

Kelompok pertama, Waruga berukuran kecil dengan ketinggian antara 0-100 cm sebanyak 10 buah. Kedua, Waruga berukuran sedang dengan ketinggian antara 101-150 cm sebanyak 52 buah. Ketiga, Waruga berukuran besar dengan ketinggian antara 151-250 cm sebanyak 81 buah.
Waruga sendiri berasal dari bahasa Tombulu, yakni dari suku kata Wale Maruga yang memiliki arti rumah dari badan yang akan kering. Waruga juga memiliki arti lainnya yakni Wale Waru atau kubur dari Domato atau sejenis tanah lilin.

1      2      3      4      5      6      7      8      9      10

Saturday, September 28, 2019

Lompat Batu Nias

Tradisi melompat batu atau yang biasa disebut oleh orang Nias sebagai fahombo batu adalah pada mulanya dilakukan oleh seorang pemuda Nias untuk menunjukan bahwa pemuda yang bersangkutan sudah dianggap dewasa dan matang secara fisik. Lebih jauh dari itu bila sang pemuda mampu melompati batu yang disusun hingga mencapai ketinggian 2 m dengan ketebalan 40 cm dengan sempurna maka itu artinya sang pemuda kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya samu’i mbanua atau la’imba hor, jika ada konflik dengan warga desa lain.
Tapi satu hal yang perlu diketahui bahwa tradisi lompat batu ini tidak terdapat di semua wilayah Nias dan hanya terdapat pada kampung-kampung tertentu saja seperti di wilayah Teluk Dalam. Dan satu hal lagi, tradisi ini hanya boleh diikuti oleh kaum laki-laki saja, dan sama sekali tak memperbolehkan kaum perempuan untuk mencobanya mengingat lompat batu merupakan ajang ketangkasan yang nantinya bila berhasil melompat dengan sempurna yang bersangkutan akan didampuk menjadi pembela kampungnya ketika ada perselisihan dengan kampung lain.

Oleh karena begitu prestisiusnya kemampuan lompat batu ini, maka sang pemuda yang telah berhasil menaklukan batu ini pada kali pertama bukan saja akan menjadi kebanggaan dirinya sendiri tapi juga bagi keluarganya. Bagi keluarga sang pemuda yang baru pertama kali mampu melompati batu setinggi 2 meter ini biasanya akan menyembelih beberapa ekor ternak sebagai wujud syukuran atas keberhasilan anaknya.

Karena suatu kebanggaan, maka setiap pemuda tidak mau kalah dengan yang lain. Sejak umur sekitar 7-12 tahun atau sesuai dengan pertumbuhan seseorang, anak-anak laki-laki biasanya bermain dengan melompat tali. Mereka menancapkan dua tiang sebelah menyebelah, membuat batu tumpuan, lalu melompatinya. Dari yang rendah, dan lama-lama ditinggikan. Ada juga dengan bantuan dua orang teman yang memegang masing-masing ujung tali, dan yang lain melompatinya secara bergilir. Mereka bermain dengan semangat kebersamaan dan perjuangan.
Uniknya, konon meski sudah latihan keras tidak semua pemuda akhirnya berhasil melewati undukan batu bersusun itu, bahkan tak jarang dari mereka ada yang sampai patah tulang karena tersangkut ketika mencoba melewati batu tersebut. Tapi tak jarang pula ada pemuda yang hanya berlati sekali dua tapi langsung mampu melewati batu tersebut. Menurut kepercayaan setempat hal ini dipengaruhi oleh faktor genetika. Jika ayahnya atau kakeknya seorang pemberani dan pelompat batu, maka diantara para putranya pasti ada yang dapat melompat batu. Kalau ayahnya dahulu adalah seorang pelompat batu semasih muda, maka anak-anaknya pasti dapat melompat walaupun latihannya sedikit. Bahkan ada yang hanya mencoba satu-dua kali, lalu, bisa melompat dengan sempurna tanpa latihan dan pemanasan tubuh.

Kemampuan dan ketangkasan melompat batu juga dihubungkan dengan kepercayaan lama. Seseorang yang baru belajar melompat batu, ia terlebih dahulu memohon restu dan meniati roh-roh para pelompat batu yang telah meninggal. Ia musti memohon izin kepada arwah para leluhur yang sering melompati batu tersebut. Tujuanya untuk menghindari kecelakaan atau bencana bagi para pelompat ketika sedang mengudara, lalu menjatuhkan diri ke tanah. Sebab banyak juga pelompat yang gagal dan mendapat kecelakaan.
Lantas kenapa para pemuda yang mampu melompat batu kemudian akan menjadi ksatria dikampungnya? Itu lantaran ketika terjadi peperangan antar kampung maka para prajurit yang menyerang harus mempunyai keahlian melompat untuk menyelamatkan diri mengingat setiap kampung di wilayah Teluk Dalam rata-rata dikelilingi oleh pagar dan benteng desa. Maka dari itu ketika tradisi berburu kepala orang atau dalam sebutan mereka mangaih’g dijalankan sang pemburu kepala manusia ketika dikejar atau melarikan diri, mereka harus mampu melompat pagar atau benteng desa sasaran yang telah dibangun dari batu atau bambu atau dari pohon tali’anu supaya tidak terperangkap di daerah musuh.Itu juga sebabnya desa-desa didirikan di atas bukit atau gunung hili supaya musuh tidak gampang masuk dan tidak cepat melarikan diri.

Dan bagi pemuda yang dapat selamat dari perangkap musuh itulah yang kemudian akan pulang ke kampungnya dengan segala kehormatan dan dielu-elukan sebagai pahlawan.

1      2      3      4      5      6      7      8      9      10

Thursday, September 26, 2019

KERIS MANIFESTASI "JIWA JAWI"

Disini tidak akan membenarkan dan menyalahkan apa yang sudah terjadi dalam pemahaman soal keris dan tosan aji lainnya. Yang pantas dicari adalah bagaimana budaya keris atau tosan aji itu memberikan manfaat bagi kehidupan kita bersama. Oleh karena itu, sekedar mau menyodorkan sebuah peringatan nenek moyang yang berbunyi "Janjine dudu jimat keramat, ananging angunging Gusti Kang Pinuji"Keris bukan sebagai jimat, tetapi lebih sebagai piyandel (harapan, doa, dan kepercayaan), sebagai sarana memuji dan memuja Sang Pencipta. Intinya keberadaan keris tersebut harus berguna bagi masyarakat. 

Singkat ceritanya keris adalah ilmu dan dipandang sebagai sebuah manifestasi 'Semangat hidup dan kearifan Jawa', Jiwa Jawi. Jawa berasal dari kata "Javana" yang bearti kearif-bijaksanaan. Kata keris berasal dari mangker karana aris artinya mundur dengan bijaksana maksudnya mundur dari dunia ini dengan bijaksana. Oleh karena itu menggeluti dunia keris seharusnya bergulat dengan membaca alam, membaca diri, dan membaca kehendak Sang Pencipta.
Keris merupakan simbol pribadi, piyandel, sipat kandel, dan ini merupakan kepercayaan yang tidak bisa digugat dalam dunia perkerisan. Keris mempunyai makna dan isi, pertama-tama yang harus disadari adalah
keris itu berisi piwulang-wewarah, nasehat untuk hidup dengan baik dan benar (harapan agar manusia menjadi arif dan bijaksana).

Keinginan manusia pada dasarnya hanyalah satu yaitu menuju Sang Pencipta, dan di dalam keris itulah diungkap filsafat sangkan paraning dumadi (asal manusia lahir dan kemana tujuan hidupnya), sangkan paraning pambudi (berupaya mencapai tujuan hidup dengan ilmu) atau Manunggaling Kawula Gusti (upaya menuju arah tujuan hidup). Oleh karenanya secara fisik keris menggambarkan dan menggoreskan harapan sekaligus nasehat agar manusia senantiasa bertindak dan bersikap seperti yang digambarkan oleh keris. Gambaran itu diadopsi di dalam dapur, pamor, juga racikan yang tertera dalam keris. Keris dengan luwes menggambarkan upaya/usaha manusia untuk menuju Sang Pencipta.

Keris ada yang lurus dan ada yang lekuk hal ini menggambarkan suatu semangat Teguh dalam niat, luwes dalam pelaksanaannya artinya manusia diminta bijaksana dalam menjalani hidupnya, luwes dan tidak kaku. Ketajaman keris dimaksudkan bukan untuk perang melawan orang lain, tetapi untuk memerangi diri sendiri, keris bukan untuk membunuh tetapi digunakan untuk melindungi diri dimana hal ini sangat sulit untuk dipisahkan/dibedakan jika seseorang sangat ingin berkuasa, maksudnya adalah kemampuan untuk mengendalikan nafsu dalam diri sendiri.

Lalu dimana letak magis keris? Di dalam filsafat Jawa digoreskan Bapak (wong tuwo) tapa, anak nampa, putu nemu, buyut katut, canggah kesrambah maksudnya jika ayah (orang tua) hidup prihatin dan anak, cucu, cicit, dan canggah yang akan menerima kebahagiaan. Keprihatinan yang diwujudkan dalam benda yang pengerjaannya dilakukan oleh seorang Empu dengan bermati raga dan bertapa selama paling tidak 3 bulan tentu memberikan daya yang sangat kuat yang terekam di dalam mantra yang terpatri dalam godaman sang empu lewat pembakaran dan penempaan yang terus menerus dalam keprihatinan yang mendalam.
Doa yang terlantun dari empu yang berupa mantra-mantra ibarat kaset yang diputar dan terekam di dalam keris dan tosan aji. Kaset itu bisa diputar balik apabila yang mempunyai keris tahu cara memutarnya. Oleh
karena itu dalam dunia perkerisan ada laku/ritual yang harus ditempuh seseorang apabila hendak membeli keris. Membeli keris memang dengan uang, tetapi ada yang lebih penting dari itu, yaitu dengan laku keprihatinan, laku yang sangat umum adalah Tyas manis kang mantesi, ruming wicara kang mranani, sinembah laku utama ( Hati yang baik yang selalu mengemuka, keharuman pembicaraan yang senantiasa menarik, ditambah laku keutamaan ). Tanpa laku itu keris tidak akan bermakna. Keris yang handal butuh laku yang handal pula, oleh karena itu meski kita mempunyai keris Gajah Mada sekalipun tanpa laku yang memadai keris itu tidak akan berguna, lantaran tidak bisa dihidupkan daya magisnya. Walaupun keris iu dalam eksoterinya kurang berkelas, tetapi jika disertai laku luhur pemiliknya, maka boleh jadi keris itu akan bermakna bagi hidup pemiliknya.
Inilah selintas pemahaman keris sebagai manifestasi Jiwa Jawi yang tidak sekedar bermuatan etnis Jawa, tetapi Jawa dalam arti Javana yaitu kearif-bijaksanaan.

1       2       3       4       5       6        7        8        9        10.....

Thursday, July 24, 2014

Warisan Kerajaan Sriwijaya

Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan keberadaanya sempat terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya pada masa lalu.

Pada abad ke-14 meskipun pengaruhnya telah memudar, wibawa dan gengsi Sriwijaya masih digunakan sebagai sumber legitimasi politik. Sang Nila Utama yang mengaku sebagai keturunan bangsawan Sriwijaya dari Bintan, bersama para pengikut dan tentaranya yang terdiri dari Orang Laut, telah mendirikan Kerajaan Singapura di Tumasik. Menurut Sejarah Melayu dan catatan sejarah China yang ditulis Wang Ta Yuan, disebutkan bahwa Kerajaan Siam sempat menyerang kerajaan Singapura pada kurun tahun 1330 hingga 1340. Serangan Siam ini berhasil dipukul mundur. Akan tetapi serangan Majapahit pada penghujung abad ke-14 telah meruntuhkan kerajaan ini. Akibatnya rajanya yang terakhir, Parameswara, terpaksa melarikan diri ke Semenanjung Melayu. Parameswara kemudiannya mendirikan Kesultanan Melaka pada tahun 1402.[59] Kesultanan Melayu Melaka akhirnya menggantikan kedudukan Sriwijaya sebagai kuasa politik Melayu utama di kawasan.

Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. Selama berabad-abad, kekuatan ekononomi dan keperkasaan militernya telah berperan besar atas tersebarluasnya penggunaan Bahasa Melayu Kuno di Nusantara, setidaknya di kawasan pesisir. Bahasa ini menjadi bahasa kerja atau bahasa yang berfungsi sebagai penghubung (lingua franca) yang digunakan di berbagai bandar dan pasar di kawasan Nusantara. Tersebar luasnya Bahasa Melayu Kuno ini mungkin yang telah membuka dan memuluskan jalan bagi Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu Indonesia modern. Adapun Bahasa Melayu Kuno masih tetap digunakan sampai pada abad ke-14 M.

Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia. Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, Sumatera Selatan. Keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.

Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota, dan nama ini juga digunakan oleh Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun 1960 di Palembang. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang). Semuanya dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan merayakan kemaharajaan Sriwijaya yang gemilang. Pada tanggal 11 November 2011 digelar upacara pembukaan SEA Games 2011 di Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang. Upacara pembukaan ini menampilkan tarian kolosal yang bertajuk "Srivijaya the Golden Peninsula" menampilkan tarian tradisional Palembang dan juga replika ukuran sebenarnya perahu Sriwijaya untuk menggambarkan kejayaan kemaharajaan bahari ini.


Sumber : id.wikipedia.org
Foto........: Busana gadis penari Gending Sriwijaya yang raya dan keemasan menggambarkan kegemilangan dan kekayaan Sriwijaya.


1       2       3       4       5       6        7        8        9        10.....

Pemerintahan Kerajaan Sriwijaya

Struktur pemerintahan Kerajaan Sriwijaya

Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial. Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.

Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang di dalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.

Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain diceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada di zaman Sriwijaya. Adapun, jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim). Kemudian terdapat juga Tuha an watak wuruh (pengawas kelompok pekerja),[Note 1] Adyaksi nijawarna/wasikarana (pandai besi/ pembuat senjata pisau), kayastha (juru tulis), sthapaka (pemahat), puwaham (nakhoda kapal), waniyaga (peniaga), pratisra (pemimpin kelompok kerja), marsi haji (tukang cuci), dan hulun haji (budak raja).

Menurut kronik Cina Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua. Seperti yang diterangkan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota, yakni yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua).[20][63] Maka dari itu, Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa untuk mencegah perpecahan di antara anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan Sriwijaya dibagi menjadi dua.


Sumber : id.wikipedia.org
Foto........: Prasasti Telaga Batu.


1       2       3       4       5       6        7        8        9        10.....

Masa Kerajaan Sriwijaya

Masa keemasan

Masa Keemasan & Masa penurunan
Kerajaan Sriwijaya

Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.[50]

Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam,[2] dan Filipina.[51] Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.

Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.[52]

Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.[11]

Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10, akan tetapi pada akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.[53]

Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song agar Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa Teguh.[53]

Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera. Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa.[53]

Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu.[54] (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).[15]

Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.

Masa penurunan
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya.[55] Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i ke Cina tahun 1028.[56]

Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam. Karena adanya pengendapan lumpur di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang semakin berkurang.[57] Akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh dari laut dan menjadi tidak strategis. Akibat kapal dagang yang datang semakin berkurang, pajak berkurang dan memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya.[11]

Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang sezaman dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh pelarian orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya diserang Kerajaan Chola mereka bermigrasi ke Kalimantan Selatan.

Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088.[2] Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.

Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar pada Cina.[59] Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta besar tersebut mengunjungi Cina.[59] Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota maupun kota lainnya selama periode tersebut.[59] Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan Sriwijaya pada abad ke-11.[60]

Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[61] yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).[6][13]

Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit, juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.

Sumber : id.wikipedia.org
Foto........: Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi, Indonesia.


1       2       3       4       5       6        7        8        9        10.....

Sriwijaya dengan Dinasti Sailendra

Hubungan dengan wangsa Sailendra & Hubungan dengan kekuatan regional

Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena adanya nama Śailendravamśa pada beberapa prasasti di antaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Karena prasasti Sojomerto ditulis dalam bahasa Melayu dn bahasa Melayu umumnya dihunakan pada prasasti-prasasti di Sumatera maka diduga wangsa Sailendra berasal dari Sumatera, Walaupun asal usul bahasa melayu ini masih menunggu penelitian sampai sekarang.

Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India. Kemudian Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa. Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuna di antaranya prasasti Sojomerto

Hubungan dengan kekuatan regional
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.

Sejarawan S.Q. Fatimi menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M), seorang maharaja Sriwijaya (diperkirakan adalah Sri Indrawarman) mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya. Surat itu dikutip dalam Al-'Iqd Al-Farid karya Ibnu Abdu Rabbih (sastrawan Kordoba, Spanyol), dan dengan redaksi sedikit berbeda dalam Al-Nujum Az-Zahirah fi Muluk Misr wa Al-Qahirah karya Ibnu Tagribirdi (sastrawan Kairo, Mesir).

Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah.

Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.

Seperti disebutkan sebelumnya, Sriwijaya di Sumatra meluaskan wilayah degan perpindahan Wangsa Sailendra ke Jawa. Pada kurun waktu tertentu wangsa Sailendra sebagai anggota mandala Sriwijaya berkuasa atas Sriwijaya dan Jawa. Maka Wangsa Sailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang, yaitu Sumatera dan Jawa. Akan tetapi akibat pertikaian suksesi singgasana Sailendra di Jawa antara Balaputradewa melawan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, hubungan antara Sriwijaya dan Medang memburuk. Balaputradewa kembali ke Sriwijaya dan akhirnya berkuasa di Sriwijaya, dan permusuhan ini diwariskan hingga beberapa generasi berikutnya. Dalam prasasti Nalanda yang bertarikh 860 Balaputra menegaskan asal-usulnya sebagai keturunan raja Sailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja Sriwijaya. Dengan kata lain ia mengadukan kepada raja Dewapaladewa, raja Pala di India, bahwa haknya menjadi raja Jawa dirampas Rakai Pikatan. Persaingan antara Sriwijaya di Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika raja Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada tahun 990, tindakan yang kemudian dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 oleh Raja Wurawari ( sebagai sekutu Sriwijaya di Jawa) atas dorongan Sriwijaya.

Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik. Dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan pada abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079. Pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.

Foto........: Lukisan karya GB. Hooijer (dibuat kurun waktu 1916 - 1919) merekontruksi suasana di Borobudur pada masa jayanya.
Koleksi Tropenmuseum.

1       2       3       4       5       6        7        8        9        10.....