Search This Blog

Thursday, July 24, 2014

Warisan Kerajaan Sriwijaya

Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan keberadaanya sempat terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya pada masa lalu.

Pada abad ke-14 meskipun pengaruhnya telah memudar, wibawa dan gengsi Sriwijaya masih digunakan sebagai sumber legitimasi politik. Sang Nila Utama yang mengaku sebagai keturunan bangsawan Sriwijaya dari Bintan, bersama para pengikut dan tentaranya yang terdiri dari Orang Laut, telah mendirikan Kerajaan Singapura di Tumasik. Menurut Sejarah Melayu dan catatan sejarah China yang ditulis Wang Ta Yuan, disebutkan bahwa Kerajaan Siam sempat menyerang kerajaan Singapura pada kurun tahun 1330 hingga 1340. Serangan Siam ini berhasil dipukul mundur. Akan tetapi serangan Majapahit pada penghujung abad ke-14 telah meruntuhkan kerajaan ini. Akibatnya rajanya yang terakhir, Parameswara, terpaksa melarikan diri ke Semenanjung Melayu. Parameswara kemudiannya mendirikan Kesultanan Melaka pada tahun 1402.[59] Kesultanan Melayu Melaka akhirnya menggantikan kedudukan Sriwijaya sebagai kuasa politik Melayu utama di kawasan.

Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. Selama berabad-abad, kekuatan ekononomi dan keperkasaan militernya telah berperan besar atas tersebarluasnya penggunaan Bahasa Melayu Kuno di Nusantara, setidaknya di kawasan pesisir. Bahasa ini menjadi bahasa kerja atau bahasa yang berfungsi sebagai penghubung (lingua franca) yang digunakan di berbagai bandar dan pasar di kawasan Nusantara. Tersebar luasnya Bahasa Melayu Kuno ini mungkin yang telah membuka dan memuluskan jalan bagi Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu Indonesia modern. Adapun Bahasa Melayu Kuno masih tetap digunakan sampai pada abad ke-14 M.

Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia. Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, Sumatera Selatan. Keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.

Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota, dan nama ini juga digunakan oleh Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun 1960 di Palembang. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang). Semuanya dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan merayakan kemaharajaan Sriwijaya yang gemilang. Pada tanggal 11 November 2011 digelar upacara pembukaan SEA Games 2011 di Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang. Upacara pembukaan ini menampilkan tarian kolosal yang bertajuk "Srivijaya the Golden Peninsula" menampilkan tarian tradisional Palembang dan juga replika ukuran sebenarnya perahu Sriwijaya untuk menggambarkan kejayaan kemaharajaan bahari ini.


Sumber : id.wikipedia.org
Foto........: Busana gadis penari Gending Sriwijaya yang raya dan keemasan menggambarkan kegemilangan dan kekayaan Sriwijaya.


1       2       3       4       5       6        7        8        9        10.....

Pemerintahan Kerajaan Sriwijaya

Struktur pemerintahan Kerajaan Sriwijaya

Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial. Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.

Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang di dalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.

Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain diceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada di zaman Sriwijaya. Adapun, jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim). Kemudian terdapat juga Tuha an watak wuruh (pengawas kelompok pekerja),[Note 1] Adyaksi nijawarna/wasikarana (pandai besi/ pembuat senjata pisau), kayastha (juru tulis), sthapaka (pemahat), puwaham (nakhoda kapal), waniyaga (peniaga), pratisra (pemimpin kelompok kerja), marsi haji (tukang cuci), dan hulun haji (budak raja).

Menurut kronik Cina Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua. Seperti yang diterangkan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota, yakni yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua).[20][63] Maka dari itu, Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa untuk mencegah perpecahan di antara anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan Sriwijaya dibagi menjadi dua.


Sumber : id.wikipedia.org
Foto........: Prasasti Telaga Batu.


1       2       3       4       5       6        7        8        9        10.....

Masa Kerajaan Sriwijaya

Masa keemasan

Masa Keemasan & Masa penurunan
Kerajaan Sriwijaya

Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.[50]

Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam,[2] dan Filipina.[51] Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.

Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.[52]

Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.[11]

Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10, akan tetapi pada akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.[53]

Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song agar Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa Teguh.[53]

Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera. Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa.[53]

Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu.[54] (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).[15]

Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.

Masa penurunan
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya.[55] Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i ke Cina tahun 1028.[56]

Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam. Karena adanya pengendapan lumpur di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang semakin berkurang.[57] Akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh dari laut dan menjadi tidak strategis. Akibat kapal dagang yang datang semakin berkurang, pajak berkurang dan memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya.[11]

Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang sezaman dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh pelarian orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya diserang Kerajaan Chola mereka bermigrasi ke Kalimantan Selatan.

Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088.[2] Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.

Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar pada Cina.[59] Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta besar tersebut mengunjungi Cina.[59] Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota maupun kota lainnya selama periode tersebut.[59] Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan Sriwijaya pada abad ke-11.[60]

Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[61] yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).[6][13]

Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit, juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.

Sumber : id.wikipedia.org
Foto........: Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi, Indonesia.


1       2       3       4       5       6        7        8        9        10.....

Sriwijaya dengan Dinasti Sailendra

Hubungan dengan wangsa Sailendra & Hubungan dengan kekuatan regional

Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena adanya nama Śailendravamśa pada beberapa prasasti di antaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Karena prasasti Sojomerto ditulis dalam bahasa Melayu dn bahasa Melayu umumnya dihunakan pada prasasti-prasasti di Sumatera maka diduga wangsa Sailendra berasal dari Sumatera, Walaupun asal usul bahasa melayu ini masih menunggu penelitian sampai sekarang.

Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India. Kemudian Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa. Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuna di antaranya prasasti Sojomerto

Hubungan dengan kekuatan regional
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.

Sejarawan S.Q. Fatimi menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M), seorang maharaja Sriwijaya (diperkirakan adalah Sri Indrawarman) mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya. Surat itu dikutip dalam Al-'Iqd Al-Farid karya Ibnu Abdu Rabbih (sastrawan Kordoba, Spanyol), dan dengan redaksi sedikit berbeda dalam Al-Nujum Az-Zahirah fi Muluk Misr wa Al-Qahirah karya Ibnu Tagribirdi (sastrawan Kairo, Mesir).

Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah.

Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.

Seperti disebutkan sebelumnya, Sriwijaya di Sumatra meluaskan wilayah degan perpindahan Wangsa Sailendra ke Jawa. Pada kurun waktu tertentu wangsa Sailendra sebagai anggota mandala Sriwijaya berkuasa atas Sriwijaya dan Jawa. Maka Wangsa Sailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang, yaitu Sumatera dan Jawa. Akan tetapi akibat pertikaian suksesi singgasana Sailendra di Jawa antara Balaputradewa melawan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, hubungan antara Sriwijaya dan Medang memburuk. Balaputradewa kembali ke Sriwijaya dan akhirnya berkuasa di Sriwijaya, dan permusuhan ini diwariskan hingga beberapa generasi berikutnya. Dalam prasasti Nalanda yang bertarikh 860 Balaputra menegaskan asal-usulnya sebagai keturunan raja Sailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja Sriwijaya. Dengan kata lain ia mengadukan kepada raja Dewapaladewa, raja Pala di India, bahwa haknya menjadi raja Jawa dirampas Rakai Pikatan. Persaingan antara Sriwijaya di Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika raja Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada tahun 990, tindakan yang kemudian dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 oleh Raja Wurawari ( sebagai sekutu Sriwijaya di Jawa) atas dorongan Sriwijaya.

Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik. Dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan pada abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079. Pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.

Foto........: Lukisan karya GB. Hooijer (dibuat kurun waktu 1916 - 1919) merekontruksi suasana di Borobudur pada masa jayanya.
Koleksi Tropenmuseum.

1       2       3       4       5       6        7        8        9        10.....

Bahari Sriwijaya.


Perdagangan & Penyebaran penduduk Kemaharajaan Bahari Sriwijaya.


Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India.

Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi — dan jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan sejarah Champa adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa Sailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun 670 hingga 1025 M.

Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara sekitar abad ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia dan perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya dalam pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun abad ke-7 hingga ke-13 masehi.

Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).

Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.

Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus lanatus (Thunb.) Matsum. & Nakai), yang masuk melalui perdagangan mereka.
Penyebaran penduduk Kemaharajaan Bahari

Upaya Sriwijaya untuk menjamin dominasi perdagangan bahari di Asia Tenggara berjalan seiring dengan perluasan Sriwijaya sebagai sebuah kemaharajaan bahari atau thalasokrasi. Dengan menaklukkan bandar pelabuhan negara jiran yang berpotensi sebagai pesaingnya, Sriwijaya secara otomatis juga melebarkan pengaruh dan wilayah kekuasaannya di kawasan. Sebagai kemaharajaan bahari, pengaruh Sriwijaya jarang masuk hingga jauh di wilayah pedalaman. Sriwijaya kebanyakan menerapkan kedaulatannya di kawasan pesisir pantai dan kawasan sungai besar yang dapat dijangkau armada perahu angkatan lautnya di wilayah Nusantara, dengan pengecualian pulau Madagaskar. Diduga penduduk yang berasal dari Sriwijaya telah mengkoloni dan membangun populasi di pulau Madagaskar yang terletak 3.300 mil atau 8.000 kilometer di sebelah barat di seberang Samudra Hindia.

Sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh jurnal Proceedings of The Royal Society, bahwa sebagian nenek moyang penduduk Madagaskar adalah orang Indonesia. Para peneliti meyakini mereka adalah pemukim asal Kerajaan Sriwijaya. Migrasi ke Madagaskar diperkirakan terjadi sekitar kurun tahun 830 M. Berdasarkan data DNA mitokondria, suku pribumi Malagasy dapat merunut silsilah mereka kepada 30 nenek moyang perempuan perintis tiba dari Indonesia 1200 tahun yang lalu. Bahasa Malagasy mengandung kata serapan dari bahasa Sanskerta dengan modifikasi linguistik melalui bahasa Jawa dan bahasa Melayu, hal ini merupakan sebuah petunjuk bahwa penduduk Madagaskar dikoloni oleh penduduk yang berasal dari Sriwijaya. Periode kolonisasi Madagaskar bersamaan dengan kurun ketika Sriwijaya mengembangkan jaringan perdagangan bahari di seantero Nusantara dan Samudra Hindia.

Sumber : id.wikipedia.org
Foto........: Model kapal Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terdapat pada candi Borobudur.


1       2       3       4       5       6        7        8        9        10.....

Budaya Kerajaan Sriwijaya

Berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya. Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti Talang Tuo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern.

Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.

Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera. Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.

Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang, dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi, Bidor, Perak dan Chaiya, dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang disebut "Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan, mungkin diilhami oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9)


1       2       3       4       5       6        7        8        9        10.....

Agama Kerajaan Sriwijaya

Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.[21]
“ Terdapat lebih dari 1000 pandita Buddhis di Sriwijaya yang belajar serta mempraktikkan Dharma dengan baik. Mereka menganalisa dan mempelajari semua topik ajaran sebagaimana yang ada di India; vinaya dan ritual-ritual mereka tidaklah berbeda sama sekali [dengan yang ada di India]. Apabila seseorang pandita Tiongkok akan pergi ke Universitas Nalanda di India untuk mendengar dan mempelajari naskah-naskah Dharma auutentik, ia sebaiknya tinggal di Sriwijaya dalam kurun waktu 1 atau 2 tahun untuk mempraktikkan vinaya dan bahasa sansekerta dengan tepat. ”

Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.

Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand.[23] Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.

Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.

Catatan :
".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".

( Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing )
Foto........: Arca Buddha langgam Amarawati setinggi 2,77 meter, ditemukan di situs Bukit Seguntang, Palembang, abad ke-7 sampai ke-8 M.

1       2       3       4       5       6        7        8        9        10.....

Pertumbuhan Sriwijaya

Pembentukan dan pertumbuhan Sriwijaya

Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.[8] Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.

Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengendalikan dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama.[2] Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan.
Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.



Sumber : id.wikipedia.org
Foto........: Candi Muara Takus, salah satu kawasan yang dianggap sebagai ibukota Sriwijaya.


1       2       3       4       5       6        7        8        9        10.....

Sriwijaya

Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Jawa:....; Thai: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy") adalah salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan pesisir Kalimantan.

Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan wijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan", maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.

Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan di antaranya tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.

Setelah jatuh, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi tahun 1918 dari sejarawan Perancis George Cœdès dari École française d'Extrême-Orient.


Catatan sejarah Kerajaan Sriwijaya
Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia.
Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.

Selain berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Sayang, kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu digunakan justru buat jembatan. Tercatat ada 17 keping perahu yang terdiri dari bagian lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan bagian buritan untuk menempatkan kemudi.
Perahu ini dibuat dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan dengan temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat kayu.

Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum kolonialisme Belanda.

Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu.
Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.

Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang), tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya. Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini adalah buatan manusia. Bangunan air ini terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektar. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktifitas manusia.
Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang), dengan catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).

Catatan :


Ibukota Sriwijaya, Jawa, Kadaram, Dharmasraya

Bahasa Melayu Kuna, Sanskerta

Agama Buddha Vajrayana, Buddha Mahayana, Buddha Hinayana, Hindu

Pemerintahan Monarki

Maharaja
- 683 Sri Jayanasa
- 702 Sri Indrawarman
- 775 Dharanindra
- 792 Samaratungga
- 835 Balaputradewa
- 988 Sri Cudamani Warmadewa
- 1008 Sri Mara-Vijayottunggawarman
- 1025 Sangrama-Vijayottunggawarman

Sejarah
- Didirikan 600-an
- Invasi Dharmasraya 1100-an

Mata uang Koin emas dan perak

Sumber : id.wikipedia.org
Foto........: Peta Jangkauan terluas Kemaharajaan Sriwijaya sekitar abad ke-8 Masehi.


1      2      3      4      5       6      7     8      9       10......

PRABU SILIWANGI

PRABU JAYADEWATA (1482 – 1521)
( PRABU SILIWANGI )
Jayadewata secara resmi diangkat sebagai raja
Kerajaan Pajajaran yang bertahta di Pakuan saat berusia
81 tahun. Saat pengangkatannya, dilakukan 2 kali
penobatan. Dari penobatannya pertama sebagai
penguasa Galuh beliau diberi gelar Ratu Purana Prebu
Guru Dewapranata. Sedangkan untuk penobatannya
sebagai penguasa Sunda-Galuh, beliau diberi gelar Sri
Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang
Ratu Dewata .
Dari beberapa kali pernikahannya, Sri Baduga
Maharaja dikabarkan memiliki 13 orang anak yang rata-
rata menjadi raja / penguasa yang menyebar ke seluruh
Tatar Pasundan.
Karena sepak terjang Jayadewata saat menjadi
Prabu Anom maupun setelah menjadi Raja Pajajaran
begitu hebat dan dikagumi oleh seluruh rakyatnya serta
dianggap sebagai raja di tatar Sunda yang terbesar
setelah era kekuasaan kakeknya (Prabu Niskala
Wastukancana), maka banyak para pujangga Sunda
menceritakan tokoh ini ke dalam bentuk sastra (seperti
dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun). Melalui bahasa
pujangga-pujangga tersebut Jayadewata digelari Prabu
Siliwangi (berasal dari kata “silih” yang berarti
menggantikan dan “wangi” yang diambil dari gelar
kakeknya yaitu Prabu Wangi / Prabu Anggalarang /
Prabu Niskala Wastukancana). Jadi, penggunaan gelar
Prabu Siliwangi ini sebenarnya bukan merupakan gelar
resmi, dan sang raja pun tidak pernah menggunakan
gelar ini untuk menunjukkan jati dirinya (seperti yang
tertulis pada prasasti-prasasti). Pemakaian sebutan
Prabu Siliwangi lebih bersifat kesusastraan, dan
kebiasaan dari rakyat di zaman itu yang merasa tabu
(tidak boleh) untuk menyebut secara langsung nama
atau gelar sesungguhnya dari sang raja yang berkuasa
dalam percakapan mereka sehari-hari.
Wangsakerta (ahli sejarah dari Cirebon sekaligus
penganggung jawab dari penyusunan Sejarah Nusantara)
mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi,
seperti tulisannya :
"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon
mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu
Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga
nira"
(Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua
orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja
Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya).
Jayadewata merupakan Prabu Siliwangi yang
sangat terkenal atau yang selama ini sering diceritakan
kemahsyurannya didalam cerita-cerita sejarah Pajajaran
dan masyarakat Sunda.
Di saat kekuasaanya, Pajajaran mengalami masa
kejayaannya ( kretayuga ), dimana sosial ekonomi
rakyatnya cukup sejahtera serta Pakuan yang menjadi
ibukota kerajaan mencapai puncak perkembangannya.
Sang Maharaja memperkuat sistem pertahanan
Pakuan secara spektakuler yaitu dengan cara
memperkokoh parit yang mengelilingi kerajaannya
sepanjang 3 kilometer di tebing Cisadane (parit tersebut
pertama kali dibuat oleh Rakeyan Banga). Sedangkan
bekas tanah galian dari proyek itu kemudian dijadikan
benteng yang memanjang di bagian dalam, sehingga jika
musuh menyerang dari luar akan terhambat oleh parit
kemudian benteng tanah.
Kemudian Sang Maharaja membuat tanda
peringatan berupa gunung-gunungan, yaitu bukit
Badigul di daerah Rancamaya (Bogor). Tempat tersebut
dijadikan sebagai tempat upacara keagamaan dan
menyemayamkan abu jenazah dari raja-raja tertentu.
Beliau juga memperkeras jalan dengan batu-
batuan tertentu dari keraton hingga gerbang Pakuan,
kemudian dilanjutkan lagi hingga ke Rancamaya (kurang
lebih 7 km). Gerbang Istana depan dinamakan Lawang
Saketeng, sedangkan gerbang istana belakang
dinamakan Lawang Gintung.
Untuk pelestarian lingkungan alam, Sang
Maharaja membuat semacam hutan lindung yang
berfungsi sebagai reservoir alami. Hutan tersebut
ditanami pohon samida, pohon tersebut kemungkinan
hanya boleh ditebang jika kayunya diperlukan untuk
kepentingan upacara kremasi.
Karya besar dari Sri Baduga Maharaja yaitu
pembangunan telaga besar yang bernama Sang Hyang
Talaga Rena Mahawijaya di hulu sungai Ciliwung
(Rancamaya, Bogor). Telaga tersebut berfungsi sebagai
tempat pariwisata dan penyuburan tanah.
Karya-karya lainnya dari Sri Baduga Maharaja
antara lain membuat jalan ke Wanagiri, membuat
“kaputren” (tempat isteri-isteri-nya),
“kesatrian” (asrama prajurit), satuan-satuan tempat
(pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat
angkatan perang, serta menyusun Undang-Undang
Kerajaan Pajajaran. Undang-undang yang disebut
Sanghiyang Siksakandang Karesian ini dirumuskan
berdasarkan sistem pemerintahan Sri Baduga Maharaja
yang sangat adil, Undang-Undang ini disusun pada
tahun 1518.
Sri Baduga Maharaja memiliki ahli syair yang
bernama Buyut Nyai Dawit , sedangkan ahli pemerintahan
dipegang oleh Adipati Pangeran Papak.
Kebijakan yang paling menarik di saat kekuasaan
dari Sri Baduga Maharaja adalah dengan membuat
penetapan batas-batas kabuyutan (daerah yang
dianggap suci dan dijadikan pusat pendidikan) yang
dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" atau disebut juga
desa perdikan (desa bebas pajak) di daerah Sunda
Sembawa, Gunung Samaya, dan Jayagiri. Tindakan ini
diambil karena Sri Baduga Maharaja merasa harus
menjalankan amanat dari kakeknya (Prabu Anggalarang /
Prabu Niskala Wastukancana). Bahkan amanat tersebut
diabadikan dalam prasasti yang terbuat dari tembaga
sebanyak 5 keping. Prasasti tersebut kemudian
ditemukan di Kabantenan. (isi dari prasasti itu lihat
Kerajaan Sunda sub- Prabu Anggalarang).
Penduduk di lurah kawikuan tersebut dibebaskan
dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga
perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif / kerja
bakti), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare
dongdang" (padi 1 gotongan).
Selain di 3 buah desa kawikuan, Sri Baduga
Maharaja juga memerintahkan kepada para petugas
muara agar dilarang untuk memungut bea. Raja ini
menganggap, tidak perlu memungut pajak pada mereka
yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada
ajaran-ajaran dan yang terus mengamalkan peraturan
dewa.
Dalam hal memperkuat angkatan perang, Prabu
Siliwangi ini membentuk satuan tentara dengan tugas
yang jelas. Misalnya Bhayangkara (prajurit keamanan),
Pamarang (prajurit yang ahli memainkan pedang) dan
Pamanah (prajurit ahli memanah). Dan terakhir Pasukan Elite Pengawal Raja, Puragabaya .Dengan pembagian
tugas tersebut menjadikan Pajajaran memiliki armada
perang yang tangguh.
Sedangkan untuk pertahananan di dalam
kerajaan, Sri Baduga Maharaja selalu menekankan
kepada rakyatnya agar berpedoman setia kepada
kebiasaan dan keaslian leluhur, jika hal itu dilaksanakan
dengan baik, maka beliau meyakini bahwa Pajajaran
tidak akan kedatangan musuh. Beliau sangat
menganjurkan kepada semua pendeta dan pengiringnya
untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi
penuntun kehidupan rakyat.
Kemahsyuran Pelabuhan Muara Jati sebagai
pelabuhan internasional makin berkembang saat Raden
Walangsungsang (anaknya dari Subang Larang),
menetap di Cirebon dan mendirikan Pakuwuan Cirebon
Larang di Cirebon pesisir. Langkah yang dilakukan
Raden Walangsungsang dalam mengelola Pelabuhan
Muara Jati waktu itu (tugas warisan dari Ki Gedeng Tapa
yang telah wafat) di antaranya adalah membentuk satuan
penjaga keamanan untuk mengamankan Pelabuhan
Muara Jati yang semakin ramai.
Setelah daerah itu semakin maju, akhirnya Raden
Walangsungsang diangkat sebagai raja daerah Kerajaan
Cirebon Larang oleh Sri Baduga Maharaja.
Sebagai kerajaan yang memperoleh pendapatan
dari hasil niaga, Pajajaran saat itu merasa cemas
dengan hubungan harmonis antara Cirebon Larang (yang
dipimpin oleh anaknya yang bernama Raden
Walangsungsang) dan Demak. Pada saat itu, armada
Laut Demak sering berada di pelabuhan Muara Jati. Sri
Baduga Maharaja khawatir apabila kehadiran armada
Demak dapat mengganggu jalannya perniagaan
Pajajaran. Sekitar abad ke-15 di Nusantara, Pajajaran
dan Demak termasuk kerajaan yang memiliki jalur
perdagangan sangat ramai.
Demak yang terkenal kuat dalam angkatan
lautnya, saat itu tengah mengalami beberapa kekalahan
dari Portugis yang telah menguasai selat Malaka. Berita
kekalahan ini membuat Sri Baduga Maharaja merasa
perlu mengadakan hubungan kerjasama dengan
Portugis.
Seperti yang kita tahu, Pajajaran merupakan
penguasa di Selat Sunda dan Portugis berkuasa di Selat
Malaka. Sebagai penguasa di 2 selat yang menjadi jalan
masuk perniagaan dan bangsa asing ke Nusantara,
tentunya keputusan Sri Baduga Maharaja ini sangat
cemerlang. Kerjasama antara Pajajaran dan Portugis
sangat tepat dilakukan untuk menguasai jalur niaga di
Nusantara.
Kerjasama ini dilakukan bukan maksud
menggalang kekuatan untuk menyerang Demak,
melainkan hanya upaya antisipasi apabila Demak
membantu Cirebon melakukan serangan dalam upaya
pembebasan diri dari Pajajaran. Rupanya, Sri Baduga
Maharaja sudah dapat mencium gelagat dari Raden
Walangsungsang dalam upaya memerdekakan diri.
Untuk memuluskan rencananya, maka Sri Baduga
Maharaja mengutus Surawisesa (putera mahkota
Pajajaran) untuk mengadakan kerjasama dengan Alfonso
d’ Albuquerque (Laksamana Bunker Portugis di Malaka).
Pada tahun 1512, Surawisesa mengunjungi
Malaka dan akhirnya perjanjian bilateral resmi antara
Pajajaran – Portugis, dengan hasil kesepakatan adalah
Portugis berjanji untuk membantu Kerajaan Pajajaran
bila diserang oleh pasukan Demak dan Cirebon, serta
ingin menjalin hubungan dagang.
Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1513,
Pajajaran didatangi oleh duta-duta dari Portugis dengan
menumpang 4 buah kapal. Salah seorang dari
rombongan Portugis tersebut bernama Tome Pires yang
bertindak sebagai juru catat perjalanan. Tome Pires
sendiri mencatat mengenai kekuasaan dari Sri Baduga
Maharaja adalah “the kingdom of Sunda is justtly
governed” (Kerajaan Sunda / Pajajaran diperintah
dengan adil). Kerjasama kali itu baru merupakan tahap
penjajakan.
Kebijakan-kebijakan dari Prabu Siliwangi itulah
yang menunjukan kemakmuran, kebesaran, dan kejayaan
Pajajaran pada masa kekuasaannya. Raja ini menerapkan
motto hidup “silih asah, silih asih, silih asuh“ . Dengan
kebijakan dan strategi-strategi itu pula, kita dapat
mengakui bahwa Prabu Siliwangi ini adalah seorang
raja yang mampu memimpin kerajaan dan juga seorang
yang ahli strategi perang, sehingga saat itu Pajajaran
tidak dapat disusupi oleh musuh. Karena itulah, orang
pada zaman itu seakan teringat kembali kepada
kebesaran mendiang kakek buyutnya (Prabu Maharaja
Lingga Buana) .
Dalam Carita Parahyangan, pemerintahan Sri
Baduga dilukiskan demikian :
"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh
ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan
kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja
loba di sanghiyang siksa"
(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan
kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit
batin. Bahagia sejahtera di utara, selatan, barat dan
timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah
tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Namun kebesaran yang dimiliki Pajajaran saat
itu tidak serta merta membuat sang raja merasa tenang,
hal ini dikarenakan pada saat itu banyak Rakyat
Pajajaran yang beralih ke agama Islam dengan
meninggalkan agama lama. Mereka oleh sang Maharaja
disebut "loba" (serakah) karena merasa tidak puas
dengan agama yang ada, lalu mencari yang baru.
Meskipun merasa kesal, tetapi Sri Baduga Maharaja
hanya bisa menyindir tanpa melakukan tindakan “fisik”
atau mengeluarkan perintah larangan, karena beliau
menyadari bahwa memilih agama merupakan hak bagi
setiap rakyatnya. Dengan demikian beliau tetap
memperlakukan adil bagi rakyatnya yang telah memeluk
agama Islam.
Untuk lebih mempererat kerjasama dengan
Portugis, pada tahun 1521 Sri Baduga Maharaja kembali
menugaskan Surawisesa untuk menemui Portugis di
Malaka. Penugasan ini dilakukan beberapa bulan
sebelum sang Maharaja wafat.
Sri Baduga Maharaja wafat pada tanggal 31
Desember 1521 dalam usia yang sangat sepuh yaitu 120
tahun. Kekuasaan Kerajaan Pajajaran diserahkan pada
puteranya yang bernama Surawisesa (anak dari Kentring
Manik Mayang Sunda).
Ketika sudah dikubur selama 12 tahun, makam Sri
Baduga Maharaja digali kembali atas perintah dari
Surawisesa. Kemudian kerangkanya diangkat untuk
dikremasi. Setelah itu, abu jenazahnya tadi kemudian
ditaburkan di Rancamaya, Bogor ( kini sudah
dijadikan lapangan golf serta perumahan mewah).
Selain di Rancamaya, sisa abu jenazahnya itu kemudian
dibagikan kepada raja-raja daerah (bawahan Pajajaran)
untuk dipusarakan di tempat kabuyutan daerah itu.
Karena itulah, maka tidak perlu heran apabila di
beberapa tempat banyak yang mengklaim sebagai
tempat dari makam Prabu Siliwangi.


1      2      3      4      5       6      7     8      9       10......

TUNDHUNG MEDIUN

Pada jaman dahulu adalah seorang empu yang termashur Empu Supa namanya. Empu Supa adalah putera Empu Supadriya yakni seo­rang pandai besi di Majapahit yang membuat senjata atau alat-alat perang kerajaan Majapahit. Empu Supa kawin dengan Dewi Rasawulan, adik Sunan Kalijaga, putera puteri Harya Teja Bupati Tuban. Dari hasil perka­winannya dengan Dewi Rasawulan, Empu Supa dikaruniai seorang anak yang diberi nama Empu Supa Muda. Selain memperistri Dewi Rasawulan Empu Supa juga mengawini seorang puteri, yakni Dewi Sugihan atau Dewi Lara Upas. Perkawinannya dengan Dewi Lara Upas dikaruniai seorang putera yang diberi nama Jaka Sura.

Pada suatu hari Empu Supa disuruh oleh Sunan Kalijaga mem­buat pisau untuk menyembelih kambing. Untuk membuat pisau tersebut Sunan Kalijaga memberikan sepotong besi yang lazimnya dipakai untuk membuat keris. Segera Empu Supa bekerja dengan tekun, membuat pisau pesanan Sunan Kalijaga. Tetapi, rupa-rupanya sudah menjadi takdir dewa-dewa, bukan pisau penyembelih kambing yang dihasilkan, tetapi sebuah keris yang amat indah dan menakjubkan. Sebuah keris yang sempurna dengan luk tiga belas. Konon, kata orang hanya raja diraja yang pantas memakai keris tersebut. Keris tadi lalu diberi nama Kyai Sengkelat.

Sunan Kalijaga segera memberikan perintah supaya keris ter­sebut disimpan saja terlebih dahulu. Kemudian Sunan Kalijaga bersabda, “Ya sudahlah, hanya Tuhan saja Yang Maha Mengetahui dan bisa me­mahami peristiwa semacam ini”.
Sesudah peristiwa tersebut, Sunan Kalijaga lalu menyuruh membuat lagi sebuah keris yang cocok dan pantas untuk seorang ulama. Sesudah selesai dan jadi, keris tadi lalu diberi nama Kyai Crubuk dan di­persembahkan kepada Sunan Kalijaga. Terceritalah pada waktu itu kerajaan Majapahit sedang diserang wabah penyakit yang amat mengerikan. Banyak orang yang mati. Konon, kabarnya banyak orang pagi sakit, sore mati, sore sakit dan paginya hanya tinggal nama. Menurut keyakinan rakyat Majapahit dan juga diperkuat oleh para kelu­arga istana, wabah penyakit ini ditimbulkan oleh sebuah pusaka kerajaan yang bernama Kyai Condong Campur. Pada waktu itu pun Putri Cempa, permaisuri raja Majapahit juga sedang gering. Oleh karena itu segenap warga punggawa kerajaan Majapahit disiapkan agar supaya menjaga Kerajaan Majapahit.
Pada suatu hari yang bertugas jaga di Kerajaan Majapahit ialah Tumenggung Empu Supadriya dan Supagati. Akan tetapi karena kedua­nya sedang menderita sakit, maka tugas jaga tersebut lalu dilimpahkan para puteranya. Empu Supadriya diwakili oleh Empu Supa, Empu Supa­gati diwakili oleh Empu Jigja. Pada waktu itu Empu Supa menyandang keris Kyai Sengkelat, dan Empu Jigja memakai keris Kyai Sabuk Inten. Pada malam itu Kyai Condong Campur keluar dari sarungnya. Wibawa keris sakti memang menakjubkan. Semua punggawa kerajaan seperti kena sirep, semua tidur nyenyak sekali.
Demikian juga para kerabat istana tak satu pun yang mampu mempertahankan kantuknya. Pada waktu menyaksikan Kyai Condong Campur sudah meninggalkan sarungnya, Kyai Sengkelat diikuti oleh Kyai Sabuk Inten dengan cepat melesat dari sarungnya mengejar Kyai Condong Campur. Terjadilah peperangan yang sangat hebat, Kyai Condong Campur dikeroyok oleh Kyai Sengkelat dan Sabuk Inten. Dalam peperangan yang amat hebat itu, Kyai Condong Campur akhirnya terdesak, lalu segera melarikan diri, kembali ke sarungnya. Mulai saat itu wabah penyakit yang melanda Kerajaan Majapahit hilang sama sekali. Orang yang sakit jadi sembuh dengan tiba-tiba. Maka Kerajaan Majapahit kembali menjadi aman dan tenteram seperti sediakala.
Sudah menjadi kebiasaan di Kerajaan Majapahit, setiap bulan Sura diadakan upacara membersihkan pusaka kerajaan. Pada saat-saat yang penting ini Sang Raja Brawijaya berkenan menyaksikan pelaksanaan upacara. Betapa terkejutnya Sang Raja Brawijaya ketika menyaksikan keadaan keris sakti, Kyai Condong Campur. Kelihatan citra sang pusaka sakti ini telah rontok dan hancur.
Sang Raja Brawijaya kemudian memanggil Tumenggung Empu Supa­driya. Sang Empu disuruh memperbaiki pusaka sakti yang citranya telah rontok tersebut. Empu Supadriya segera bekerja dengan keras memperbaiki citra sang keris sakti Kyai Condong Campur, agar pulih seperti dahulu. Keris sakti tersebut, lalu dimasukkan ke dalam api pem­bakaran, dengan maksud akan ditempa kembali. Setelah dibakar, kemu­dian disiapkan pada tempat menempa. Akan tetapi rupa-rupanya sudah menjadi takdir Yang Maha Kuasa, tiba-tiba pusaka sakti tersebut musnah, melesat ke antariksa.
Dan menurut ujar orang, lalu menjadi bintang berekor. Di angkasa sang pusaka sakti tersebut lalu bersuara, yang lazim­nya diujudkan dalam bentuk tembang Jawa Sinom seperti berikut:
Heh Sang Prabu Brawijaya
(Hai Sang Prabu Brawijaya)
Poma den ngati-ngati
(Harap engkau berhati-hati)
Sira mitenah maring wang
(Engkau telah menfitnah aku)
Manira darma nglakoni
(Engkau hanya sekedar menjalani)
Iyo pratandha iki
(Ini adalah sebuah pertanda)
Dadi rusak negaramu
(Jadi rusak negaramu)
Ya siro tutugna
(Ya, baiklah engkau lanjutkan)
Gawea keris kang becik
(Buatlah keris yang baik)
Hangupayaa keris dhapur sasra
(Usahakanlah membuat keris bercorak seribu).
Tersebutlah dalam kisah ini, negeri Blambangan, berdasarkan petunjuk seorang ahli nujum bernama Huyung Tingkir, Adipati Blam­bangan mengetahui bahwa wahyu kerajaan tersebut sedang berada di Tuban berupa sebuah pusaka keris sakti yang bernama Kyai Sengkelat. Maka dari itu Adipati Blambangan menyuruh seorang pencuri ulung yang bernama Cluring untuk mencuri keris pusaka tersebut. Cluring maling yang sakti, akhirnya berhasil mencuri keris Kyai Sengkelat dari kediaman Empu Supa. Keris Kyai Sengkelat segera dipersembah­kan kepada Sang Adipati Blambangan. Karena jasa-jasanya ini Cluring diangkat menjadi Patih Mangkubumi di Blambangan.
Sudah menjadi kebiasaan, pada saat-saat tertentu Sunan Kalijaga menjenguk ke Tuban, meninjau kemenakannya si Supa Muda. Demikianlah kisahnya, Sunan Kalijaga ingin mengetahui keadaan keris sakti Kyai Sengkelat yang dulu disimpan oleh Empu Supa. Betapa ter­kejutnya Empu Supa setelah menyaksikan bahwa Kyai Sengkelat sudah hilang dari tempat penyimpanannya. Sunan Kalijaga lalu memberikan wejangan-wejangan kepada Empu Supa, tentang hilangnya keris sakti Kyai Sengkelat. Sunan Kalijaga memberi perintah kepada Empu Supa, agar supaya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan kembali keris sakti Kyai Sengkelat. Tidak boleh tidak keris sakti itu harus bisa diketemukan kembali.
Empu Supa pun segera bersiap pergi mencari hilangnya keris Kyai Sengkelat. Ia berjalan terus ke timur. Dalam pengembaraannya itu Empu Supa sampai di pulau Madura. Di pulau ini Empu Supa meng­ganti namanya menjadi Kasa. Ia mengabdi pada seorang pandai besi yang bernama Empu Singkir. Bersama Empu Singkir, Empu Supa membantu membuat tombak dan keris. Dari Madura ia meneruskan perjalanannya sampai di Kahuripan. Di Kahuripan Empu Supa mengabdi pada seorang pandai besi Empu Bassu. Akhirnya Empu Supa sampai di negeri Blambangan dan berganti nama sebagai Pitrang. Di Blambangan Pitrang mengabdi pada Empu Sarap, seorang pandai besi yang terkenal di negeri Blambangan.
Pada waktu itu negeri Blambangan sedang mempersiapkan diri untuk memerangi Majapahit. Oleh karena itu Empu Sarap dan Pitrang mendapat pesanan membuat senjata yang sangat banyak. Kepandaian Pitrang membuat senjata ternyata menyebabkan namanya tersohor, Patih Mangkubumi, Cluring dibuatkan keris Tilam Putih dan tombak Biring. Mendengar berita bahwa Pitrang sangat pandai membuat senjata, sang Adipati Blambangan segera memanggilnya. Sesudah Pitrang meng­hadap, Sang Adipati minta supaya dibuatkan keris yang mirip dengan Kyai Sengkelat.
Karena Pitrang memang seorang pembuat keris yang pandai, pusaka keris buatan Pitrang tadi benar-benar persis sama dengan aslinya sehingga sulitlah bagi orang-orang biasa untuk membedakannya. Kesempatan yang baik ini tidak disia-siakan oleh Pitrang, yang tidak lain adalah Empu Supa yang menyamar. Segera pusaka sakti keris Kyai Sengkelat yang asli disembunyikannya. Lalu Pitrang membuat dua buah keris Sengkelat palsu. Dua buah keris yang palsu inilah yang diserahkannya kepada Adipati Blambangan.
Sang Adipati merasa sangat berkenan atas karya Pitrang. Oleh karena itu Sang Adipati Blambangan memberi anugerah Pitrang seorang putri yang bernama Dewi Sugihan, yang juga lazim disebut Dewi Lara Upas. Sesudah berhasil memperoleh kembali keris Kyai Seng­kelat, Empu Supa pun segera kembali ke Tuban. Pada waktu itu Dyah Sugihan sedang mengandung, lalu melahirkan seorang putera laki-laki yang kemudian diberi nama Jaka Sura.
Pada waktu itu Kerajaan Majapahit sedang mengumpulkan semua empu di seluruh wilayah Kerajaan Majapahit. Tujuan utama ialah agar para empu tersebut menciptakan sebuah keris yang bercorak seribu, seperti yang pernah disarankan oleh Kyai Condong Campur yang seka­rang telah menjadi bintang berekor.
Pada waktu itu semua empu sudah hadir. Hanya Empu Supa saja yang belum kelihatan di persidangan. Kemanakah perginya? Tumenggung Supadriya segera menyembah dan berkata, bahwa Empu Supa sekarang sedang pergi ke Tuban menjenguk keluarganya.
Kemudian Tumenggung Supadriya disuruh menyusul Empu Supa agar supaya segera menghadap sang raja di Majapahit. Sesampainya di Tuban ternyata Empu Supa tidak ada di rumah, sebab sedang mengem­bara. Di rumah tinggallah istrinya Dewi Rasa Wulan dan anaknya si Supa Muda.
Karena takut kalau-kalau raja murka, sebagai bukti bahwa Empu Supa benar-benar tidak ada di rumah, maka putra dan putri Empu Supa lalu diajak serta untuk menghadap sang raja di Kerajaan Majapahit.
Setelah mereka sampai di Kerajaan Majapahit, Tumenggung Supadriya segera memberikan laporan bahwa Empu Supa baru saja mengadakan pengembaraan, dan pulangnya belum dapat dipastikan. Sang Raja segera bertanya, siapakah anak muda yang bernama Empu Supa tersebut. Tumenggung Supadriya menjawab, bahwa anak muda tidak lain ialah si Supa Muda, anak Empu Supa. Sang Raja bertanya ke­pada Supa Muda. “Apakah kau dapat membuat keris yang bercorak seribu?” Supa Muda itu menjawab, “Hamba, hamba, dapat Gusti, dengan berkah dari Yang Maha Agung”.
“Nah, baiklah. Sekarang engkau saya perkenankan mundur dari persidangan ini. Jangan lupa pada janjimu untuk membuat keris bercorak seribu. Segera engkau mengerjakannya”, demikian sang raja berkata.
Dengan kesanggupan tersebut, Supa Muda lalu mengumpulkan bermacam-macam jenis besi dari segala penjuru dunia, dikumpulkannya di pantai Tuban. Setelah segala macam besi terkumpul, besi-besi tersebut lalu ditempanya. Maksudnya akan dijadikan sebuah keris yang bercorak seribu. Namun, meskipun sudah bekerja dengan keras, dengan tekad yang teguh, usahanya tersebut belum menampakkan hasil. Setiap ditem­pa, besi-besi tersebut selalu melebur dan tidak dapat menyatu. Karena putus asa, Supa Enom menangis tersedu-sedu, merendam dirinya di pantai utara laut Tuban.
Kebetulan pada saat itu Sunan Kalijaga menyaksikan apa yang terjadi. Maka didekatinyalah kemenakannya tersebut, lalu ia berkata, “Ada apa anakku, engkau menangis tersedu-sedu di pantai Tuban ini?” Supa Muda lalu berceritera bahwa ia disuruh oleh sang Raja di Majapahit supaya membuat pusaka keris yang bercorak seribu.
Tetapi usahanya sampai sekarang belum berhasil. Mendengar akan apa yang diceriterakan oleh Supa Muda, timbullah belas kasihan Sunan Kalijaga kepada kemenakannya. Supa Muda kemudian diberinya sepotong besi pulosari, agar supaya dibuat sebuah keris seperti apa yang diinginkan oleh sang raja di Majapahit. Dengan sangat gembira Supa Muda pun segera bekerja. Kebetulan pada waktu itu, tanpa diduga-duga sama sekali Empu Supa datang dari pengembaraannya. Empu Supa memberikan dorongan dan doa restu kepada anaknya yang sedang membuat keris bercorak seribu.
Dengan restu orang tuanya dan Sunan Kalijaga, Supa Muda dengan teguh dan mantap meneruskan karyanya, membuat pusaka. Akhirnya pekerjaan yang rumit, gawat dan mulia itu dapat diselesaikan juga. Jadilah sebuah keris yang mirip dengan Kyai Sengkelat, tetapi lebih hebat dan ampuh, karena pusaka tersebut bercorak seribu. Keris yang sudah jadi tersebut memang menakjubkan. Bercahaya, berkilauan, dan penuh kewibawaan.
Karena keris tersebut bercorak seribu maka lalu disebut sebagai keris pusaka Nagasasra. Kemudian keris Sakti Nagasasra diserahkan kepada sang raja di Majapahit. Sang Raja sangat berkenan di hati, melihat ujud keris Nagasasra tersebut. Oleh karena itu Empu Supa Muda menda­pat anugerah seorang puteri yang cantik jelita dari kerajaan Majapahit dan diangkat menjadi bupati di Tuban. Di Sendang Sedayu, Jaka Sura, putra Empu Sura dari istrinya Diyah Sugihan atau Lara Upas, pada suatu hari membuka peti kepunyaan sang ibu. Betapa terkejutnya Jaka Sura, karena yang dalam peti tersebut hanyalah potongan-potongan besi belaka. Diyah Sugihan lalu berceritera kepada sang putera tentang asal-usul Jaka Sura. Sang ibu menjelaskan bahwa sebenarnya Jaka Sura adalah putera seorang Empu yang termashur di Kerajaan Majapahit, yakni Empu Supa. Mendengar cerita sang ibu, Jaka Sura sangat senang hatinya. Jaka Sura pun akhirnya ingin belajar membuat keris seperti bapaknya juga. Kemudian ia pun pergi kepada seorang pandai besi di daerahnya. Tapi apa gerangan kata sang pandai besi?
“Kalau kamu hendak belajar membuat keris yang sakti, janganlah berguru kepadaku. Aku hanya seorang pandai besi biasa saja. Pekerjaan saya tidak membuat keris. Tetapi membuat cangkul, sabit dan sebagainya. Kalau kamu ingin belajar membuat keris yang ampuh, coba datang­lah pada Jaka Sura. Ia adalah putera seorang empu yang termashur di Kerajaan Majapahit, Empu Supa. Tentu Jaka Sura pun tidak kalah hebatnya dari bapaknya.
Mendengar ucapan sang pandai besi yang sangat menyindir hati­nya itu, hati Jaka Sura bagaikan diiris dengan sembilu. Hatinya pedih dan sangat sedih. Benaknya penuh dengan segala macam angan-angan dan pikiran. Timbullah tekadnya, ingin membuktikan apa yang dikata­kan sang pandai besi tersebut. Ia bertekad tidak akan pulang sebelum ia berhasil menjadi seorang empu pembuat keris yang benar-benar hebat dan mengagumkan. Dengan tekad tersebut ia langsung masuk ke dalam hutan untuk meminta kemurahan Yang Maha Kuasa. Karena.lelah dalam perjalanan, ia pun kemudian beristirahat di bawah pohon beringin yang sangat rimbun. Tanpa terasa, karena sangat sedihnya ia pun menangis. Dan angin hutan yang berhembus telah merangsang rasa kantuknya. Ia pun mulai hendak tidur. Dalam kantuknya ini tiba-tiba muncullah se­sosok tubuh di mukanya. Jaka Sura terkejut dan bertanya, “Siapakah tuan?”
“Heh, Jaka Sura, ketahuilah aku inilah yang bernama Empu Anjani. Empunya para siluman. Janganlah engkau terkejut, kalau aku tiba-tiba berada di hadapanmu. Jaka Sura, kalau kamu ingin menjadi Empu yang termashur aku tidak berkeberatan memberikan pengajaran kepadamu”, jawab Empu Anjani.
Kemudian Empu Anjani memberikan wejangan dan pengajaran segala macam ilmu membuat keris. Pendek kata Jaka Sura sudah berhasil menyerap ilmu pemberian Empu Anjani sampai tuntas. Setelah selesai Jaka Sura pun pulanglah menemui sang ibu. Semua kejadian yang baru saja dialaminya diceriterakannya kepada sang ibu. Jaka Sura punya niat ingin menemui bapaknya. Ia pun berangkat ke Kerajaan Majapahit.
Kebetulan pada waktu itu Sang Raja Brawijaya mendapatkan ilham supaya membuat keris. Tetapi keris tersebut harus dibuat oleh seorang Empu yang masih muda. Lagi pula besinya bukan sembarang besi melainkan besi hasil memuja. Perjalanan Jaka Sura pada waktu itu telah sampai di Majapahit. Ia diperkenankan menghadap sang raja. Ketika ia di tanyai sang Raja apakah sanggup membuat pusaka keris dengan besi pujaan, ia pun tidak menolak.
Dengan segala kebulatan cipta dan karsa Jaka Sura pun mulai­lah bersemedi. Hebatnya sang cipta dan karsa, akhirnya terciptalah se­potong besi yang berujud seperti kapas, putih merah warnanya. Jaka Sura pun segera mengerjakan keris tersebut. Besi pujaan tidak ditempa. Besi tersebut dibuat keris oleh Jaka Sura hanya dengan jari-jari tangan saja. Orang-orang yang menyaksikannya sangat kagum. Demikianlah juga Sang Raja Brawijaya. Akhirnya keris pusaka itu selesailah. Keris sakti tersebut diberi nama keris Mangkurat.
Dengan karyanya tersebut, Jaka Sura pun dianugerahi seorang putri kerajaan dan dinobatkan menjadi Pangeran Merdeka di Sendang Sedayu, mengganti Empu Supa yang telah dinaikkan pangkatnya menjadi bupati para empu di Majapahit.
Keadaan telah berubah, Majapahit telah mengalami masa kemun­duran. Timbullah Kerajaan Demak. Demak pecah dengan Pajang. Pecah­nya Demak dengan Pajang semakin gawat. Pada waktu itu Jaka Sura mengabdikan dirinya ke Demak setelah runtuhnya Majapahit. Selanjut­nya Empu Jaka Sura lebih dikenal sebagai Empu Umyang.
Pada waktu itu Empu Umyang diutus sang Raja untuk membuat keris yang lebih sakti daripada keris-keris yang pernah diciptakan. Akan tetapi rupa-rupanya Empu Umyang tidak berhasil menjalankan tugas­nya dengan baik. Sang Raja sangat murka, dan Empu Umyang kemudian diusir dari Demak. Empu Umyang terpaksa meninggalkan Demak dengan hati yang kecewa dan duka. Dalam perjalanannya yang sangat berat itu, akhirnya sampailah ia di kota Miring. Menginjak desa Wanasari di daerah Kota Miring, Empu Umyang melihat sebuah kolam yang sangat jernih airnya. Kolam tersebut sering disebut sebagai kolam kehidupan. Sebab bila ada binatang yang mati kemudian dimasukkan kedalam kolam itu maka hiduplah kembali. Timbullah gagasan Empu Umyang, ingin sekali membuat keris yang sakti di tempat itu. Segera ia menyiapkan segala perlengkapannya. Mulailah ia bekerja. Besi ditempa dibentuk mirip Kyai Sengkelat, berkelok tiga belas, sebagai pendingin dipergunakan air sakti kolam tersebut. Ketika ia sedang memasukkan bakal keris itu ke dalam kolam sakti, di sebuah pohon di sendang ada seekor hantu yang sedang berayun-ayun. Setelah selesai, ternyata pusaka keris yang di­buatnya itu benar-benar ampuh dan hebat. Keris tersebut bersinar-sinar, cahayanya memenuhi antariksa. Jaka Sura alias Empu Umyang sangat-senang hatinya. Keris tersebut lalu diberi nama Tundung Mediyun. Diberi nama demikian sebab keris itu dibuat ketika ia diusir (ditundung) dari Demak. Karena waktu keris itu dibuat, ia melihat seekor hantu (memedi) yang sedang berayun-ayun maka lalu disebut Tundung Mediyun.
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Cerita Rakyat Jawatimur, DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Foto : Sendang Tundhung Mediun.

1      2      3      4      5       6      7     8      9       10......