Search This Blog

Saturday, June 12, 2021

Tembang Dolanan

 

Tembang Dolanan Jawa digunakan metode pembacaan model semiotik yang terdiri atas pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre, 1978:39). Pembacaan heuristik adalah pembacaan yang cermat dalam tataran satuan linguistik pada teks tembang dolanan Jawa. Adapun pembacaan hermeneutik adalah pembacaan bolak-balik antara teks tembang dolanan Jawa dengan referensi di luar teks atau realitas sosial budaya masyarakat Jawa yang menjadi latar social dalam tembang dolanan Jawa tersebut.

Dalam masyarakat Jawa tembang sudah ada sejak semula, bahkan sebagian besar warisan budaya nenek moyang (Jawa) dikemas dalam bentuk kidung atau tembang. Salah satu warisan budaya yang dahulu digemari oleh anak-anak (Jawa) adalah tembang dolanan. Tembang dolanan ini bukan hanya berfungsi sebagai lagu yang biasanya dinyanyikan oleh anak-anak ketika bermain dan bersosialisasi dengan lingkungannya, atau lagu sekedar hiburan semata-mata. Lebih dari itu tembang dolanan merupakan karya seni yang sangat menarik karena di dalamnya terkandung makna yang tersirat, berisi pesan-pesan moral yang penting sebagai pembentuk karakter yang baik bagi anak bangsa. Makna yang dimaksud antara lain adalah pesan moral kepada anak-anak untuk memiliki sikap dan kepribadian yang religius, mengutamakan kebersamaan dan keselarasan dalam berhubungan dengan orang lain. Tidak malas atau sombong, rukun dengan sesama, dan senang membantu orang lain.

Ada sembilan pilar karakter, yang penting untuk ditanamkan dalam pembentukan kepribadian anak. Berbagai pilar karakter tersebut sejalan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai luhur universal, meliputi: (1) cinta kepada Tuhan dan alam semesta beserta isinya, (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian, (3) kejujuran, (4) hormat dan sopan santun, (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama, (6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi, cinta damai, dan persatuan.


1       2       3       4       5       6       7       8       9       10......

Wednesday, June 9, 2021

Banda Aceh

SEJARAH BANDAR ACEH DARUSSALAM

Banda Aceh dikenal sangat erat kaitannya dengan sejarah gemilang Kerajaan Aceh Darussalam. Di masa kesultanan, Banda Aceh dikenal sebagai Bandar Aceh Darussalam. Kota ini dibangun oleh Sultan Johan Syah pada hari Jumat, tanggal 1 Ramadhan 601 H (22 April 1205 M). Saat ini, Banda Aceh telah berusia 816 tahun. Banda Aceh merupakan salah satu kota Islam Tertua di Asia Tenggara. Kota Banda aceh juga memerankan peranan penting dalam penyebaran islam ke seluruh Nusantara. Oleh karena itu, kota ini juga dikenal sebagai Serambi Mekkah.

Jatuh Bangunnya Kota Banda Aceh
Banda Aceh Darussalam sebagai Ibukota Kerajaan Aceh Darussalam, yang sekarang menjadi Ibukota Daerah Istimewa Aceh, telah berusia 816 tahun, satu atau salah satu Kota Islam tertua di Asia Tenggara. Sebagai Ibukota dari sebuah Kerajaan Islam yang pertama di Asia Tenggara, Banda Aceh Darussalam dalam perjalanan sejarahnya telah pernah mengalami zaman gemilang dan telah pernah pula menderita masa suram yang menggetirkan. Masa-masa Kerajaan Aceh Darussalam di bawah Pemerintahan Sulthan Alaiddin Ali Mughaiyat Syah, Sulthan Alaidin Abdul Kahhar (Al Kahhar), Sulthan Alaiddin Iskandar MudaMeukuta Alam dan Sulthanah Tajul Alam Safiatuddin, adalahmasa masa ZAMAN GEMILANG-nya Banda Aceh Darussalam. 

Banda Aceh Darussalam mengalami percobaan berat, pada masa Pemerintahan Ratu, yaitu ketika golongan oposisi yangterkenal dengan "Kaum Wujudiyah" menjadi kalap karena usahanya untuk merebut kekuasaan gagal, hatta kekalapannya itu mendorong mereka untuk bertindak liar, yaitu membakar Kuta Dalam Darud Dunia, Mesjid Jami' Baiturrahman dan bangunan bangunan lain dalam wilayah kota. Sekali lagi Banda Aceh Darussalam menderita penghancuran yang getir, pada waktu pecah "Perang Saudara" antara Sulthanyang berkuasa dan adik-adiknya; peristiwa tragis yang dilukiskan Teungku Dirukam dalam karya sastranya, Hikayat Pocut Muhammad.
 
Masa yang amat getir dalam sejarah Banda Aceh Darussalam, ialah waktu terjadi Perang selama hampir 70 tahun, yang dilakukan oleh Sulthan dan Rakyat Aceh sebagai jawaban terhadap "ultimatum" Kerajaan Belanda yang bertanggal 26 Maret 1873. Yang lebih perih lagi, yaitu setelah Banda Aceh Darussalam menjadi puing, dan di atas puing Kota Islam yang tertua di Nusantara, Belanda mendirikan KOTA RAJA, sebagai langkah awal dari usaha penghapusan dan penghancuran kegemilangan Kerajaan Aceh Darussalam dan Ibukotanya Banda Aceh Darussalam. Banda Aceh Darussalam hancur seluruhnya, sebagai akibat suatu peperangan yang terhebat dan terlama dalam sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia. Tidak ada satu bangunan pun yang tinggal, karena Mesjid Raya Baiturrahman, Kuta Dalam Darud Dunia, gedung-gedung pemerintahan, toko-toko di wilayah perdagangan dan rumah-rumah rakyat merupakan "benteng" yang dipertahankan dengan gagah berani, hatta menjadi puing yang berserakan di atas bumi yang memerah Pada Saat Itu.
Yang masih sisa dari penghancuran total itu, ialah Kandang-Kandang (Makbarah) para Sulthan dan keluarganya dan Makam-Makam para Ulama Besar. Bangunan-bangunan yang bernilai seni tinggi itulah, yang menjadi SAKSI bisu sepanjang zaman, tetapi sanggup menceritakan MASA LAMPAU ACEH yang megah dan ZAMAN GEMILANG-nya Banda Aceh Darussalam.
Di masa kejayanya, Bandar Aceh Darussalam dikenal sebagai kota regional utama yang juga dikenal sebagai pusat pendidikan islam. Oleh karena itu, kota ini dikunjungi oleh banyak pelajar dari Timur Tengah, India dan Negara lainnya. Bandar Aceh Darussalam juga merupakan pusat perdagangan yang dikunjungi oleh para pedagang dari seluruh dunia termasuk dari Arab, Turki, China, Eropa, dan India. Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaan saat dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yang merupakan tokoh legendaris dalam sejarah Aceh.

Banyak dari pelajar dan pedagang pendatang ini akhirnya menetap di Aceh dan menikah dengan wanita lokal. Hal ini menyebabkan adanya pembauran budaya. Hingga saat ini, budaya-budaya masih menyisakan pemandangan di sudut-sudut kota Banda Aceh. Misalnya di Budaya Pecinan di Gampong Peunayong dan peninggalan kuburan Turki di Gampong Bitai dsb.