Search This Blog

Friday, November 8, 2019

Dinasti Warmadewa

Dinasti Warman atau Warmadewa berasal dari Kerajaan Pallawa. Kata Warmadewa berasal dari bahasa India yang berarti Dewa Pelindung atau dilindungi Dewa. Dinasti Warmadewa menyebar ke Indonesia pada abad ke-5, dan mendirikan banyak kerajaan. Kaundhiya, pengikut ajaran Maharesi Agastya mendirikan Dinasti Warmadewa di Funan. Kundungga mendirikan Dinasti Warmadewa di Kutai. Beberapa kerajaan lain yang dikuasai Dinasti Warmadewa antara lain Chenla (Angkor) di Kamboja, Lin Yi (Campa) di Vietnam, Kuntala dan Malayu di Swarnadwipa, Salakanegara dan Tarumanegara di Sunda, Kalingga dan Mataram di Jawa dan Singhadwara di Bali. Raja-raja terkenal dari dinasti adalah Dapunta Hyang Sri Jayanaga (Sriwijaya) dari Melayu, Dapunta Hyang Syailendra dari Jawa, Mulawarman dari Kutai, Purnawarman dari Tarumanegara, Adityawarman dari Dharmasyraya, Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi, Dharma Udayana Warmadewa dari Bali, Dharmawangsa Warmadewa dari Medang, Airlangga dari Kahuripan (Kediri).

Kata Warmadewa dalam bahasa Sanskerta berarti sama dengan ALexander dalam bahasa Yunani. Menurut Tun Sri Lanang dalam Sejarah Melayu (1612), Dinasti Warmadewa merupakan keturunan dari Alexander, raja Makduniah (Macedonia) Yunani yang pernah menguasai India pada abad IV SM. Menurut Sejarah Melayu, Dinasti Warmadewa turun ke Negeri Melayu, negeri yang berada di Sungai Melayu, hulu Sungai Tatang, di bukit Siguntang Mahameru, Palembang, tanah Andalas. Raja Warmadewa pertama yang mengambil alih kekuasaan dari Demang Lebar Daun di Palembang adalah Paduka Sri Tribuana, pangkal empat jurai rajakula di Asia Tenggara, yaitu Palembang, Majapahit, Semenanjung Melayu dan Minangkabau. Alexander dalam bahasa Yunani berarti pria yang melindungi atau pria yang dilindungi, sementara Warmadewa dalam bahasa Sansekerta berarti Dewa pelindung atau dilindungi dewa.
Wangsa Warmadewa merupakan wangsa yang memiliki campuran darah Yawana (Yunani), Pallawa (Persia) dan Shaka. Pada awal tarikh Masehi, wangsa ini terdesak oleh bangsa Kushan (Mongol) dan berpindah ke selatan mendirikan Kerajaan Pallawa. Pada abad ke-4 M, Samudra Gupta (335 - 375) menaklukkan kerajaan Pallawa. Maka beremigrasilah keluarga Warmadewa ke Asia Tenggara yakni ke Funan, Suwarnadwipa, Jawadwipa, Balidwipa dan Kutai.
Di Jawa, Wangsa Warmadewa yang dikenal juga dengan wangsa Syailendra senantiasa bersaing dengan Wangsa Sanjaya. Setelah Sri Wijaya (Dapunta Hyang Sri Jayanaga) menaklukkan Sunda kemudian mendirikan wangsa Syailendra di Jawa Tengah. Rakai Pikatan berhasil mengalahkan Balaputradewa yang terpaksa kembali ke Swarnadwipa. Persaingan kemudian dilanjutkan oleh keluarga Warmadewa Bali.
Pendiri Warmadewa Bali, Dalem Sri Kesari Warmadewa menaklukkan Sri Ugrasena (915-942) raja Singhamandawa yang berkaitan dengan Kanuruhan dan Mataram (Sanjayawangsa). Sri Kesari yang menyatakan diri sebagai raja adipati (wakil Kemaharajaan Warmadewa yang berpusat di Swarnadwipa untuk wilayah Bali) berhasil menguasai Makassar, Sumbawa, Sasak dan Balambangan.
Dalam catatan-catatan Cina disebutkan bahwa dalam kerajaan-kerajaan di Laut Selatan yakni Kamboja, Melayu dan Jawa masyarakatnya memiliki adat istiadat dan agama yang sama, yakni Budha Mahayana. Tetapi hidup berdampingan dengan waktu yang lama dengan Wangsa Sanjaya yang Hindu membuat pandangan para dinasti Warmadewa berbeda. Di Bali misalnya, pada masa pemerintahan Udayana dan Mahendradatta datang Mpu Kuturan saudara Mpu Bharada. Beliau menyatukan sembilan sekte agama Hindu di Bali menjadi Tri Murti dan menyebutnya agama Siwa-Budha. Sebagaimana kita lihat di Jawa, yang memberikan toleransi kepada penganut Hindu, maka di Bali, penguasa dinasti Warmadewa Sang Ratu Aji Tabanendra Warmadewa(955-967) yang juga bergelar Sri Candrabhaya Singhawarmadewa atau Indra Jayasingha Warmadewa yang memerintah bersama istrinya Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Warmadewi memperkenankan pendeta Siwa mendirikan pertapaan di Air Madalu, tempat pemakaman Sang Ratu Ugrasena. Semangat yang sama juga kita lihat pada Adityawarman di Dharmasyraya yang berusaha memberikan tempat bagi para pendeta Hindu.

1      2      3      4      5      6      7      8      9      10

Monday, October 21, 2019

Peninggalan Dinasti Sanjaya

1.Candi Banyunibo
Candi Banyunibo terletak di bagian sebelah timur dari Kota Yogyakarta. Secara administratif terletak di Dusun Cepit, Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Sleman, Yogyakarta. Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno
Di sekitar candi ini pun banyak dijumpai situs candi yang berserakan di beberapa dusun sekitarnya.. Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Candi Banyunibo jarang dikunjungi wisatawan.
2. Candi Sukuh
Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang secara administrasi terletak di wilayah Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini dianggap kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena penggambaran alat-alat kelamin manusia secara eksplisit pada beberapa figurnya.
Situs candi Sukuh dilaporkan pertama kali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, arkeolog Belanda, melakukan penelitian. Pemugaran pertama dimulai pada tahun 1928.
3. Candi Dieng
Candi Dieng merupakan kumpulan candi yang terletak di kaki pegunungan Dieng, Wonosobo, Jawa tengah. Kawasan Candi Dieng menempati dataran pada ketinggian 2000 m di atas permukaan laut, memanjang arah utara-selatan sekitar 1900 m dengan lebar sepanjang 800 m.
Kumpulan candi Hindu beraliran Syiwa yang diperkirakan dibangun antara akhir abad ke-8 sampai awal abad ke-9 ini diduga merupakan candi tertua di Jawa. Para ahli memperkirakan bahwa kumpulan candi ini dibangun atas perintah raja-raja dari Wangsa Sanjaya. Di kawasan Dieng ini ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 808 M, yang merupakan prasasti tertua bertuliskan huruf Jawa kuno, yang masih masih ada hingga saat ini. Pembangunan Candi Dieng diperkirakan berlangsung dalam dua tahap. Tahap pertama yang berlangsung antara akhir abad ke-7 sampai dengan perempat pertama abad ke-8, meliputi pembangunan Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi dan Candi Gatutkaca. Tahap kedua merupakan kelanjutan dari tahap pertama, yang berlangsung samapi sekitar tahun 780 M.
4. Candi Gebang
Candi Gebang adalah candi Hindu yang berada di dusun Gebang, Kelurahan Wedomartani, Ngemplak, Sleman, DIY. Candi ini diperkirakan dibangun pada sekitar abad ke-8 M pada saatwangsa Sanjaya berkuasa pada zaman Kerajaan Mataram Kuno.
Candi ini mempunyai ukuran kira-kira 5,25 x 5,25 meter dengan tinggi 8 meter. Candi Gebang menghadap ke timur, mempunyai puncak berbentuk lingga. Pada relung sebelah barat arca Ganesa, sementara di sisi pintu terdapat dua relung yang salah satunya berisi arca Nandiswara. Sebuah yoni berada di ruang candi.
5. Candi Gedong Songo
Candi Gedong Songo adalah nama sebuah komplek bangunan candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Indonesia tepatnya di lereng Gunung Ungaran. Di kompleks candi ini terdapat sembilan buah candi.
Candi ini diketemukan oleh Raffles pada tahun 1804 dan merupakan peninggalan budaya Hindu dari zaman Wangsa Syailendra abad ke-9 (tahun 927 masehi).
Candi ini memiliki persamaan dengan kompleks Candi Dieng di Wonosobo. Candi ini terletak pada ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut sehingga suhu udara disini cukup dingin (berkisar antara 19-27 °C)
Lokasi 9 candi yang tersebar di lereng Gunung Ungaran ini memiliki pemandangan alam yang indah. Selain itu, obyek wisata ini juga dilengkapi dengan pemandian air panas dari mata air yang mengandung belerang, area perkemahan, dan wisata berkuda.
6. Candi Lumbung
Candi Lumbung adalah salah satu kompleks percandian Buddha yang berada di dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan, yaitu di sebelah candi Bubrah. Meskipun demikian, Candi ini telah masuk ke wilayah Jawa Tengah, yaitu di Kabupaten Klaten.Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno.
7. Candi Plaosan
Candi Plaosan adalah sebutan untuk kompleks percandian yang terletak di Plaosan, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Candi ini terletak kira-kira satu kilometer ke arah timur-laut dari Candi Sewu atau Candi Prambanan. Adanya kemuncak stupa, arca Buddha, serta candi-candi perwara (pendamping/kecil) yang berbentuk stupa menandakan bahwa candi-candi tersebut adalah candi Buddha. Kompleks ini dibangun pada abad ke-9 oleh Raja Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan pada zaman Kerajaan Medang, atau juga dikenal dengan nama Kerajaan Mataram Kuno.Kompleks Candi Plaosan terdiri atas Candi Plaosan Lor dan Candi Plaosan Kidul.
8. Candi Prambanan
Candi Prambanan atau Candi Loro Jonggrang adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Berdasarkan prasasti Siwagrha nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasa Sanskerta yang bermakna 'Rumah Siwa'), dan memang di ruang utama candi ini bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter yang menujukkan bahwa di candi ini dewa Siwa lebih diutamakan.
Kompleks candi ini terletak di kecamatan Prambanan, Sleman dan kecamatan Prambanan, Klaten, persis di perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Letaknya sangat unik, Candi Prambanan terletak di wilayah administrasi desa Bokoharjo, Prambanan, Sleman, sedangkan pintu masuk kompleks Candi Prambanan terletak di wilayah adminstrasi desa Tlogo, Prambanan, Klaten.
Arsitektur bangunan ini berbentuk tinggi dan ramping sesuai dengan arsitektur Hindu pada umumnya dengan candi Siwa sebagai candi utama memiliki ketinggian mencapai 47 meter menjulang di tengah kompleks gugusan candi-candi yang lebih kecil. Sebagai salah satu candi termegah di Asia Tenggara, candi Prambanan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan dari seluruh dunia.
Menurut prasasti Siwagrha, candi ini mulai dibangun pada sekitar tahun 850 masehi olehRakai Pikatan, dan terus dikembangkan dan diperluas oleh Balitung Maha Sambu, di masa kerajaan Medang Mataram.
9. Candi Sambisari
Candi Sambisari adalah candi Hindu yang berada kira-kira 12 km di sebelah timur kota Yogyakarta ke arah kota Solo atau kira-kira 4 km sebelum kompleks Candi Prambanan. Candi ini dibangun pada abad ke-9 pada masa pemerintahan raja Rakai Garung pada zaman Kerajaan Mataram Kuno.
Candi Sewu Candi ini ditemukan pada tahun 1966 oleh seorang petani di Desa Sambisari dan dipugar pada tahun 1986 oleh Dinas Purbakala. Nama desa ini kemudian diabadikan menjadi nama candi tersebut.
Posisi Candi Sambisari terletak 6,5 meter di bawah permukaan tanah, kemungkinan besar karena tertimbun lahar dari Gunung Merapi yang meletus secara besar-besaran pada awal abad ke-11 (kemungkinan tahun 1006). Hal ini terlihat dari banyaknya batu material volkanik di sekitar
10. Candi Sewu
Candi Sewu dibangun pada abad ke-8. Candi Sewu merupakan kompleks candi Buddha terbesar kedua setelah Candi Borobudur di Jawa Tengah. Candi Sewu berusia lebih tua daripada Candi Borobudur dan Prambanan. Meskipun aslinya memiliki 249 candi, oleh masyarakat setempat candi ini dinamakan "Sewu" yang berarti seribu dalam bahasa Jawa.
Secara administratif, kompleks Candi Sewu terletak di Dusun Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan Prasasti Kelurak yang berangka tahun 782 dan Prasasti Manjusrigrha yang berangka tahun 792 dan ditemukan pada tahun 1960, nama asli candi ini adalah ”Prasada Vajrasana Manjusrigrha”. Istilah Prasada bermakna candi atau kuil, sementara Vajrajasana bermakna tempat Wajra (intan atau halilintar) bertakhta, sedangkan Manjusri-grha bermakna Rumah Manjusri. Manjusri adalah salah satu Boddhisatwa dalam ajaran buddha. Candi Sewu diperkirakan dibangun pada abad ke-8 masehi pada akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran. Rakai Panangkaran (746–784) adalah raja yang termahsyur dari kerajaan Mataram Kuno.

1      2      3      4      5      6      7      8      9      10

Peninggalan Dinasti Syailendra

1.Candi Borobudur
Candi Borobudhur ini dibangun oleh seseorang bernama Samaratungga. Keberadaan candi ini pertama kali diketahui oleh Thomas Stanford Rafles sekitar tahun 1814. Candi yang memiliki 10 tingkat ini sebenarnya mempunyai tinggi secara keseluruhan yaitu 42 meter. Namun setelah dilakukan restorasi, tinggi keseluruhan candi borobudhur ini hanya mencapai 34,5 meter dengan luas secara keseluruhan yaitu 123x123 meter atau 15.129 m2. Setiap tingkat lantainya, dari lantai paling bawah hingga lantai keenam berbentuk persegi, sedangkan lantai ketujuh sampai terakhir berbentuk bulat.
Candi Borobudhur merupakan candi Buddha terbesar pada abad ke-9 M. Menurut Prasasti Kayumwungan, candi ini terungkap dalam pembangunannya, selesai dibuat pada 26 Mei 824, atau hampir 100 tahun semenjak mulai awal dibangun.
2. Candi Kalasan
Candi Kalasan atau Candi Kalibening merupakan sebuah candi yang dikategorikan sebagai candi umat Buddha terdapat di desa Kalasan, kabupaten Sleman, provinsi Yogyakarta, Indonesia.
Candi ini memiliki 52 stupa dan berada di sisi jalan raya antara Yogyakarta dan Solo. Berdasarkan prasasti Kalasan bertarikh 778 yang ditemukan tidak jauh dari candi ini menyebutkan tentang pendirian bangunan suci untuk menghormati Bodhisattva wanita, Tarabhawana dan sebuah vihara untuk para pendeta. Penguasa yang memerintah pembangunan candi ini bernama Maharaja Tejapurnapana Panangkaran (Rakai Panangkaran) dari keluarga Syailendra. Kemudian dengan perbandingan dari manuskrip pada prasasti Kelurak tokoh ini dapat diidentifikasikan dengan Dharanindra atau dengan prasasti Nalanda adalah ayah dari Samaragrawira. Sehingga candi ini dapat menjadi bukti kehadiran Wangsa Syailendra, penguasa Sriwijaya di Sumatera atas Jawa.
3. Candi Mendut
Candi Mendut adalah sebuah candi bercorak Buddha. Candi yang terletak di Jalan Mayor Kusen Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini, letaknya berada sekitar 3 kilometer dari candi Borobudur. Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama wenuwana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.
4. Candi Ngawen
Candi Ngawen adalah candi Buddha yang berada kira-kira 5 km sebelum candi Mendut dari arah Yogyakarta, yaitu di desa Ngawen, kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Menurut perkiraan, candi ini dibangun oleh wangsa Sailendra pada abad ke-8 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno.
Candi ini terdiri dari 5 buah candi kecil, dua di antaranya mempunyai bentuk yang berbeda dengan dihiasi oleh patung singa pada keempat sudutnya. Sebuah patung Buddha dengan posisi duduk Ratnasambawa yang sudah tidak ada kepalanya nampak berada pada salah satu candi lainnya. Beberapa relief pada sisi candi masih nampak cukup jelas, di antaranya adalah ukiran Kinnara, Kinnari, dan kala-makara.
5. Candi Pawon
Letak candi Pawon ini berada di antara Candi Mendut dan Candi Borobudur. Nama Candi Pawon tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya. Ahli epigrafi J.G. de Casparis menafsirkan bahwa Pawon berasal dari bahasa Jawa awu yang berarti 'abu', mendapat awalan pa- dan akhiran -an yang menunjukkan suatu tempat. Dalam bahasa Jawa sehari-hari kata pawon berarti 'dapur', akan tetapi de Casparis mengartikannya sebagai 'perabuan' atau tempat abu. Candi Pawon dipugar tahun 1903.

1      2      3      4      5      6      7      8      9      10

Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno

Prasasti Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno 
Prasasti-prasasti itu berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Berikut dibawah ini terdapat 11 prasasti peninggalan kerajaan mataram kuno, antara lain: 
1. Prasasti Sojomerto 
Prasasti Sojomerto adalah peninggalan dari Wangsa Sailendra yang pertama kali ditemukan di desa sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang di provinsi Jawa Tengah. Prasasti ini ditulis dalam bahasa Melayu kuno serta beraksara kawi. Prasasti sojomerto sendiri bersifat keagamaan siwais.
Prasasti ini berisikan tentang keluarga dari tokoh utamanya yaitu Dapunta Selendra. Dapunta Selendra ini memiliki Ayah yang bernama Santanu, ibu yang bernama Bhadrawati serta istrinya yang bernama Sampula. Menurut Prof. Drs. Boechari, beliau berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta selendra merupakan cikal bakal adanya raja-raja keturunan dari Wangsa Sailendra yang saat itu berkuasa di kerajaan Mataram Hindu.
Prasasti sojomerto sendiri terbuat dari batu andesit yang memiliki panjang 43 cm dengan tebal 7 cm serta tinggi 78 cm.
2. Prasasti Mantyasih
Prasasti mantyasih adalah prasasti peninggalan Kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini memiliki nama lain seperti prasasti tembaga kedu atau sering juga dikenal dengan nama prasasti Balitung. Prasasti ini pertama kali ditemukan di kampung mateseh, Magelang Utara yang berada di provinsi Jawa Tengah. Prasasti ini memberikan informasi tentang daftar silsilah raja-raja yang memimpin Kerajaan Mataram sebelum raja Balitung.
Tujuan dibuatnya prasasti ini adalah sebagai upaya untuk melegitimasi Balitung sehingga menyebutkan raja-raja yang memimpin sebelumnya yang berdaulat penuh atas wilayah kerajaan dari Mataram Kuno. Selain itu di dalam prasasti ini juga disebutkan bahwa Desa Mantyasih ditetapkan Raja Balitung sebagai desa perdikan atau daerah bebas pajak.
Berikut nama-nama raja-raja Mataram kuno yang disebutkan di dalam Prasasti Mantyasih. Nama-nama Raja tersebut antara lain :
  • Raja Sanjaya 
  • Rakai Panangkaran 
  • Rakai Panunggalan 
  • Rakai Warak 
  • Rakai Garung 
  • Rakai Pikatan 
  • Rakai Kayuwangi 
  • Ratu Watuhumalang 
  • Rakai Watukura Dyah Balitung
3. Prasasti Gondosuli 
Prasasti Gondosuli merupakan objek yang sangat bersejarah dan juga terkenal di Kabupaten Temanggung. Prasasti ini sekarang terletak di desa Gondosuli Kecamatan bulu yang memiliki jarak kurang lebih 13 km ke arah barat. Prasasti ini ditulis pada tahun 832 Masehi. Prasasti Gondosuli merupakan prasasti yang memuat informasi tentang tentang betapa jayanya Dinasti Sanjaya terutama di masa pemerintahan rangkai patahan yaitu raja dari kerajaan Mataram Hindu. 
Prasasti Gondosuli yang merupakan obyek wisata sejarah yang dapat memberikan informasi yang sangat penting terutama tentang gambaran mengenai kehidupan sosial budaya dari masyarakat temanggung pada saat dahulu kala. Saat ini prasasti Gondosuli sangat dijaga sekali akan kelestariannya maka dari itu saat ini prasasti di atasnya didirikan bangunan yang diberi pagar keliling dari besi serta beratap seng. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga keamanan serta perlindungan dari Prasasti yang sangat bersejarah dari kerajaan Mataram Kuno tersebut. 
4. Prasasti Canggal 
Prasasti Canggal disebut juga dengan prasasti Sanjaya ataupun Prasasti Gunung Wukir. Prasasti ini ditemukan di halaman Candi Gunung wukir di desa kadiluwih, Kecamatan salam di provinsi Jawa Tengah. Prasasti Canggal ditulis pada batu menggunakan bahasa Sansekerta dengan aksara pallawa. Prasasti ini dipandang sebagai sebuah pernyataan diri dari Raja Sanjaya pada tahun 732 M sebagai seorang penguasa dari Kerajaan Mataram Kuno. 
Prasasti Canggal memberikan informasi tentang pendirian Lingga yakni lambang Siwa di desa kunjarakunja oleh Raja Sanjaya. Selain itu prasasti ini memberikan informasi bahwa yang menjadi raja pada awalnya adalah sanna yang kemudian digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha yang merupakan saudara dari Sanna. 
5. Prasasti Kelurak 
Prasasti Kelurak adalah prasasti peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang ditemukan di dekat Candi lumbung yaitu di Desa Kelurahan Benar Utara, kompleks percandian prambanan di Provinsi Jawa Tengah. Prasasti Kelurak memberikan informasi tentang didirikannya sebuah bangunan suci untuk arca Manjusri atas perintah dari Raja Indra yang memiliki gelar Sanggramadhananjaya. 
Berdasarkan keterangan ahli sejarah yang dimaksud bangunan suci tersebut tidak lain adalah Candi Sewu yang berlokasi di Kompleks Percandian Prambanan. Itu adalah sebagian informasi saja dari Prasasti Kelurak, karena untuk mengetahui keseluruhan isinya tidak dimungkinkan lagi dikarenakan kondisi dari prasasti yang sudah rusak.
6. Prasasti Kalasan
Prasasti peninggalan Kerajaan Mataram Kuno berikutnya adalah prasasti Kalasan. Prasasti ini adalah peninggalan dari Wangsa Sanjaya. Prasasti Kalasan pertama kali ditemukan di kecamatan Kalasan, Sleman, Jogjakarta. Prasasti ini ditulis di dalam bahasa Sansekerta serta menggunakan huruf pranagari.

Prasasti ini memberikan informasi bahwa guru sang raja yang berhasil membujuk Maharaja Tejahpura Panangkarana, yang merupakan mustika keluarga dari Sailendra Wamsatilaka atas permintaan dari keluarga Syailendra, dengan tujuan untuk membangun bangunan suci bagi Dewi Tara dan juga sebuah biara bagi para pendeta dan yang terakhir adalah penghargaan Desa Kalasan untuk para sangha yaitu komunitas Kebiarawan dalam agama Buddha. Bangunan suci yang dimaksud serta akan dibangun adalah Candi Kalasan. Saat ini prasasti ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.
7. Prasasti Shankara
Prasasti Shankara adalah prasasti yang berasal dari abad ke-8 masehi yang ditemukan pertama kali di Sragen Jawa Tengah. Saat ini prasasti ini tidak diketahui lagi di mana keberadaannya dikarenakan telah hilang. Prasasti ini dahulunya pernah disimpan oleh museum Adam Malik akan tetapi ketika bangkrut pada kisaran tahun 2005 atau 2006, prasasti tersebut di jual begitu saja. Prasasti shankara menceritakan tentang seorang tokoh yang bernama Raja Shankara yang berpindah agama karena agama Siwa yang dianut oleh dirinya termasuk agama yang ditakuti oleh banyak orang. Raja Shankara sendiri berpindah ke agama Buddha karena di agama tersebut disebutkan bahwa agama Buddha adalah agama yang welas asih.

Selain itu juga disebutkan bahwa ayah Raja shankara wafat karena sakit selama kurang lebih 8 hari Karena itulah raja shankara yang takut akan sang guru yang tidak benar, Raja Shankara kemudian meninggalkan agama Siwa yang kemudian beralih menjadi pemeluk agama Buddha Mahayana. Setelah itu Raja Shankara memindahkan pusat kerajaannya ke arah timur. Pada buku sejarah nasional Indonesia memberikan informasi bahwa Raja shankara disamakan dengan rangkai panangkaran, sedangkan ayah dari Raja sangkara sendiri yang tidak disebutkan namanya disamakan dengan raja Sanjaya.
8. Prasasti Ngadoman
Prasasti peninggalan Kerajaan Mataram kuno yang melegenda berikutnya adalah prasasti ngadoman prasasti ini ditemukan pertama kali di desa ngaduman dekat Salatiga di provinsi Jawa Tengah. Prasasti ini sangatlah penting karena diperkirakan merupakan perantara antara aksara Budha dengan aksara kawi.
9. Prasasti Plumpungan
Prasasti Plumpungan disebut juga dengan Prasasti Hamparan. Prasasti Plumpungan adalah prasasti yang tertulis pada batu besar berjenis andesit yang memiliki ukuran panjang 170 cm dengan lebar 190 cm serta dengan garis lingkar sepanjang 5 meter. Prasasti Ini pertama kali ditemukan di Dukuh plumpungan yaitu di Desa Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo. Banyak orang yang percaya bahwa prasasti ini merupakan asal-usul kota Salatiga.

Prasasti Plumpungan ditulis dalam bahasa Sansekerta serta bahasa Jawa kuno yang tulisannya ditatah pada petak persegi 4 bergaris ganda. Berdasarkan sejarah, Prasasti Plumpungan mengandung isi tentang penetapan hukum yaitu suatu ketetapan status tanah perdikan bagi desa Hampra.
Berdasarkan pakar sejarah menyatakan bahwa penulisan pada prasasti plumpungan dilakukan oleh seorang citralekha/penulis dan juga pendeta/resi. Raja Bhanu yang disebut didalam prasasti tersebut adalah seorang raja yang besar pada zamannya, dimana raja tersebut banyak memperhatikan nasib serta kesejahteraan para rakyatnya.
10. Prasasti Kayumwungan
Prasasti ini bernama Prasasti kayumwungan. Prasasti ini adalah sebuah prasasti pada 5 buah pegangan batu yang ditemukan di Dusun Karang Tengah, Kabupaten Temanggung di provinsi Jawa Tengah. Prasasti Kayumwungan hingga saat ini lebih dikenal dengan nama Prasasti Karang Tengah.

Prasasti ini dituliskan dalam bahasa Sansekerta, dimana isinya memuat tentang seorang raja yang bernama Samaratungga yang anaknya bernama pramodhawardhani yang mendirikan bangunan suci di nalaya serta bangunan bernama Wenuwana yang berarti hutan bambu. Wenuwena dibuat dengan tujuan sebagai tempat untuk menempatkan abu kremasi raja mega (Sebutan Dewa Indra).
11. Prasasti Siwagrha
Prasasti yang terakhir ini adalah Prasasti Siwagrha, dimana prasasti ini dikeluarkan oleh Rakai Kayuwangi di masa setelah berakhirnya pemerintahan Rakai Pikatan. Prasasti ini memberikan informasi tentang kelompok Candi Agung yang dipersembahkan untuk Dewa Siwa yang disebut dengan Shivagrha (Bahasa Sanskerta) yang berarti rumah Siwa, dimana cirinya cocok dengan kelompok Candi Prambanan. Saat ini prasasti ini disimpan di Museum Nasional Indonesia yang berada di Jakarta.

1      2      3      4      5      6      7      8      9      10

Wednesday, October 16, 2019

Sejarah Kerajaan Kutai

Kerajaan Kutai. Kerajaan Kutai merupakan kerajaan bercorak hindu pertama di indonesia, tepatnya pada abad ke-4 masehi atau 400 M. Hal ini dapat dinyatakan karena ditemukannya Prasasti Yupa pada tahun 1879 oleh para penemu sejarah. Huruf-huruf yang berada di ketujuh prasasti tersebut sejenis dengan yang ada di india pada abad ke-4.
Prasasti Yupa
Prasasti Yupa merupakan salah satu peninggalan dari Kerajaan Kutai yang dibuat oleh kaum brahmana sebagai pujian terhadap kebaikan sang Maharaja Mulawarman. Yang singkat cerita merupakan pemimpin dari masa kejayaan Kerajaan Kutai, setelah sebelumnya dipimpin oleh ayahnya Raja Aswawarman dan sang pendiri kerajaan, kakeknya Raja Kudungga. Ada tujuh buah prasasti yupa, yang masing-masing menjelaskan silsilah Kerajaan Kutai.

Kerajaan kutai terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu Sungai Mahakam. Wilayah Kerajaan Kutai cukup luas, hampir meliputi seluruh wilayah Kalimantan Timur. Kutai sendiri merupakan nama yang diberikan oleh para ahli, sebab tidak ada informasi yang jelas mengenai nama asli kerajaan ini.
Berdirinya Kerajaan Kutai
Kudungga
Berdasarkan informasi yang didapat dari Prasasti Yupa, Kudungga merupakan raja pertama yang mendirikan Kerajaan Kutai. Kudungga adalah seorang pembesar Kerajaan Campa di Kamboja. Pada awalnya Kerajaan Kutai menganut kepercayaan animisme.
Namun putra Kudungga, yaitu Aswawarman memeluk agama hindu disaat ia telah naik tahta untuk menggantikan ayahnya. Itulah akibatnya Asmawarman diberi gelar Wangsakerta yang berarti pembentuk keluarga. Raja Kudungga tidak diberi gelar tersebut karena ia belum beragama hindu.
Aswawarman
Seperti yang tadi disebutkan, Aswawarman memiliki gelar Wangsakerta yang berarti pembentuk keluarga. Mengapa demikian? . Gelar ini diberikan kan kepadanya karena ialah salah satu pembentuk dinasti kerajaan. Tidak hanya gelar tersebut, ia juga disebut sebagai Dewa Ansuman atau Dewa Matahari. Aswawarman memiliki 3 putra, salah satunya adalah Mulawarman.
Masa Kejayaan Kerajaan Kutai
Mulawarman
Mulawarman adalah seorang raja yang paling dikenal oleh kerajaannya. Karena sikap kedermawanannya dalam memberikan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana, yang disebut dalam Prasasti Yupa. Puncak keharmonisan Kerajaan Kutai berada pada era Raja Mulawarman. Wilayah kutai meluas sejak masa pimpinannya. Itulah sebab banyak yang menyebutkan bahwa Mulawarmanlah akibat dari masa-masa jayanya Kerajaan Kutai.
Raja-Raja Setelah Mulawarman 
Berikut merupakan raja-raja yang meneruskan Raja Mulawarman :
  1. Maharaja Marawijaya Warman
  2. Maharaja Gajayana Warman
  3. Maharaja Tungga Warman
  4. Maharaja Jayanaga Warman
  5. Maharaja Nalasinga Warman
  6. Maharaja Nala Parana Tungga Warman
  7. Maharaja Gadingga Warman Dewa
  8. Maharaja Indra Warman Dewa
  9. Maharaja Sangga Warman Dewa
  10. Maharaja Candrawarman
  11. Maharaja Sri Langka Dewa Warman
  12. Maharaja Guna Parana Dewa Warman
  13. Maharaja Wijaya Warman
  14. Maharaja Sri Aji Dewa Warman
  15. Maharaja Mulia Putera Warman
  16. Maharaja Nala Pandita Warman
  17. Maharaja Indra Paruta Dewa Warman
  18. Maharaja Dharma Setia Warman
  19. Masa Keruntuhan Kerajaan Kutai
Pada masa Raja Dharma Setia Warman, ada perang dengan kerajaan Kutai Kartanegara. Pada perang tersebut,Kerajaan Kutai kalah dengan Kerajaan Kutai Kartanegara. Sejak itulah Kerajaan Kutai berada di masa keruntuhan

Asal – usul masuknya agama Hindu 
Raja Aswawarman adalah Raja pertama yang menganut agama Hindu. Pada saat itu di Kalimantan ada Brahmana yang ingin menyebarkan ajaran Hindu ke Indonesia, lalu Brahmana ini di angkat menjadi Parohita (penasihat Raja) sekaligus pemimpin upacara-upaca kerajaan oleh Raja Kudungga karena dipercaya mempunyai kesaktiaan.
Namun saat itu ajaran Hindu yang dibawa oleh Brahmana hanya dapat di pelajari dan di mengerti oleh golongan kerajaan dan golongan tertentu, karena ajaran yang dibawa para Brahmana sangat tinggi.
Sampai pada akhirnya ajaran Hindu sudah mempengaruhi kerajan Kutai pada masa pemerintahan Raja Aswawarman hingga terus di turunkan sampai ke putranya yaitu Raja Mulawarman yang dikenal sebagai penganut Hindu-Syiwa yang taat.
Mendapat gelar Wangsakerta dan Dewa Ansuman:
Raja Aswawarman merupakan pendiri dinasti Kerajaan Kutai, sehingga mendapat gelar Wangsakerta yang artinya sebagai pembentuk keluarga raja. Pemberiaan gelar ini juga disebutkan pada stupa, selain itu stupa itu juga menjelaskan bahwa Raja Aswawarman mendapat sebutan sebagai Dewa Ansuman (Dewa Matahari).

Maharaja Mulawarman
Raja Mulawarman merupakan Raja ketiga, setelah ayahnya di Kerajaan Kutai. Kerajaan kutai mencapai puncak kejayaannya sejak masa pemerintahan raja yang mempunyai nama lengkap Mulawarman Nala Dewa dan dikenal sebagai raja yang tersohor pada abad ke 4 Masehi.
Berikut ini jasa-jasa Maharaja Mulawarman :
Semakin luasnya wilayah kerajaan Kutai
Raja Mulawarman berhasil mencapai puncak kejayaan Kutai hingga terus menerus memperluas wilayahnya, hingga menguasai Kalimantan bagian Timur. Hampir semua daerah di Kalimantan berhasil pula di taklukan. Dengan semakin luasnya wilayah kerjaan Kutai, nama Raja Mulawarman semakin tersohor.
Kehidupan rakyat makmur dan tentram
Kehidupan rakyat pada masa pemerintahan Raja Mulawarman sangat makmur, tentram dan terjamin sehingga seluruh rakyat dapat melangsungkan kehidupannya dengan lebih baik. Keamanan juga terjamin pada waktu itu, sehingga semua rakyat bangga dengan Raja Mulawarman.
Terkenal sebagai raja yang dermawan
Sejarah menyebutkan bahwa pada suatu hari Raja Mulawarman memberikan sekitar 20.000 ekor sapi kepada para Brahmana di dalam tanah yang suci yang dikenal dengan nama Waprakeswara, sebagai bentuk terimakasih dan peringatan acara kurban. Raja Mulawarman terkenal sebagai raja besar yang mulia.
Banyak bangunan suci
Pada masa pemerintahan Raja Mulawarman banyak di dirikan bangunan suci untuk ibadah, seperti bangunan suci untuk menyembah Dewa Trimurti. Trinurti adalah tiga bentuk kekuatan Brahman dalam menciptakan, memelihara dan meleburkan alam.
  1. Dewa Trimurti adalah tiga dewa tertinggi di agama Hindu. Ketiga nama dewa tertinggi tersebut adalah:
  2. Dewa Brahma yang fungsinya sebagai Pencipta,
  3. Dewa Wisnu yang fungsinya sebagai Pemelihara
  4. Dewa Siwa yang fungsinya sebagai Pelebur
Selain ketiga dewa tertinggi, agama Hindu juga meyakini keberadaan dewa lainnya antara lain: Dewa Chandra (Dewa Bulan), Dewa Ganesha (Dewa kebijaksanaan), Dewa Indra (Dewa hujan dan perang), Dewa Kuwera (Dewa kekayaan), Dewi Laksmi (Dewi kemakmuran dan kesuburan), Dewa Maruta (Dewa petir), Dewi Saraswati (Dewi pengetahuan), Dewi Sri (Dewi pangan), Dewa Surya (Dewa matahari), Dewa Waruna (Dewa air,laut,samudra), Dewa Bayu (Dewa angin), Dewa Yama (Dewa maut), Dewa akhirat(hakim yang mengadili roh) dan Dewa Kartikeya (Dewa pembunuh iblis) dan masih banyak dewa-dewa lainnya.

Runtuhnya Kerajaan Kutai

Kerajaan Kutai berakhir saat masa pemerintahan Maharaja Dharma Setia (Raja ke-21) tewas di medan perang melawan Raja Kutai Kartanegara ke-13, yaitu Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Kerjaan Kutai dan Kerajaan Kutai Kartanegara adalah dua kerajaan yang berbeda. Kutai Kartanegara mempunyai ibukota di Tanjung Kute, dan disebutkan juga ke dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara inipun selanjutnya menjadi kerajaan Islam yaitu, Kesultanan Kutai Kartanegara. Setelah menajadi kerajaan Islam, nama pemimpin yang semulanya Raja berubah menjadi Sultan.
Peninggalan Kerajaan Kutai
Berikut ini beberapa peninggalan sejarah dari keajaan Kutai :

Prasasti Yupa
Prasasti yupa adalah peninggalan sejarah dari kerajaan Kutai yang tertua. Dari prastasi inilah terdapat sumber sejarah tentang kerajaan Hindu yang terdapat di Muara Kaman, di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan.
Secara garis besar isi prastasi Yupa menceritakan tentang aspek kehidupan politik, sosial, budaya di kerajaan Kutai saat itu. Prastasti yupa diyakini menggunakan bahasa sansekerta dan huruf pallawa yang berasal dari India.
Ketopong Sultan
Ketopong adalah mahkota yang dipakai oleh Sultan di kerajaan Kutai yang terbuat dari emas dilengkap dengan hiasan batu-batu permata, motif bungan, kijang dan burung. Ketopong sultan ini memiliki berat emas sekitar 2kg.
Ketopong Sultan di temukan di Muara Kamai, Kutai Kartanegara pada tahun 1890.Kita dapat melihat replika atau tiruan dari ketopong sultan ini di Monumen Nasional (Monas) Jakarta, masih diabadikan sampai saat ini sebagai sumber sejarah yang langka.
Kalung Ciwa
Kalung ciwa merupakan benda sejarah yang ditemukan ketika masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Kalung ciwa dinilai unik dan sangat mahal, karena terbuat dari emas. Kalung ciwa pada awalnya ditemukan oleh seorang penduduk di sekitar Danau Lipan Muara Kaman pada tahun 1890, lalu diserahkan kepada Sultan.
Sejak saat itu kalung ciwa digunakan sebagai perhiasan kerajaan Kutai dan juga digunakan setiap ada pesta penobatan sultan baru.
Kura-kura emas
Kura-kura emas yang berukuran sekepalan tangan ini ditemukan di Long Lalang, daerah yang berada di sekitar hulu Sungai Mahakam. Dari sumber sejarah diketahui informasi, bahwa kura-kura emas ini merupakan persembahan atau lamaran dari seorang pangeran di Cina untuk Putri Raja Kutai, Aji Bidara Putih.
Benda bersejarah yang menjadi saksi awal pernikahan putri raja kutai ini masih tersimpan di Museum Mulawarman dalam bentuk replika atau tiruannya.
Pedang sultan kutai
Pedang ini mempunyai ukiran yang unik, terdapat gambar harimau di gagang pedang dan gambar buaya di ujung pedangnya. Seperti melambangkan, kegagahan dan keberanian sultan kutai. Pedang sultan kutai sering menemani sultan dalam perperangan dan juga merupakan pedang kesayangan sultan.
Sampai saat ini benda sejarahnya ini masih tersimpan di Museum Nasional Jakarta dalam bentuk replika atau tiruannya yang masih diabadikan sebagai sumber sejarah.
Keris Bukit Kang
Keris Bukit Kang merupakan keris yang digunakan oleh istri raja yaitu Permaisuri Aji Putri Karang Melenu, permaisuri dari Raja Kutai Kartanegara yang pertama. Berdasarkan sejarah, permaisuri ini merupakan bayi yang ditemukan dalam sebuah gong yang terhanyut di atas bambu.
Di dalam gong yang ditemukan tersebut terdapat bayi perempuan, telur ayam dan sebuah kering. Kering inilah diyakini oleh kebanyakan orang sebagai Keris Bukit Kang.
Singgasana Sultan
Singgasana Sultan merupakan benda sejarah yang masih terjaga sampai saat ini dan diletakkan di Museum Mulawarman. Singgasana yang dilengkapi dengan payung serta umbul-umbul ini digunakan oleh Sultan Aji Muhammad Sulaiman serta raja-raja sebelumnya di kerajaan Kutai.
Di Museum Mulawarman, singgasana sultan ini dibentuk dan di modifikasi ulang dalam bentuk replika atau tiruan yang masih tetap di abadikan.

1      2      3      4      5      6      7      8      9      10

Thursday, October 3, 2019

Situs Purba Megalitikum


Situs Sokolimanmerupakan situs kepurbakalaan yang terletak di Dusun Sokoliman II, Desa Bejiharjo, Karangmojo, Gunungkidul, DI Yogyakarta, tidak jauh (sekitar 5 km) dari objek wisata Gua Pindul. Situs ini berfungsi sama seperti situs Bleberan, di Kecamatan Playen, Gunungkidul, yaitu menampung dan mengamankan benda-benda cagar budaya, terutama yang bersifat megalitik, khususnya yang ditemukan di Desa Bejiharjo. Lokasinya berbatasan dengan lahan milik Perhutani yang ditanami kayu putih.
Di situs berukuran luas 2000 meter persegi ini dikumpulkan ratusan menhir (termasuk menhir arca), batu-batu penyusun kubur batu, serta punden yang sebelumnya terserak di kebun-kebun penduduk atau di lahan milik Perhutani. Sampai tahun 2014 terdapat 137 menhir, lima kubur batu (tidak lengkap), dan tujuh papan kubur batu. Selain itu terdapat satu punden  yang dipindahkan dari sumber air di dusun tersebut, yang tiap tahun  didatangi penduduk dalam rangka "bersih desa". Terdapat pula menhir arca "Mbah Gandhok" yang dipindahkan dari lahan milik penduduk untuk menghidari vandalisme.
Adanya peninggalan purbakala di kawasan ini diketahui setelah  dilakukan penelitian awal oleh J.L. Moens dan van der Hoop pada tahun 1934. Mereka melaporkan adanya bekal kubur yang berbentuk manik-manik, alat-alat besi, fragmen gerabah, dan benda-benda perunggu di kawasan Dusun Gunungbang, Desa Bejiharjo, tempat ditemukannya beberapa kubur batu (sampai sekarang masih di lokasi).
Baik situs Sokoliman maupun situs Bleberan menunjukkan bahwa pada masa lalu, kawasan tepi Sungai Oya, yang membentuk Cekungan Wonosari (Wonosari Basin), telah menjadi tempat hunian manusia yang mengusung tradisi megalitik.
Benda-benda yang terkumpul mengisyaratkan ritual yang terkait dengan kematian/penguburan. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya beberapa kerangka manusia di dekat penemuan menhir serta batu kubur tersebut.

Budaya Megalitik Gunung Kidul , Yogyakarta.
Persebaran budaya Megalitik di Gunungkidul selaras dengan kondisi kesuburan wilayahnya. Banyak ditemukan di daerah cekungan atau dekat dengan sumber air, sehingga secara umum ditemukan pada wilayah yang tanahnya subur.

Salah satu budaya Megalitikum di Gunungkidul terdapat di Situs Gedong Ngawis. Situs yang berada di Padukuhan Gondang, Desa Ngawis, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul ini menempati lahan seluas 400 meter persegi.
Disampaikan Kepala Bidang Pelestarian Warisan dan Nilai Budaya, Dinas Kebudayaan Kabupaten Gunungkidul, Ir Winarsih belum lama ini Di Situs Gondang terdapat tinggalan berupa peti kubur batu dan menhir.
“Peti kubur batu adalah peti yang disusun dari enam buah lempengan batu, yakni empat buah sebagai dinding dan dua buah sebagai alas dan tutup,” jelas Winarsih.
Sedangkan Menhir adalah batu yang dipahat sederhana namun sudah menggambarkan bentuk arca manusia. Bagian yang dipahatkan meliputi bagian wajah dan lengan tangan.
Lanjutnya, Situs yang berada tidak jauh dari Situs Sokoliman ini pernah diekskavasi oleh Badan Pelestari Cagar Budaya (BPCB) pada tahun 1995. Sehingga situs diketahui sebagai peninggalan prasejarah. Selain artefak peti kubur batu dan menhir atau arca batu juga ditemukan gerabah dan manik-manik sebagai bekal kubur.
“Sebelumnya, ilmuwan Belanda Mr. Van Der Moor pernah meneliti di situs tersebut pada tahun 1934,” imbuh Winarsih.
Saat ini Situs Gondang Ngawis dijadikan tempat penampungan koleksi sebanyak 78 cagar budaya yang terdiri dari 3 buah kubur batu, dan 75 buah batu menhir. Seperti situs-situs lainnya, situs prasejarah ini dipelihara oleh BPCB. (Kandar)
Wilayah Gunung Kidul kaya peninggalan purbakala terutama dari zaman batu besar atau Megalitikum. Mayoritas dari situs bersejarah itu tetap terpelihara keamanan dan keasliannya meskipun minim pengamanan. Warga mengaku takut memindahkan peninggalan dari zaman purbakala karena adanya mitos kualat.

Warga Dusun Gondang, Desa Ngawis, Karangmojo, Gunung Kidul, Arjo Wito, mengemukakan, ayahnya, Mbah Porjo, meninggal dunia setelah mencoba memindahkan kubur batu atas perintah penjajah Belanda. Kala itu, Belanda sempat meminta warga menggali kubur batu untuk mencari bekal kubur berupa perhiasan manik-manik dan emas.

Semenjak kematian warga akibat memindahkan kubur batu, warga di Dusun Gondang mengaku tidak berani memindahkan atau merusak peninggalan purbakala. Selain batu menhir dan kubur batu yang telah ditata di dalam kompleks Situs Gondang seluas 400 meter persegi, peninggalan kubur batu dari zaman purbakala ini masih banyak terserak di lingkungan rumah ataupun sawah milik penduduk.
Menurut Arjo Wito, banyaknya batuan yang terserak di Dusun Gondang itu jika dikumpulkan bisa lebih dari satu truk. Selain peninggalan berupa batu kubur seperti batu tegak (menhir), fragmen menhir, dan kubur batu, warga sempat menemukan aneka bekal kubur seperti cincin atau gelang emas. ”Kami tidak berani merusak karena takut kena tulah (bala),” ujar istri Arjo Wito, Sukinah.
Pada era tahun 1970-an, Arjo Wito dan Sukinah pertama kali menemukan kubur batu yang menyembul di ladang tadah hujan milik mereka. Setelah beberapa kali dikunjungi tim peneliti arkeologi, areal ladang tersebut kemudian dibeli oleh pemerintah. Pada tahun 1996, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DI Yogyakarta mulai memagari Situs Gondang dengan kawat dan besi. Hingga kini, Arjo Wito bekerja sebagai juru pelihara Situs Gondang.
Kuburan Budho
Meskipun kaya situs purbakala, masyarakat Gunung Kidul sama sekali tidak memiliki bekal pengetahuan tentang sejarah peninggalan tersebut. Mereka umumnya menyebut kubur batu itu sebagai kuburan Budho (umat Buddha). ”Kami turut menjaga karena situs ini adalah kekayaan daerah. Tetapi, warga sama sekali tidak tahu sejarah dari kuburan Budho ini,” ungkap beberapa warga seperti Purwanto dan Sastro Sakim.
Tidak adanya papan petunjuk tentang sejarah dan umur situs tak hanya terjadi di Situs Gondang, melainkan juga di Situs Sokoliman yang teletak beberapa ratus meter dari Situs Gondang di Dusun Sokoliman, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo. Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul, umur kedua situs ini diperkirakan 3000 tahun sebelum Masehi.
Pada tahun 1934, peneliti Jl Moens dan Van der Hoop meneliti dan menemukan bekal kubur berbentuk manik-manik, alat besi, fragmen gerabah, dan benda-benda perunggu di wilayah Karangmojo tersebut.

1      2      3      4      5      6      7      8      9      10

Monday, September 30, 2019

Situs Waruga


Situs Waruga di Minahasa Utara
Memasuki salah satu situs bersejarah di Minahasa Utara ini butuh sedikit perjuangan untuk mencarinya. Letaknya yang berada di belakang perumahan dan lahan penduduk membuat salah satu situs bersejarah di Sulawesi Utara ini agak tersembunyi. Inilah Situs Waruga Sawangan yang merupakan kuburan tua peninggalan zaman megalitik orang Minahasa.

Waruga di Minahasa diperkirakan berkembang pada sekitar awal abad ke-13 sebelum Masehi. Kemunculan Waruga pertama kali di daerah Bukit Kelewer, Treman, dan Tumaluntung, Kabupaten Minahasa Utara. Kemunculan Waruga kemudian terus berkembang di berbagai daerah di Sulawesi Utara hingga awal abad ke-20 Masehi.

Pada zaman pra-sejarah masyarakat Minahasa masih percaya jika roh leluhur memiliki kekuatan magis. Untuk itu, kuburan dibuat secara khusus dengan seindah mungkin. Waruga terdiri dari dua bagian, bagian badan dan bagian tutup. Bagian badan berbentuk kubus dan bagian tutup berbentuk menyerupai atap rumah.

Uniknya, waruga tidak dibuat oleh kerabat atau keluarga dari orang yang meninggal akan tetapi dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggal. Ketika orang itu akan meninggal maka dengan sendirinya akan memasuki waruga yang dibuatnya itu setelah diberi bekal kubur lengkap. Suatu hari bila itu dilakukan dengan sepenuhnya akan mendatangkan kebaikan bagi keluarga yang ditinggalkan.

Sebenarnya di Sulawesi Utara banyak terdapat situs Waruga, salah satunya di Desa Sawangan Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa Utara. Terdapat 143 buah Waruga di desa ini yang dibagi dalam beberapa ukuran yang dikelompokkan menjadi 3 kelompok.

Kelompok pertama, Waruga berukuran kecil dengan ketinggian antara 0-100 cm sebanyak 10 buah. Kedua, Waruga berukuran sedang dengan ketinggian antara 101-150 cm sebanyak 52 buah. Ketiga, Waruga berukuran besar dengan ketinggian antara 151-250 cm sebanyak 81 buah.
Waruga sendiri berasal dari bahasa Tombulu, yakni dari suku kata Wale Maruga yang memiliki arti rumah dari badan yang akan kering. Waruga juga memiliki arti lainnya yakni Wale Waru atau kubur dari Domato atau sejenis tanah lilin.

1      2      3      4      5      6      7      8      9      10