Search This Blog

Monday, September 30, 2019

Situs Waruga


Situs Waruga di Minahasa Utara
Memasuki salah satu situs bersejarah di Minahasa Utara ini butuh sedikit perjuangan untuk mencarinya. Letaknya yang berada di belakang perumahan dan lahan penduduk membuat salah satu situs bersejarah di Sulawesi Utara ini agak tersembunyi. Inilah Situs Waruga Sawangan yang merupakan kuburan tua peninggalan zaman megalitik orang Minahasa.

Waruga di Minahasa diperkirakan berkembang pada sekitar awal abad ke-13 sebelum Masehi. Kemunculan Waruga pertama kali di daerah Bukit Kelewer, Treman, dan Tumaluntung, Kabupaten Minahasa Utara. Kemunculan Waruga kemudian terus berkembang di berbagai daerah di Sulawesi Utara hingga awal abad ke-20 Masehi.

Pada zaman pra-sejarah masyarakat Minahasa masih percaya jika roh leluhur memiliki kekuatan magis. Untuk itu, kuburan dibuat secara khusus dengan seindah mungkin. Waruga terdiri dari dua bagian, bagian badan dan bagian tutup. Bagian badan berbentuk kubus dan bagian tutup berbentuk menyerupai atap rumah.

Uniknya, waruga tidak dibuat oleh kerabat atau keluarga dari orang yang meninggal akan tetapi dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggal. Ketika orang itu akan meninggal maka dengan sendirinya akan memasuki waruga yang dibuatnya itu setelah diberi bekal kubur lengkap. Suatu hari bila itu dilakukan dengan sepenuhnya akan mendatangkan kebaikan bagi keluarga yang ditinggalkan.

Sebenarnya di Sulawesi Utara banyak terdapat situs Waruga, salah satunya di Desa Sawangan Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa Utara. Terdapat 143 buah Waruga di desa ini yang dibagi dalam beberapa ukuran yang dikelompokkan menjadi 3 kelompok.

Kelompok pertama, Waruga berukuran kecil dengan ketinggian antara 0-100 cm sebanyak 10 buah. Kedua, Waruga berukuran sedang dengan ketinggian antara 101-150 cm sebanyak 52 buah. Ketiga, Waruga berukuran besar dengan ketinggian antara 151-250 cm sebanyak 81 buah.
Waruga sendiri berasal dari bahasa Tombulu, yakni dari suku kata Wale Maruga yang memiliki arti rumah dari badan yang akan kering. Waruga juga memiliki arti lainnya yakni Wale Waru atau kubur dari Domato atau sejenis tanah lilin.

1      2      3      4      5      6      7      8      9      10

Saturday, September 28, 2019

Lompat Batu Nias

Tradisi melompat batu atau yang biasa disebut oleh orang Nias sebagai fahombo batu adalah pada mulanya dilakukan oleh seorang pemuda Nias untuk menunjukan bahwa pemuda yang bersangkutan sudah dianggap dewasa dan matang secara fisik. Lebih jauh dari itu bila sang pemuda mampu melompati batu yang disusun hingga mencapai ketinggian 2 m dengan ketebalan 40 cm dengan sempurna maka itu artinya sang pemuda kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya samu’i mbanua atau la’imba hor, jika ada konflik dengan warga desa lain.
Tapi satu hal yang perlu diketahui bahwa tradisi lompat batu ini tidak terdapat di semua wilayah Nias dan hanya terdapat pada kampung-kampung tertentu saja seperti di wilayah Teluk Dalam. Dan satu hal lagi, tradisi ini hanya boleh diikuti oleh kaum laki-laki saja, dan sama sekali tak memperbolehkan kaum perempuan untuk mencobanya mengingat lompat batu merupakan ajang ketangkasan yang nantinya bila berhasil melompat dengan sempurna yang bersangkutan akan didampuk menjadi pembela kampungnya ketika ada perselisihan dengan kampung lain.

Oleh karena begitu prestisiusnya kemampuan lompat batu ini, maka sang pemuda yang telah berhasil menaklukan batu ini pada kali pertama bukan saja akan menjadi kebanggaan dirinya sendiri tapi juga bagi keluarganya. Bagi keluarga sang pemuda yang baru pertama kali mampu melompati batu setinggi 2 meter ini biasanya akan menyembelih beberapa ekor ternak sebagai wujud syukuran atas keberhasilan anaknya.

Karena suatu kebanggaan, maka setiap pemuda tidak mau kalah dengan yang lain. Sejak umur sekitar 7-12 tahun atau sesuai dengan pertumbuhan seseorang, anak-anak laki-laki biasanya bermain dengan melompat tali. Mereka menancapkan dua tiang sebelah menyebelah, membuat batu tumpuan, lalu melompatinya. Dari yang rendah, dan lama-lama ditinggikan. Ada juga dengan bantuan dua orang teman yang memegang masing-masing ujung tali, dan yang lain melompatinya secara bergilir. Mereka bermain dengan semangat kebersamaan dan perjuangan.
Uniknya, konon meski sudah latihan keras tidak semua pemuda akhirnya berhasil melewati undukan batu bersusun itu, bahkan tak jarang dari mereka ada yang sampai patah tulang karena tersangkut ketika mencoba melewati batu tersebut. Tapi tak jarang pula ada pemuda yang hanya berlati sekali dua tapi langsung mampu melewati batu tersebut. Menurut kepercayaan setempat hal ini dipengaruhi oleh faktor genetika. Jika ayahnya atau kakeknya seorang pemberani dan pelompat batu, maka diantara para putranya pasti ada yang dapat melompat batu. Kalau ayahnya dahulu adalah seorang pelompat batu semasih muda, maka anak-anaknya pasti dapat melompat walaupun latihannya sedikit. Bahkan ada yang hanya mencoba satu-dua kali, lalu, bisa melompat dengan sempurna tanpa latihan dan pemanasan tubuh.

Kemampuan dan ketangkasan melompat batu juga dihubungkan dengan kepercayaan lama. Seseorang yang baru belajar melompat batu, ia terlebih dahulu memohon restu dan meniati roh-roh para pelompat batu yang telah meninggal. Ia musti memohon izin kepada arwah para leluhur yang sering melompati batu tersebut. Tujuanya untuk menghindari kecelakaan atau bencana bagi para pelompat ketika sedang mengudara, lalu menjatuhkan diri ke tanah. Sebab banyak juga pelompat yang gagal dan mendapat kecelakaan.
Lantas kenapa para pemuda yang mampu melompat batu kemudian akan menjadi ksatria dikampungnya? Itu lantaran ketika terjadi peperangan antar kampung maka para prajurit yang menyerang harus mempunyai keahlian melompat untuk menyelamatkan diri mengingat setiap kampung di wilayah Teluk Dalam rata-rata dikelilingi oleh pagar dan benteng desa. Maka dari itu ketika tradisi berburu kepala orang atau dalam sebutan mereka mangaih’g dijalankan sang pemburu kepala manusia ketika dikejar atau melarikan diri, mereka harus mampu melompat pagar atau benteng desa sasaran yang telah dibangun dari batu atau bambu atau dari pohon tali’anu supaya tidak terperangkap di daerah musuh.Itu juga sebabnya desa-desa didirikan di atas bukit atau gunung hili supaya musuh tidak gampang masuk dan tidak cepat melarikan diri.

Dan bagi pemuda yang dapat selamat dari perangkap musuh itulah yang kemudian akan pulang ke kampungnya dengan segala kehormatan dan dielu-elukan sebagai pahlawan.

1      2      3      4      5      6      7      8      9      10

Thursday, September 26, 2019

KERIS MANIFESTASI "JIWA JAWI"

Disini tidak akan membenarkan dan menyalahkan apa yang sudah terjadi dalam pemahaman soal keris dan tosan aji lainnya. Yang pantas dicari adalah bagaimana budaya keris atau tosan aji itu memberikan manfaat bagi kehidupan kita bersama. Oleh karena itu, sekedar mau menyodorkan sebuah peringatan nenek moyang yang berbunyi "Janjine dudu jimat keramat, ananging angunging Gusti Kang Pinuji"Keris bukan sebagai jimat, tetapi lebih sebagai piyandel (harapan, doa, dan kepercayaan), sebagai sarana memuji dan memuja Sang Pencipta. Intinya keberadaan keris tersebut harus berguna bagi masyarakat. 

Singkat ceritanya keris adalah ilmu dan dipandang sebagai sebuah manifestasi 'Semangat hidup dan kearifan Jawa', Jiwa Jawi. Jawa berasal dari kata "Javana" yang bearti kearif-bijaksanaan. Kata keris berasal dari mangker karana aris artinya mundur dengan bijaksana maksudnya mundur dari dunia ini dengan bijaksana. Oleh karena itu menggeluti dunia keris seharusnya bergulat dengan membaca alam, membaca diri, dan membaca kehendak Sang Pencipta.
Keris merupakan simbol pribadi, piyandel, sipat kandel, dan ini merupakan kepercayaan yang tidak bisa digugat dalam dunia perkerisan. Keris mempunyai makna dan isi, pertama-tama yang harus disadari adalah
keris itu berisi piwulang-wewarah, nasehat untuk hidup dengan baik dan benar (harapan agar manusia menjadi arif dan bijaksana).

Keinginan manusia pada dasarnya hanyalah satu yaitu menuju Sang Pencipta, dan di dalam keris itulah diungkap filsafat sangkan paraning dumadi (asal manusia lahir dan kemana tujuan hidupnya), sangkan paraning pambudi (berupaya mencapai tujuan hidup dengan ilmu) atau Manunggaling Kawula Gusti (upaya menuju arah tujuan hidup). Oleh karenanya secara fisik keris menggambarkan dan menggoreskan harapan sekaligus nasehat agar manusia senantiasa bertindak dan bersikap seperti yang digambarkan oleh keris. Gambaran itu diadopsi di dalam dapur, pamor, juga racikan yang tertera dalam keris. Keris dengan luwes menggambarkan upaya/usaha manusia untuk menuju Sang Pencipta.

Keris ada yang lurus dan ada yang lekuk hal ini menggambarkan suatu semangat Teguh dalam niat, luwes dalam pelaksanaannya artinya manusia diminta bijaksana dalam menjalani hidupnya, luwes dan tidak kaku. Ketajaman keris dimaksudkan bukan untuk perang melawan orang lain, tetapi untuk memerangi diri sendiri, keris bukan untuk membunuh tetapi digunakan untuk melindungi diri dimana hal ini sangat sulit untuk dipisahkan/dibedakan jika seseorang sangat ingin berkuasa, maksudnya adalah kemampuan untuk mengendalikan nafsu dalam diri sendiri.

Lalu dimana letak magis keris? Di dalam filsafat Jawa digoreskan Bapak (wong tuwo) tapa, anak nampa, putu nemu, buyut katut, canggah kesrambah maksudnya jika ayah (orang tua) hidup prihatin dan anak, cucu, cicit, dan canggah yang akan menerima kebahagiaan. Keprihatinan yang diwujudkan dalam benda yang pengerjaannya dilakukan oleh seorang Empu dengan bermati raga dan bertapa selama paling tidak 3 bulan tentu memberikan daya yang sangat kuat yang terekam di dalam mantra yang terpatri dalam godaman sang empu lewat pembakaran dan penempaan yang terus menerus dalam keprihatinan yang mendalam.
Doa yang terlantun dari empu yang berupa mantra-mantra ibarat kaset yang diputar dan terekam di dalam keris dan tosan aji. Kaset itu bisa diputar balik apabila yang mempunyai keris tahu cara memutarnya. Oleh
karena itu dalam dunia perkerisan ada laku/ritual yang harus ditempuh seseorang apabila hendak membeli keris. Membeli keris memang dengan uang, tetapi ada yang lebih penting dari itu, yaitu dengan laku keprihatinan, laku yang sangat umum adalah Tyas manis kang mantesi, ruming wicara kang mranani, sinembah laku utama ( Hati yang baik yang selalu mengemuka, keharuman pembicaraan yang senantiasa menarik, ditambah laku keutamaan ). Tanpa laku itu keris tidak akan bermakna. Keris yang handal butuh laku yang handal pula, oleh karena itu meski kita mempunyai keris Gajah Mada sekalipun tanpa laku yang memadai keris itu tidak akan berguna, lantaran tidak bisa dihidupkan daya magisnya. Walaupun keris iu dalam eksoterinya kurang berkelas, tetapi jika disertai laku luhur pemiliknya, maka boleh jadi keris itu akan bermakna bagi hidup pemiliknya.
Inilah selintas pemahaman keris sebagai manifestasi Jiwa Jawi yang tidak sekedar bermuatan etnis Jawa, tetapi Jawa dalam arti Javana yaitu kearif-bijaksanaan.

1       2       3       4       5       6        7        8        9        10.....