Search This Blog

Thursday, July 24, 2014

PRABU SEDA / PRABU RAGAMULYA


PRABU SEDA / PRABU RAGAMULYA (1567 – 1579)

(NU SIYA MULYA / SURYAKANCANA)


Raja Pajajaran yang terakhir adalah Prabu Seda.
Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, beliau telah
meninggalkan Pakuan demi menghindari perang terbuka
yang lebih besar dengan Banten, dan lebih memilih diam
di salah satu Kerajaan daerah yang terletak di Kadu
Hejo, Kecamatan Menes sekitar lereng Gunung Pulasari,
Pandeglang. Wilayah ini merupakan bekas kota
Rajatapura (ibukota Kerajaan Salakanagara di tahun 130).
Di lokasi baru itu, sang raja membuka tempat
pemukiman baru di Cisolok dan Bayah. Entah apa yang
dijadikan dasar pemikiran Prabu Seda memilih wilayah
Pandeglang sebagai ibukota barunya. Mengingat
Pandeglang berdampingan dengan wilayah Kesultanan
Banten.
Beliau berkuasa tanpa mahkota karena sebelum
meninggalkan Pakuan, Prabu Seda sempat mengutus 4
orang Kandaga Lante (panglima) untuk menyerahkan
barang-barang pusaka kerajaan Pajajaran kepada Prabu
Geusan Ulun yang memerintah di Kerajaan
Sumedanglarang. Kandaga Lante berangkat
meninggalkan keraton dengan diiringi sebagian rakyat
Pajajaran yang akhirnya memutuskan mengabdi kepada
Prabu Geusan Ulun. Ada pun barang-barang pusaka
amanat Raja Pajajaran terakhir tersebut berupa Mahkota
Binokasih Sang Hyang Pake Siger terbuat dari emas dan
perlengkapannya (sampai sekarang masih tersimpan
dengan baik di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang).
Pada masa kekuasaan Prabu Seda inilah
Kerajaan Pajajaran sebagai penerus kerajaan Sunda,
mengalami keruntuhan akibat serangan Panembahan
Yusuf dari Kesultanan Banten yang saat itu gencar
melakukan syiar Islam, sedangkan seperti yang kita
ketahui Kerajaan Pajajaran adalah menganut agama
nenek moyang.
Sebenarnya secara “de jure” , kekuasaan
Pajajaran telah habis di masa kekuasaan
Nilakendra. Akan tetapi, Pasukan Banten baru resmi
“memadamkannya” setelah mereka berhasil
menghancurkan Ibukota Pakuan.
Benteng kota Pakuan baru dapat dibobol setelah
terjadi penghianatan dari Komandan pengawal benteng
Pakuan yang merasa sakit hati karena tidak memperoleh
kenaikan pangkat. Tengah malam, pasukan khusus
Banten menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng
terlebih dahulu dibukakan oleh penghianat itu.
Ketangguhan benteng Pakuan yang dibuat oleh Rakeyan
Banga lalu kemudian diperkokoh oleh Prabu
Jayadewata / Prabu Siliwangi ternyata masih terbukti.
Meskipun Pakuan telah lama ditinggalkan oleh rajanya,
tetapi pasukan Banten harus berupaya keras untuk
menembusnya, maka “cara halus” dianggap sebagai cara
yang paling tepat untuk membobol benteng itu.
Kekalahan Pajajaran, ditandai dengan
diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (tempat duduk
saat penobatan tahta) dari Pakuan ke Keraton
Surasowan di Banten oleh pasukan Panembahan Yusuf.
Di atas Palangka itulah biasanya raja Pajajaran diberkati
(diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di
Kabuyutan Kerajaan (tidak di dalam istana). Sesuai
dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok
halus mengkilap. Batu Tahta seperti ini oleh penduduk
biasanya disebut Batu Pangcalikan atau Batu Ranjang .
Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong
ke Banten karena tradisi politik waktu itu mengharuskan
demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka
tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja
baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, maka
Maulana Yusuf / Panembahan Yusuf dianggap sebagai
penerus kekuasaan Pajajaran yang syah karena buyut
perempuannya (Larasantang) adalah puteri dari Prabu
Jayadewata.
Ibukota Pajajaran yang bernama Pakuan akhirnya
tersisih dari percanturan hidup. Pakuan sebagai pusat
pemerintahan akhirnya berakhir setelah
dibumihanguskan pasukan Banten, seluruh ibukota
kerajaan dihancurkan dan penduduknya panik melarikan
diri ke setiap penjuru. Sebagian besar, sembunyi di
hutan-hutan lebat, serta gunung-gunung yang belum
dijamah manusia.
Setelah berhasil menghancurkan Pakuan,
pasukan Banten kemudian menuju Pulasari untuk
menghancurkan ibukota baru itu. Prabu Seda dan
pengikutnya yang setia mengumpulkan segenap
kekuatannya melawan pasukan Banten. Tetapi, akhirnya
sang raja gugur bersama seluruh pengikutnya tanpa
sisa. Pajajaran “lenyap” pada tanggal 8 Mei 1579.
Pajajaran henteu sirna, tapi tilem ngawun-ngawun,
ngan engke bakal ngadeg deui
“Pajajaran tidak sirna, tapi hanya menghilang,
dan suatu saat akan berdiri kembali”.


1      2      3      4      5       6      7     8      9       10......

6 comments:

Unknown said...

dongeng

Dedi E Kusmayadi Soerialaga said...
This comment has been removed by the author.
Rudy said...

Apakah prabu seda yg makamnya ada di sajira kah?

Masker kefir said...

Hanya dongeng.

prabumulyan said...

Assalamu'alaikum wr wb .. Pelajari sejarah dengan baik dan benar, krn sejarah tidak akan bisa luput dari kebenaran yg hakiki. Kalau membaca tanpa didasari dengan sejarah dan hanya percaya saja tidak akan masuk ke dalam akal dengan baik bahkan muncul ke permukaan alam pikirnya dengan kata dongeng. Banyak contoh-contoh yg ada di Nusantara ini, tp selami dan nikmati dengan alam pikiran yg sehat. Semoga bisa dan berhasil. Amin 🙏

Rudi Irawadi said...

ya mungkin itu hanya cerita Rakyat atau tutur dongeng , tentu tdk berhinti disitu saja bisa dijadikan Penelitian secara Logis . yg pasti membutuhkan waktu & bukti ontentik. Trimakasih Salam Rahayu...