PRABU JAYADEWATA (1482 – 1521)
( PRABU SILIWANGI )
Jayadewata secara resmi diangkat sebagai raja
Kerajaan Pajajaran yang bertahta di Pakuan saat berusia
81 tahun. Saat pengangkatannya, dilakukan 2 kali
penobatan. Dari penobatannya pertama sebagai
penguasa Galuh beliau diberi gelar Ratu Purana Prebu
Guru Dewapranata. Sedangkan untuk penobatannya
sebagai penguasa Sunda-Galuh, beliau diberi gelar Sri
Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang
Ratu Dewata .
Dari beberapa kali pernikahannya, Sri Baduga
Maharaja dikabarkan memiliki 13 orang anak yang rata-
rata menjadi raja / penguasa yang menyebar ke seluruh
Tatar Pasundan.
Karena sepak terjang Jayadewata saat menjadi
Prabu Anom maupun setelah menjadi Raja Pajajaran
begitu hebat dan dikagumi oleh seluruh rakyatnya serta
dianggap sebagai raja di tatar Sunda yang terbesar
setelah era kekuasaan kakeknya (Prabu Niskala
Wastukancana), maka banyak para pujangga Sunda
menceritakan tokoh ini ke dalam bentuk sastra (seperti
dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun). Melalui bahasa
pujangga-pujangga tersebut Jayadewata digelari Prabu
Siliwangi (berasal dari kata “silih” yang berarti
menggantikan dan “wangi” yang diambil dari gelar
kakeknya yaitu Prabu Wangi / Prabu Anggalarang /
Prabu Niskala Wastukancana). Jadi, penggunaan gelar
Prabu Siliwangi ini sebenarnya bukan merupakan gelar
resmi, dan sang raja pun tidak pernah menggunakan
gelar ini untuk menunjukkan jati dirinya (seperti yang
tertulis pada prasasti-prasasti). Pemakaian sebutan
Prabu Siliwangi lebih bersifat kesusastraan, dan
kebiasaan dari rakyat di zaman itu yang merasa tabu
(tidak boleh) untuk menyebut secara langsung nama
atau gelar sesungguhnya dari sang raja yang berkuasa
dalam percakapan mereka sehari-hari.
Wangsakerta (ahli sejarah dari Cirebon sekaligus
penganggung jawab dari penyusunan Sejarah Nusantara)
mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi,
seperti tulisannya :
"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon
mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu
Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga
nira"
(Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua
orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja
Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya).
Jayadewata merupakan Prabu Siliwangi yang
sangat terkenal atau yang selama ini sering diceritakan
kemahsyurannya didalam cerita-cerita sejarah Pajajaran
dan masyarakat Sunda.
Di saat kekuasaanya, Pajajaran mengalami masa
kejayaannya ( kretayuga ), dimana sosial ekonomi
rakyatnya cukup sejahtera serta Pakuan yang menjadi
ibukota kerajaan mencapai puncak perkembangannya.
Sang Maharaja memperkuat sistem pertahanan
Pakuan secara spektakuler yaitu dengan cara
memperkokoh parit yang mengelilingi kerajaannya
sepanjang 3 kilometer di tebing Cisadane (parit tersebut
pertama kali dibuat oleh Rakeyan Banga). Sedangkan
bekas tanah galian dari proyek itu kemudian dijadikan
benteng yang memanjang di bagian dalam, sehingga jika
musuh menyerang dari luar akan terhambat oleh parit
kemudian benteng tanah.
Kemudian Sang Maharaja membuat tanda
peringatan berupa gunung-gunungan, yaitu bukit
Badigul di daerah Rancamaya (Bogor). Tempat tersebut
dijadikan sebagai tempat upacara keagamaan dan
menyemayamkan abu jenazah dari raja-raja tertentu.
Beliau juga memperkeras jalan dengan batu-
batuan tertentu dari keraton hingga gerbang Pakuan,
kemudian dilanjutkan lagi hingga ke Rancamaya (kurang
lebih 7 km). Gerbang Istana depan dinamakan Lawang
Saketeng, sedangkan gerbang istana belakang
dinamakan Lawang Gintung.
Untuk pelestarian lingkungan alam, Sang
Maharaja membuat semacam hutan lindung yang
berfungsi sebagai reservoir alami. Hutan tersebut
ditanami pohon samida, pohon tersebut kemungkinan
hanya boleh ditebang jika kayunya diperlukan untuk
kepentingan upacara kremasi.
Karya besar dari Sri Baduga Maharaja yaitu
pembangunan telaga besar yang bernama Sang Hyang
Talaga Rena Mahawijaya di hulu sungai Ciliwung
(Rancamaya, Bogor). Telaga tersebut berfungsi sebagai
tempat pariwisata dan penyuburan tanah.
Karya-karya lainnya dari Sri Baduga Maharaja
antara lain membuat jalan ke Wanagiri, membuat
“kaputren” (tempat isteri-isteri-nya),
“kesatrian” (asrama prajurit), satuan-satuan tempat
(pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat
angkatan perang, serta menyusun Undang-Undang
Kerajaan Pajajaran. Undang-undang yang disebut
Sanghiyang Siksakandang Karesian ini dirumuskan
berdasarkan sistem pemerintahan Sri Baduga Maharaja
yang sangat adil, Undang-Undang ini disusun pada
tahun 1518.
Sri Baduga Maharaja memiliki ahli syair yang
bernama Buyut Nyai Dawit , sedangkan ahli pemerintahan
dipegang oleh Adipati Pangeran Papak.
Kebijakan yang paling menarik di saat kekuasaan
dari Sri Baduga Maharaja adalah dengan membuat
penetapan batas-batas kabuyutan (daerah yang
dianggap suci dan dijadikan pusat pendidikan) yang
dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" atau disebut juga
desa perdikan (desa bebas pajak) di daerah Sunda
Sembawa, Gunung Samaya, dan Jayagiri. Tindakan ini
diambil karena Sri Baduga Maharaja merasa harus
menjalankan amanat dari kakeknya (Prabu Anggalarang /
Prabu Niskala Wastukancana). Bahkan amanat tersebut
diabadikan dalam prasasti yang terbuat dari tembaga
sebanyak 5 keping. Prasasti tersebut kemudian
ditemukan di Kabantenan. (isi dari prasasti itu lihat
Kerajaan Sunda sub- Prabu Anggalarang).
Penduduk di lurah kawikuan tersebut dibebaskan
dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga
perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif / kerja
bakti), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare
dongdang" (padi 1 gotongan).
Selain di 3 buah desa kawikuan, Sri Baduga
Maharaja juga memerintahkan kepada para petugas
muara agar dilarang untuk memungut bea. Raja ini
menganggap, tidak perlu memungut pajak pada mereka
yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada
ajaran-ajaran dan yang terus mengamalkan peraturan
dewa.
Dalam hal memperkuat angkatan perang, Prabu
Siliwangi ini membentuk satuan tentara dengan tugas
yang jelas. Misalnya Bhayangkara (prajurit keamanan),
Pamarang (prajurit yang ahli memainkan pedang) dan
Pamanah (prajurit ahli memanah). Dan terakhir Pasukan Elite Pengawal Raja, Puragabaya .Dengan pembagian
tugas tersebut menjadikan Pajajaran memiliki armada
perang yang tangguh.
Sedangkan untuk pertahananan di dalam
kerajaan, Sri Baduga Maharaja selalu menekankan
kepada rakyatnya agar berpedoman setia kepada
kebiasaan dan keaslian leluhur, jika hal itu dilaksanakan
dengan baik, maka beliau meyakini bahwa Pajajaran
tidak akan kedatangan musuh. Beliau sangat
menganjurkan kepada semua pendeta dan pengiringnya
untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi
penuntun kehidupan rakyat.
Kemahsyuran Pelabuhan Muara Jati sebagai
pelabuhan internasional makin berkembang saat Raden
Walangsungsang (anaknya dari Subang Larang),
menetap di Cirebon dan mendirikan Pakuwuan Cirebon
Larang di Cirebon pesisir. Langkah yang dilakukan
Raden Walangsungsang dalam mengelola Pelabuhan
Muara Jati waktu itu (tugas warisan dari Ki Gedeng Tapa
yang telah wafat) di antaranya adalah membentuk satuan
penjaga keamanan untuk mengamankan Pelabuhan
Muara Jati yang semakin ramai.
Setelah daerah itu semakin maju, akhirnya Raden
Walangsungsang diangkat sebagai raja daerah Kerajaan
Cirebon Larang oleh Sri Baduga Maharaja.
Sebagai kerajaan yang memperoleh pendapatan
dari hasil niaga, Pajajaran saat itu merasa cemas
dengan hubungan harmonis antara Cirebon Larang (yang
dipimpin oleh anaknya yang bernama Raden
Walangsungsang) dan Demak. Pada saat itu, armada
Laut Demak sering berada di pelabuhan Muara Jati. Sri
Baduga Maharaja khawatir apabila kehadiran armada
Demak dapat mengganggu jalannya perniagaan
Pajajaran. Sekitar abad ke-15 di Nusantara, Pajajaran
dan Demak termasuk kerajaan yang memiliki jalur
perdagangan sangat ramai.
Demak yang terkenal kuat dalam angkatan
lautnya, saat itu tengah mengalami beberapa kekalahan
dari Portugis yang telah menguasai selat Malaka. Berita
kekalahan ini membuat Sri Baduga Maharaja merasa
perlu mengadakan hubungan kerjasama dengan
Portugis.
Seperti yang kita tahu, Pajajaran merupakan
penguasa di Selat Sunda dan Portugis berkuasa di Selat
Malaka. Sebagai penguasa di 2 selat yang menjadi jalan
masuk perniagaan dan bangsa asing ke Nusantara,
tentunya keputusan Sri Baduga Maharaja ini sangat
cemerlang. Kerjasama antara Pajajaran dan Portugis
sangat tepat dilakukan untuk menguasai jalur niaga di
Nusantara.
Kerjasama ini dilakukan bukan maksud
menggalang kekuatan untuk menyerang Demak,
melainkan hanya upaya antisipasi apabila Demak
membantu Cirebon melakukan serangan dalam upaya
pembebasan diri dari Pajajaran. Rupanya, Sri Baduga
Maharaja sudah dapat mencium gelagat dari Raden
Walangsungsang dalam upaya memerdekakan diri.
Untuk memuluskan rencananya, maka Sri Baduga
Maharaja mengutus Surawisesa (putera mahkota
Pajajaran) untuk mengadakan kerjasama dengan Alfonso
d’ Albuquerque (Laksamana Bunker Portugis di Malaka).
Pada tahun 1512, Surawisesa mengunjungi
Malaka dan akhirnya perjanjian bilateral resmi antara
Pajajaran – Portugis, dengan hasil kesepakatan adalah
Portugis berjanji untuk membantu Kerajaan Pajajaran
bila diserang oleh pasukan Demak dan Cirebon, serta
ingin menjalin hubungan dagang.
Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1513,
Pajajaran didatangi oleh duta-duta dari Portugis dengan
menumpang 4 buah kapal. Salah seorang dari
rombongan Portugis tersebut bernama Tome Pires yang
bertindak sebagai juru catat perjalanan. Tome Pires
sendiri mencatat mengenai kekuasaan dari Sri Baduga
Maharaja adalah “the kingdom of Sunda is justtly
governed” (Kerajaan Sunda / Pajajaran diperintah
dengan adil). Kerjasama kali itu baru merupakan tahap
penjajakan.
Kebijakan-kebijakan dari Prabu Siliwangi itulah
yang menunjukan kemakmuran, kebesaran, dan kejayaan
Pajajaran pada masa kekuasaannya. Raja ini menerapkan
motto hidup “silih asah, silih asih, silih asuh“ . Dengan
kebijakan dan strategi-strategi itu pula, kita dapat
mengakui bahwa Prabu Siliwangi ini adalah seorang
raja yang mampu memimpin kerajaan dan juga seorang
yang ahli strategi perang, sehingga saat itu Pajajaran
tidak dapat disusupi oleh musuh. Karena itulah, orang
pada zaman itu seakan teringat kembali kepada
kebesaran mendiang kakek buyutnya (Prabu Maharaja
Lingga Buana) .
Dalam Carita Parahyangan, pemerintahan Sri
Baduga dilukiskan demikian :
"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh
ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan
kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja
loba di sanghiyang siksa"
(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan
kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit
batin. Bahagia sejahtera di utara, selatan, barat dan
timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah
tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Namun kebesaran yang dimiliki Pajajaran saat
itu tidak serta merta membuat sang raja merasa tenang,
hal ini dikarenakan pada saat itu banyak Rakyat
Pajajaran yang beralih ke agama Islam dengan
meninggalkan agama lama. Mereka oleh sang Maharaja
disebut "loba" (serakah) karena merasa tidak puas
dengan agama yang ada, lalu mencari yang baru.
Meskipun merasa kesal, tetapi Sri Baduga Maharaja
hanya bisa menyindir tanpa melakukan tindakan “fisik”
atau mengeluarkan perintah larangan, karena beliau
menyadari bahwa memilih agama merupakan hak bagi
setiap rakyatnya. Dengan demikian beliau tetap
memperlakukan adil bagi rakyatnya yang telah memeluk
agama Islam.
Untuk lebih mempererat kerjasama dengan
Portugis, pada tahun 1521 Sri Baduga Maharaja kembali
menugaskan Surawisesa untuk menemui Portugis di
Malaka. Penugasan ini dilakukan beberapa bulan
sebelum sang Maharaja wafat.
Sri Baduga Maharaja wafat pada tanggal 31
Desember 1521 dalam usia yang sangat sepuh yaitu 120
tahun. Kekuasaan Kerajaan Pajajaran diserahkan pada
puteranya yang bernama Surawisesa (anak dari Kentring
Manik Mayang Sunda).
Ketika sudah dikubur selama 12 tahun, makam Sri
Baduga Maharaja digali kembali atas perintah dari
Surawisesa. Kemudian kerangkanya diangkat untuk
dikremasi. Setelah itu, abu jenazahnya tadi kemudian
ditaburkan di Rancamaya, Bogor ( kini sudah
dijadikan lapangan golf serta perumahan mewah).
Selain di Rancamaya, sisa abu jenazahnya itu kemudian
dibagikan kepada raja-raja daerah (bawahan Pajajaran)
untuk dipusarakan di tempat kabuyutan daerah itu.
Karena itulah, maka tidak perlu heran apabila di
beberapa tempat banyak yang mengklaim sebagai
tempat dari makam Prabu Siliwangi.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10......
Kerajaan Pajajaran yang bertahta di Pakuan saat berusia
81 tahun. Saat pengangkatannya, dilakukan 2 kali
penobatan. Dari penobatannya pertama sebagai
penguasa Galuh beliau diberi gelar Ratu Purana Prebu
Guru Dewapranata. Sedangkan untuk penobatannya
sebagai penguasa Sunda-Galuh, beliau diberi gelar Sri
Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang
Ratu Dewata .
Dari beberapa kali pernikahannya, Sri Baduga
Maharaja dikabarkan memiliki 13 orang anak yang rata-
rata menjadi raja / penguasa yang menyebar ke seluruh
Tatar Pasundan.
Karena sepak terjang Jayadewata saat menjadi
Prabu Anom maupun setelah menjadi Raja Pajajaran
begitu hebat dan dikagumi oleh seluruh rakyatnya serta
dianggap sebagai raja di tatar Sunda yang terbesar
setelah era kekuasaan kakeknya (Prabu Niskala
Wastukancana), maka banyak para pujangga Sunda
menceritakan tokoh ini ke dalam bentuk sastra (seperti
dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun). Melalui bahasa
pujangga-pujangga tersebut Jayadewata digelari Prabu
Siliwangi (berasal dari kata “silih” yang berarti
menggantikan dan “wangi” yang diambil dari gelar
kakeknya yaitu Prabu Wangi / Prabu Anggalarang /
Prabu Niskala Wastukancana). Jadi, penggunaan gelar
Prabu Siliwangi ini sebenarnya bukan merupakan gelar
resmi, dan sang raja pun tidak pernah menggunakan
gelar ini untuk menunjukkan jati dirinya (seperti yang
tertulis pada prasasti-prasasti). Pemakaian sebutan
Prabu Siliwangi lebih bersifat kesusastraan, dan
kebiasaan dari rakyat di zaman itu yang merasa tabu
(tidak boleh) untuk menyebut secara langsung nama
atau gelar sesungguhnya dari sang raja yang berkuasa
dalam percakapan mereka sehari-hari.
Wangsakerta (ahli sejarah dari Cirebon sekaligus
penganggung jawab dari penyusunan Sejarah Nusantara)
mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi,
seperti tulisannya :
"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon
mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu
Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga
nira"
(Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua
orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja
Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya).
Jayadewata merupakan Prabu Siliwangi yang
sangat terkenal atau yang selama ini sering diceritakan
kemahsyurannya didalam cerita-cerita sejarah Pajajaran
dan masyarakat Sunda.
Di saat kekuasaanya, Pajajaran mengalami masa
kejayaannya ( kretayuga ), dimana sosial ekonomi
rakyatnya cukup sejahtera serta Pakuan yang menjadi
ibukota kerajaan mencapai puncak perkembangannya.
Sang Maharaja memperkuat sistem pertahanan
Pakuan secara spektakuler yaitu dengan cara
memperkokoh parit yang mengelilingi kerajaannya
sepanjang 3 kilometer di tebing Cisadane (parit tersebut
pertama kali dibuat oleh Rakeyan Banga). Sedangkan
bekas tanah galian dari proyek itu kemudian dijadikan
benteng yang memanjang di bagian dalam, sehingga jika
musuh menyerang dari luar akan terhambat oleh parit
kemudian benteng tanah.
Kemudian Sang Maharaja membuat tanda
peringatan berupa gunung-gunungan, yaitu bukit
Badigul di daerah Rancamaya (Bogor). Tempat tersebut
dijadikan sebagai tempat upacara keagamaan dan
menyemayamkan abu jenazah dari raja-raja tertentu.
Beliau juga memperkeras jalan dengan batu-
batuan tertentu dari keraton hingga gerbang Pakuan,
kemudian dilanjutkan lagi hingga ke Rancamaya (kurang
lebih 7 km). Gerbang Istana depan dinamakan Lawang
Saketeng, sedangkan gerbang istana belakang
dinamakan Lawang Gintung.
Untuk pelestarian lingkungan alam, Sang
Maharaja membuat semacam hutan lindung yang
berfungsi sebagai reservoir alami. Hutan tersebut
ditanami pohon samida, pohon tersebut kemungkinan
hanya boleh ditebang jika kayunya diperlukan untuk
kepentingan upacara kremasi.
Karya besar dari Sri Baduga Maharaja yaitu
pembangunan telaga besar yang bernama Sang Hyang
Talaga Rena Mahawijaya di hulu sungai Ciliwung
(Rancamaya, Bogor). Telaga tersebut berfungsi sebagai
tempat pariwisata dan penyuburan tanah.
Karya-karya lainnya dari Sri Baduga Maharaja
antara lain membuat jalan ke Wanagiri, membuat
“kaputren” (tempat isteri-isteri-nya),
“kesatrian” (asrama prajurit), satuan-satuan tempat
(pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat
angkatan perang, serta menyusun Undang-Undang
Kerajaan Pajajaran. Undang-undang yang disebut
Sanghiyang Siksakandang Karesian ini dirumuskan
berdasarkan sistem pemerintahan Sri Baduga Maharaja
yang sangat adil, Undang-Undang ini disusun pada
tahun 1518.
Sri Baduga Maharaja memiliki ahli syair yang
bernama Buyut Nyai Dawit , sedangkan ahli pemerintahan
dipegang oleh Adipati Pangeran Papak.
Kebijakan yang paling menarik di saat kekuasaan
dari Sri Baduga Maharaja adalah dengan membuat
penetapan batas-batas kabuyutan (daerah yang
dianggap suci dan dijadikan pusat pendidikan) yang
dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" atau disebut juga
desa perdikan (desa bebas pajak) di daerah Sunda
Sembawa, Gunung Samaya, dan Jayagiri. Tindakan ini
diambil karena Sri Baduga Maharaja merasa harus
menjalankan amanat dari kakeknya (Prabu Anggalarang /
Prabu Niskala Wastukancana). Bahkan amanat tersebut
diabadikan dalam prasasti yang terbuat dari tembaga
sebanyak 5 keping. Prasasti tersebut kemudian
ditemukan di Kabantenan. (isi dari prasasti itu lihat
Kerajaan Sunda sub- Prabu Anggalarang).
Penduduk di lurah kawikuan tersebut dibebaskan
dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga
perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif / kerja
bakti), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare
dongdang" (padi 1 gotongan).
Selain di 3 buah desa kawikuan, Sri Baduga
Maharaja juga memerintahkan kepada para petugas
muara agar dilarang untuk memungut bea. Raja ini
menganggap, tidak perlu memungut pajak pada mereka
yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada
ajaran-ajaran dan yang terus mengamalkan peraturan
dewa.
Dalam hal memperkuat angkatan perang, Prabu
Siliwangi ini membentuk satuan tentara dengan tugas
yang jelas. Misalnya Bhayangkara (prajurit keamanan),
Pamarang (prajurit yang ahli memainkan pedang) dan
Pamanah (prajurit ahli memanah). Dan terakhir Pasukan Elite Pengawal Raja, Puragabaya .Dengan pembagian
tugas tersebut menjadikan Pajajaran memiliki armada
perang yang tangguh.
Sedangkan untuk pertahananan di dalam
kerajaan, Sri Baduga Maharaja selalu menekankan
kepada rakyatnya agar berpedoman setia kepada
kebiasaan dan keaslian leluhur, jika hal itu dilaksanakan
dengan baik, maka beliau meyakini bahwa Pajajaran
tidak akan kedatangan musuh. Beliau sangat
menganjurkan kepada semua pendeta dan pengiringnya
untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi
penuntun kehidupan rakyat.
Kemahsyuran Pelabuhan Muara Jati sebagai
pelabuhan internasional makin berkembang saat Raden
Walangsungsang (anaknya dari Subang Larang),
menetap di Cirebon dan mendirikan Pakuwuan Cirebon
Larang di Cirebon pesisir. Langkah yang dilakukan
Raden Walangsungsang dalam mengelola Pelabuhan
Muara Jati waktu itu (tugas warisan dari Ki Gedeng Tapa
yang telah wafat) di antaranya adalah membentuk satuan
penjaga keamanan untuk mengamankan Pelabuhan
Muara Jati yang semakin ramai.
Setelah daerah itu semakin maju, akhirnya Raden
Walangsungsang diangkat sebagai raja daerah Kerajaan
Cirebon Larang oleh Sri Baduga Maharaja.
Sebagai kerajaan yang memperoleh pendapatan
dari hasil niaga, Pajajaran saat itu merasa cemas
dengan hubungan harmonis antara Cirebon Larang (yang
dipimpin oleh anaknya yang bernama Raden
Walangsungsang) dan Demak. Pada saat itu, armada
Laut Demak sering berada di pelabuhan Muara Jati. Sri
Baduga Maharaja khawatir apabila kehadiran armada
Demak dapat mengganggu jalannya perniagaan
Pajajaran. Sekitar abad ke-15 di Nusantara, Pajajaran
dan Demak termasuk kerajaan yang memiliki jalur
perdagangan sangat ramai.
Demak yang terkenal kuat dalam angkatan
lautnya, saat itu tengah mengalami beberapa kekalahan
dari Portugis yang telah menguasai selat Malaka. Berita
kekalahan ini membuat Sri Baduga Maharaja merasa
perlu mengadakan hubungan kerjasama dengan
Portugis.
Seperti yang kita tahu, Pajajaran merupakan
penguasa di Selat Sunda dan Portugis berkuasa di Selat
Malaka. Sebagai penguasa di 2 selat yang menjadi jalan
masuk perniagaan dan bangsa asing ke Nusantara,
tentunya keputusan Sri Baduga Maharaja ini sangat
cemerlang. Kerjasama antara Pajajaran dan Portugis
sangat tepat dilakukan untuk menguasai jalur niaga di
Nusantara.
Kerjasama ini dilakukan bukan maksud
menggalang kekuatan untuk menyerang Demak,
melainkan hanya upaya antisipasi apabila Demak
membantu Cirebon melakukan serangan dalam upaya
pembebasan diri dari Pajajaran. Rupanya, Sri Baduga
Maharaja sudah dapat mencium gelagat dari Raden
Walangsungsang dalam upaya memerdekakan diri.
Untuk memuluskan rencananya, maka Sri Baduga
Maharaja mengutus Surawisesa (putera mahkota
Pajajaran) untuk mengadakan kerjasama dengan Alfonso
d’ Albuquerque (Laksamana Bunker Portugis di Malaka).
Pada tahun 1512, Surawisesa mengunjungi
Malaka dan akhirnya perjanjian bilateral resmi antara
Pajajaran – Portugis, dengan hasil kesepakatan adalah
Portugis berjanji untuk membantu Kerajaan Pajajaran
bila diserang oleh pasukan Demak dan Cirebon, serta
ingin menjalin hubungan dagang.
Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1513,
Pajajaran didatangi oleh duta-duta dari Portugis dengan
menumpang 4 buah kapal. Salah seorang dari
rombongan Portugis tersebut bernama Tome Pires yang
bertindak sebagai juru catat perjalanan. Tome Pires
sendiri mencatat mengenai kekuasaan dari Sri Baduga
Maharaja adalah “the kingdom of Sunda is justtly
governed” (Kerajaan Sunda / Pajajaran diperintah
dengan adil). Kerjasama kali itu baru merupakan tahap
penjajakan.
Kebijakan-kebijakan dari Prabu Siliwangi itulah
yang menunjukan kemakmuran, kebesaran, dan kejayaan
Pajajaran pada masa kekuasaannya. Raja ini menerapkan
motto hidup “silih asah, silih asih, silih asuh“ . Dengan
kebijakan dan strategi-strategi itu pula, kita dapat
mengakui bahwa Prabu Siliwangi ini adalah seorang
raja yang mampu memimpin kerajaan dan juga seorang
yang ahli strategi perang, sehingga saat itu Pajajaran
tidak dapat disusupi oleh musuh. Karena itulah, orang
pada zaman itu seakan teringat kembali kepada
kebesaran mendiang kakek buyutnya (Prabu Maharaja
Lingga Buana) .
Dalam Carita Parahyangan, pemerintahan Sri
Baduga dilukiskan demikian :
"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh
ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan
kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja
loba di sanghiyang siksa"
(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan
kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit
batin. Bahagia sejahtera di utara, selatan, barat dan
timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah
tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Namun kebesaran yang dimiliki Pajajaran saat
itu tidak serta merta membuat sang raja merasa tenang,
hal ini dikarenakan pada saat itu banyak Rakyat
Pajajaran yang beralih ke agama Islam dengan
meninggalkan agama lama. Mereka oleh sang Maharaja
disebut "loba" (serakah) karena merasa tidak puas
dengan agama yang ada, lalu mencari yang baru.
Meskipun merasa kesal, tetapi Sri Baduga Maharaja
hanya bisa menyindir tanpa melakukan tindakan “fisik”
atau mengeluarkan perintah larangan, karena beliau
menyadari bahwa memilih agama merupakan hak bagi
setiap rakyatnya. Dengan demikian beliau tetap
memperlakukan adil bagi rakyatnya yang telah memeluk
agama Islam.
Untuk lebih mempererat kerjasama dengan
Portugis, pada tahun 1521 Sri Baduga Maharaja kembali
menugaskan Surawisesa untuk menemui Portugis di
Malaka. Penugasan ini dilakukan beberapa bulan
sebelum sang Maharaja wafat.
Sri Baduga Maharaja wafat pada tanggal 31
Desember 1521 dalam usia yang sangat sepuh yaitu 120
tahun. Kekuasaan Kerajaan Pajajaran diserahkan pada
puteranya yang bernama Surawisesa (anak dari Kentring
Manik Mayang Sunda).
Ketika sudah dikubur selama 12 tahun, makam Sri
Baduga Maharaja digali kembali atas perintah dari
Surawisesa. Kemudian kerangkanya diangkat untuk
dikremasi. Setelah itu, abu jenazahnya tadi kemudian
ditaburkan di Rancamaya, Bogor ( kini sudah
dijadikan lapangan golf serta perumahan mewah).
Selain di Rancamaya, sisa abu jenazahnya itu kemudian
dibagikan kepada raja-raja daerah (bawahan Pajajaran)
untuk dipusarakan di tempat kabuyutan daerah itu.
Karena itulah, maka tidak perlu heran apabila di
beberapa tempat banyak yang mengklaim sebagai
tempat dari makam Prabu Siliwangi.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10......
No comments:
Post a Comment