Search This Blog

Monday, October 21, 2019

Peninggalan Dinasti Syailendra

1.Candi Borobudur
Candi Borobudhur ini dibangun oleh seseorang bernama Samaratungga. Keberadaan candi ini pertama kali diketahui oleh Thomas Stanford Rafles sekitar tahun 1814. Candi yang memiliki 10 tingkat ini sebenarnya mempunyai tinggi secara keseluruhan yaitu 42 meter. Namun setelah dilakukan restorasi, tinggi keseluruhan candi borobudhur ini hanya mencapai 34,5 meter dengan luas secara keseluruhan yaitu 123x123 meter atau 15.129 m2. Setiap tingkat lantainya, dari lantai paling bawah hingga lantai keenam berbentuk persegi, sedangkan lantai ketujuh sampai terakhir berbentuk bulat.
Candi Borobudhur merupakan candi Buddha terbesar pada abad ke-9 M. Menurut Prasasti Kayumwungan, candi ini terungkap dalam pembangunannya, selesai dibuat pada 26 Mei 824, atau hampir 100 tahun semenjak mulai awal dibangun.
2. Candi Kalasan
Candi Kalasan atau Candi Kalibening merupakan sebuah candi yang dikategorikan sebagai candi umat Buddha terdapat di desa Kalasan, kabupaten Sleman, provinsi Yogyakarta, Indonesia.
Candi ini memiliki 52 stupa dan berada di sisi jalan raya antara Yogyakarta dan Solo. Berdasarkan prasasti Kalasan bertarikh 778 yang ditemukan tidak jauh dari candi ini menyebutkan tentang pendirian bangunan suci untuk menghormati Bodhisattva wanita, Tarabhawana dan sebuah vihara untuk para pendeta. Penguasa yang memerintah pembangunan candi ini bernama Maharaja Tejapurnapana Panangkaran (Rakai Panangkaran) dari keluarga Syailendra. Kemudian dengan perbandingan dari manuskrip pada prasasti Kelurak tokoh ini dapat diidentifikasikan dengan Dharanindra atau dengan prasasti Nalanda adalah ayah dari Samaragrawira. Sehingga candi ini dapat menjadi bukti kehadiran Wangsa Syailendra, penguasa Sriwijaya di Sumatera atas Jawa.
3. Candi Mendut
Candi Mendut adalah sebuah candi bercorak Buddha. Candi yang terletak di Jalan Mayor Kusen Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini, letaknya berada sekitar 3 kilometer dari candi Borobudur. Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama wenuwana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.
4. Candi Ngawen
Candi Ngawen adalah candi Buddha yang berada kira-kira 5 km sebelum candi Mendut dari arah Yogyakarta, yaitu di desa Ngawen, kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Menurut perkiraan, candi ini dibangun oleh wangsa Sailendra pada abad ke-8 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno.
Candi ini terdiri dari 5 buah candi kecil, dua di antaranya mempunyai bentuk yang berbeda dengan dihiasi oleh patung singa pada keempat sudutnya. Sebuah patung Buddha dengan posisi duduk Ratnasambawa yang sudah tidak ada kepalanya nampak berada pada salah satu candi lainnya. Beberapa relief pada sisi candi masih nampak cukup jelas, di antaranya adalah ukiran Kinnara, Kinnari, dan kala-makara.
5. Candi Pawon
Letak candi Pawon ini berada di antara Candi Mendut dan Candi Borobudur. Nama Candi Pawon tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya. Ahli epigrafi J.G. de Casparis menafsirkan bahwa Pawon berasal dari bahasa Jawa awu yang berarti 'abu', mendapat awalan pa- dan akhiran -an yang menunjukkan suatu tempat. Dalam bahasa Jawa sehari-hari kata pawon berarti 'dapur', akan tetapi de Casparis mengartikannya sebagai 'perabuan' atau tempat abu. Candi Pawon dipugar tahun 1903.

1      2      3      4      5      6      7      8      9      10

Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno

Prasasti Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno 
Prasasti-prasasti itu berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Berikut dibawah ini terdapat 11 prasasti peninggalan kerajaan mataram kuno, antara lain: 
1. Prasasti Sojomerto 
Prasasti Sojomerto adalah peninggalan dari Wangsa Sailendra yang pertama kali ditemukan di desa sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang di provinsi Jawa Tengah. Prasasti ini ditulis dalam bahasa Melayu kuno serta beraksara kawi. Prasasti sojomerto sendiri bersifat keagamaan siwais.
Prasasti ini berisikan tentang keluarga dari tokoh utamanya yaitu Dapunta Selendra. Dapunta Selendra ini memiliki Ayah yang bernama Santanu, ibu yang bernama Bhadrawati serta istrinya yang bernama Sampula. Menurut Prof. Drs. Boechari, beliau berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta selendra merupakan cikal bakal adanya raja-raja keturunan dari Wangsa Sailendra yang saat itu berkuasa di kerajaan Mataram Hindu.
Prasasti sojomerto sendiri terbuat dari batu andesit yang memiliki panjang 43 cm dengan tebal 7 cm serta tinggi 78 cm.
2. Prasasti Mantyasih
Prasasti mantyasih adalah prasasti peninggalan Kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini memiliki nama lain seperti prasasti tembaga kedu atau sering juga dikenal dengan nama prasasti Balitung. Prasasti ini pertama kali ditemukan di kampung mateseh, Magelang Utara yang berada di provinsi Jawa Tengah. Prasasti ini memberikan informasi tentang daftar silsilah raja-raja yang memimpin Kerajaan Mataram sebelum raja Balitung.
Tujuan dibuatnya prasasti ini adalah sebagai upaya untuk melegitimasi Balitung sehingga menyebutkan raja-raja yang memimpin sebelumnya yang berdaulat penuh atas wilayah kerajaan dari Mataram Kuno. Selain itu di dalam prasasti ini juga disebutkan bahwa Desa Mantyasih ditetapkan Raja Balitung sebagai desa perdikan atau daerah bebas pajak.
Berikut nama-nama raja-raja Mataram kuno yang disebutkan di dalam Prasasti Mantyasih. Nama-nama Raja tersebut antara lain :
  • Raja Sanjaya 
  • Rakai Panangkaran 
  • Rakai Panunggalan 
  • Rakai Warak 
  • Rakai Garung 
  • Rakai Pikatan 
  • Rakai Kayuwangi 
  • Ratu Watuhumalang 
  • Rakai Watukura Dyah Balitung
3. Prasasti Gondosuli 
Prasasti Gondosuli merupakan objek yang sangat bersejarah dan juga terkenal di Kabupaten Temanggung. Prasasti ini sekarang terletak di desa Gondosuli Kecamatan bulu yang memiliki jarak kurang lebih 13 km ke arah barat. Prasasti ini ditulis pada tahun 832 Masehi. Prasasti Gondosuli merupakan prasasti yang memuat informasi tentang tentang betapa jayanya Dinasti Sanjaya terutama di masa pemerintahan rangkai patahan yaitu raja dari kerajaan Mataram Hindu. 
Prasasti Gondosuli yang merupakan obyek wisata sejarah yang dapat memberikan informasi yang sangat penting terutama tentang gambaran mengenai kehidupan sosial budaya dari masyarakat temanggung pada saat dahulu kala. Saat ini prasasti Gondosuli sangat dijaga sekali akan kelestariannya maka dari itu saat ini prasasti di atasnya didirikan bangunan yang diberi pagar keliling dari besi serta beratap seng. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga keamanan serta perlindungan dari Prasasti yang sangat bersejarah dari kerajaan Mataram Kuno tersebut. 
4. Prasasti Canggal 
Prasasti Canggal disebut juga dengan prasasti Sanjaya ataupun Prasasti Gunung Wukir. Prasasti ini ditemukan di halaman Candi Gunung wukir di desa kadiluwih, Kecamatan salam di provinsi Jawa Tengah. Prasasti Canggal ditulis pada batu menggunakan bahasa Sansekerta dengan aksara pallawa. Prasasti ini dipandang sebagai sebuah pernyataan diri dari Raja Sanjaya pada tahun 732 M sebagai seorang penguasa dari Kerajaan Mataram Kuno. 
Prasasti Canggal memberikan informasi tentang pendirian Lingga yakni lambang Siwa di desa kunjarakunja oleh Raja Sanjaya. Selain itu prasasti ini memberikan informasi bahwa yang menjadi raja pada awalnya adalah sanna yang kemudian digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha yang merupakan saudara dari Sanna. 
5. Prasasti Kelurak 
Prasasti Kelurak adalah prasasti peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang ditemukan di dekat Candi lumbung yaitu di Desa Kelurahan Benar Utara, kompleks percandian prambanan di Provinsi Jawa Tengah. Prasasti Kelurak memberikan informasi tentang didirikannya sebuah bangunan suci untuk arca Manjusri atas perintah dari Raja Indra yang memiliki gelar Sanggramadhananjaya. 
Berdasarkan keterangan ahli sejarah yang dimaksud bangunan suci tersebut tidak lain adalah Candi Sewu yang berlokasi di Kompleks Percandian Prambanan. Itu adalah sebagian informasi saja dari Prasasti Kelurak, karena untuk mengetahui keseluruhan isinya tidak dimungkinkan lagi dikarenakan kondisi dari prasasti yang sudah rusak.
6. Prasasti Kalasan
Prasasti peninggalan Kerajaan Mataram Kuno berikutnya adalah prasasti Kalasan. Prasasti ini adalah peninggalan dari Wangsa Sanjaya. Prasasti Kalasan pertama kali ditemukan di kecamatan Kalasan, Sleman, Jogjakarta. Prasasti ini ditulis di dalam bahasa Sansekerta serta menggunakan huruf pranagari.

Prasasti ini memberikan informasi bahwa guru sang raja yang berhasil membujuk Maharaja Tejahpura Panangkarana, yang merupakan mustika keluarga dari Sailendra Wamsatilaka atas permintaan dari keluarga Syailendra, dengan tujuan untuk membangun bangunan suci bagi Dewi Tara dan juga sebuah biara bagi para pendeta dan yang terakhir adalah penghargaan Desa Kalasan untuk para sangha yaitu komunitas Kebiarawan dalam agama Buddha. Bangunan suci yang dimaksud serta akan dibangun adalah Candi Kalasan. Saat ini prasasti ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.
7. Prasasti Shankara
Prasasti Shankara adalah prasasti yang berasal dari abad ke-8 masehi yang ditemukan pertama kali di Sragen Jawa Tengah. Saat ini prasasti ini tidak diketahui lagi di mana keberadaannya dikarenakan telah hilang. Prasasti ini dahulunya pernah disimpan oleh museum Adam Malik akan tetapi ketika bangkrut pada kisaran tahun 2005 atau 2006, prasasti tersebut di jual begitu saja. Prasasti shankara menceritakan tentang seorang tokoh yang bernama Raja Shankara yang berpindah agama karena agama Siwa yang dianut oleh dirinya termasuk agama yang ditakuti oleh banyak orang. Raja Shankara sendiri berpindah ke agama Buddha karena di agama tersebut disebutkan bahwa agama Buddha adalah agama yang welas asih.

Selain itu juga disebutkan bahwa ayah Raja shankara wafat karena sakit selama kurang lebih 8 hari Karena itulah raja shankara yang takut akan sang guru yang tidak benar, Raja Shankara kemudian meninggalkan agama Siwa yang kemudian beralih menjadi pemeluk agama Buddha Mahayana. Setelah itu Raja Shankara memindahkan pusat kerajaannya ke arah timur. Pada buku sejarah nasional Indonesia memberikan informasi bahwa Raja shankara disamakan dengan rangkai panangkaran, sedangkan ayah dari Raja sangkara sendiri yang tidak disebutkan namanya disamakan dengan raja Sanjaya.
8. Prasasti Ngadoman
Prasasti peninggalan Kerajaan Mataram kuno yang melegenda berikutnya adalah prasasti ngadoman prasasti ini ditemukan pertama kali di desa ngaduman dekat Salatiga di provinsi Jawa Tengah. Prasasti ini sangatlah penting karena diperkirakan merupakan perantara antara aksara Budha dengan aksara kawi.
9. Prasasti Plumpungan
Prasasti Plumpungan disebut juga dengan Prasasti Hamparan. Prasasti Plumpungan adalah prasasti yang tertulis pada batu besar berjenis andesit yang memiliki ukuran panjang 170 cm dengan lebar 190 cm serta dengan garis lingkar sepanjang 5 meter. Prasasti Ini pertama kali ditemukan di Dukuh plumpungan yaitu di Desa Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo. Banyak orang yang percaya bahwa prasasti ini merupakan asal-usul kota Salatiga.

Prasasti Plumpungan ditulis dalam bahasa Sansekerta serta bahasa Jawa kuno yang tulisannya ditatah pada petak persegi 4 bergaris ganda. Berdasarkan sejarah, Prasasti Plumpungan mengandung isi tentang penetapan hukum yaitu suatu ketetapan status tanah perdikan bagi desa Hampra.
Berdasarkan pakar sejarah menyatakan bahwa penulisan pada prasasti plumpungan dilakukan oleh seorang citralekha/penulis dan juga pendeta/resi. Raja Bhanu yang disebut didalam prasasti tersebut adalah seorang raja yang besar pada zamannya, dimana raja tersebut banyak memperhatikan nasib serta kesejahteraan para rakyatnya.
10. Prasasti Kayumwungan
Prasasti ini bernama Prasasti kayumwungan. Prasasti ini adalah sebuah prasasti pada 5 buah pegangan batu yang ditemukan di Dusun Karang Tengah, Kabupaten Temanggung di provinsi Jawa Tengah. Prasasti Kayumwungan hingga saat ini lebih dikenal dengan nama Prasasti Karang Tengah.

Prasasti ini dituliskan dalam bahasa Sansekerta, dimana isinya memuat tentang seorang raja yang bernama Samaratungga yang anaknya bernama pramodhawardhani yang mendirikan bangunan suci di nalaya serta bangunan bernama Wenuwana yang berarti hutan bambu. Wenuwena dibuat dengan tujuan sebagai tempat untuk menempatkan abu kremasi raja mega (Sebutan Dewa Indra).
11. Prasasti Siwagrha
Prasasti yang terakhir ini adalah Prasasti Siwagrha, dimana prasasti ini dikeluarkan oleh Rakai Kayuwangi di masa setelah berakhirnya pemerintahan Rakai Pikatan. Prasasti ini memberikan informasi tentang kelompok Candi Agung yang dipersembahkan untuk Dewa Siwa yang disebut dengan Shivagrha (Bahasa Sanskerta) yang berarti rumah Siwa, dimana cirinya cocok dengan kelompok Candi Prambanan. Saat ini prasasti ini disimpan di Museum Nasional Indonesia yang berada di Jakarta.

1      2      3      4      5      6      7      8      9      10

Wednesday, October 16, 2019

Sejarah Kerajaan Kutai

Kerajaan Kutai. Kerajaan Kutai merupakan kerajaan bercorak hindu pertama di indonesia, tepatnya pada abad ke-4 masehi atau 400 M. Hal ini dapat dinyatakan karena ditemukannya Prasasti Yupa pada tahun 1879 oleh para penemu sejarah. Huruf-huruf yang berada di ketujuh prasasti tersebut sejenis dengan yang ada di india pada abad ke-4.
Prasasti Yupa
Prasasti Yupa merupakan salah satu peninggalan dari Kerajaan Kutai yang dibuat oleh kaum brahmana sebagai pujian terhadap kebaikan sang Maharaja Mulawarman. Yang singkat cerita merupakan pemimpin dari masa kejayaan Kerajaan Kutai, setelah sebelumnya dipimpin oleh ayahnya Raja Aswawarman dan sang pendiri kerajaan, kakeknya Raja Kudungga. Ada tujuh buah prasasti yupa, yang masing-masing menjelaskan silsilah Kerajaan Kutai.

Kerajaan kutai terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu Sungai Mahakam. Wilayah Kerajaan Kutai cukup luas, hampir meliputi seluruh wilayah Kalimantan Timur. Kutai sendiri merupakan nama yang diberikan oleh para ahli, sebab tidak ada informasi yang jelas mengenai nama asli kerajaan ini.
Berdirinya Kerajaan Kutai
Kudungga
Berdasarkan informasi yang didapat dari Prasasti Yupa, Kudungga merupakan raja pertama yang mendirikan Kerajaan Kutai. Kudungga adalah seorang pembesar Kerajaan Campa di Kamboja. Pada awalnya Kerajaan Kutai menganut kepercayaan animisme.
Namun putra Kudungga, yaitu Aswawarman memeluk agama hindu disaat ia telah naik tahta untuk menggantikan ayahnya. Itulah akibatnya Asmawarman diberi gelar Wangsakerta yang berarti pembentuk keluarga. Raja Kudungga tidak diberi gelar tersebut karena ia belum beragama hindu.
Aswawarman
Seperti yang tadi disebutkan, Aswawarman memiliki gelar Wangsakerta yang berarti pembentuk keluarga. Mengapa demikian? . Gelar ini diberikan kan kepadanya karena ialah salah satu pembentuk dinasti kerajaan. Tidak hanya gelar tersebut, ia juga disebut sebagai Dewa Ansuman atau Dewa Matahari. Aswawarman memiliki 3 putra, salah satunya adalah Mulawarman.
Masa Kejayaan Kerajaan Kutai
Mulawarman
Mulawarman adalah seorang raja yang paling dikenal oleh kerajaannya. Karena sikap kedermawanannya dalam memberikan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana, yang disebut dalam Prasasti Yupa. Puncak keharmonisan Kerajaan Kutai berada pada era Raja Mulawarman. Wilayah kutai meluas sejak masa pimpinannya. Itulah sebab banyak yang menyebutkan bahwa Mulawarmanlah akibat dari masa-masa jayanya Kerajaan Kutai.
Raja-Raja Setelah Mulawarman 
Berikut merupakan raja-raja yang meneruskan Raja Mulawarman :
  1. Maharaja Marawijaya Warman
  2. Maharaja Gajayana Warman
  3. Maharaja Tungga Warman
  4. Maharaja Jayanaga Warman
  5. Maharaja Nalasinga Warman
  6. Maharaja Nala Parana Tungga Warman
  7. Maharaja Gadingga Warman Dewa
  8. Maharaja Indra Warman Dewa
  9. Maharaja Sangga Warman Dewa
  10. Maharaja Candrawarman
  11. Maharaja Sri Langka Dewa Warman
  12. Maharaja Guna Parana Dewa Warman
  13. Maharaja Wijaya Warman
  14. Maharaja Sri Aji Dewa Warman
  15. Maharaja Mulia Putera Warman
  16. Maharaja Nala Pandita Warman
  17. Maharaja Indra Paruta Dewa Warman
  18. Maharaja Dharma Setia Warman
  19. Masa Keruntuhan Kerajaan Kutai
Pada masa Raja Dharma Setia Warman, ada perang dengan kerajaan Kutai Kartanegara. Pada perang tersebut,Kerajaan Kutai kalah dengan Kerajaan Kutai Kartanegara. Sejak itulah Kerajaan Kutai berada di masa keruntuhan

Asal – usul masuknya agama Hindu 
Raja Aswawarman adalah Raja pertama yang menganut agama Hindu. Pada saat itu di Kalimantan ada Brahmana yang ingin menyebarkan ajaran Hindu ke Indonesia, lalu Brahmana ini di angkat menjadi Parohita (penasihat Raja) sekaligus pemimpin upacara-upaca kerajaan oleh Raja Kudungga karena dipercaya mempunyai kesaktiaan.
Namun saat itu ajaran Hindu yang dibawa oleh Brahmana hanya dapat di pelajari dan di mengerti oleh golongan kerajaan dan golongan tertentu, karena ajaran yang dibawa para Brahmana sangat tinggi.
Sampai pada akhirnya ajaran Hindu sudah mempengaruhi kerajan Kutai pada masa pemerintahan Raja Aswawarman hingga terus di turunkan sampai ke putranya yaitu Raja Mulawarman yang dikenal sebagai penganut Hindu-Syiwa yang taat.
Mendapat gelar Wangsakerta dan Dewa Ansuman:
Raja Aswawarman merupakan pendiri dinasti Kerajaan Kutai, sehingga mendapat gelar Wangsakerta yang artinya sebagai pembentuk keluarga raja. Pemberiaan gelar ini juga disebutkan pada stupa, selain itu stupa itu juga menjelaskan bahwa Raja Aswawarman mendapat sebutan sebagai Dewa Ansuman (Dewa Matahari).

Maharaja Mulawarman
Raja Mulawarman merupakan Raja ketiga, setelah ayahnya di Kerajaan Kutai. Kerajaan kutai mencapai puncak kejayaannya sejak masa pemerintahan raja yang mempunyai nama lengkap Mulawarman Nala Dewa dan dikenal sebagai raja yang tersohor pada abad ke 4 Masehi.
Berikut ini jasa-jasa Maharaja Mulawarman :
Semakin luasnya wilayah kerajaan Kutai
Raja Mulawarman berhasil mencapai puncak kejayaan Kutai hingga terus menerus memperluas wilayahnya, hingga menguasai Kalimantan bagian Timur. Hampir semua daerah di Kalimantan berhasil pula di taklukan. Dengan semakin luasnya wilayah kerjaan Kutai, nama Raja Mulawarman semakin tersohor.
Kehidupan rakyat makmur dan tentram
Kehidupan rakyat pada masa pemerintahan Raja Mulawarman sangat makmur, tentram dan terjamin sehingga seluruh rakyat dapat melangsungkan kehidupannya dengan lebih baik. Keamanan juga terjamin pada waktu itu, sehingga semua rakyat bangga dengan Raja Mulawarman.
Terkenal sebagai raja yang dermawan
Sejarah menyebutkan bahwa pada suatu hari Raja Mulawarman memberikan sekitar 20.000 ekor sapi kepada para Brahmana di dalam tanah yang suci yang dikenal dengan nama Waprakeswara, sebagai bentuk terimakasih dan peringatan acara kurban. Raja Mulawarman terkenal sebagai raja besar yang mulia.
Banyak bangunan suci
Pada masa pemerintahan Raja Mulawarman banyak di dirikan bangunan suci untuk ibadah, seperti bangunan suci untuk menyembah Dewa Trimurti. Trinurti adalah tiga bentuk kekuatan Brahman dalam menciptakan, memelihara dan meleburkan alam.
  1. Dewa Trimurti adalah tiga dewa tertinggi di agama Hindu. Ketiga nama dewa tertinggi tersebut adalah:
  2. Dewa Brahma yang fungsinya sebagai Pencipta,
  3. Dewa Wisnu yang fungsinya sebagai Pemelihara
  4. Dewa Siwa yang fungsinya sebagai Pelebur
Selain ketiga dewa tertinggi, agama Hindu juga meyakini keberadaan dewa lainnya antara lain: Dewa Chandra (Dewa Bulan), Dewa Ganesha (Dewa kebijaksanaan), Dewa Indra (Dewa hujan dan perang), Dewa Kuwera (Dewa kekayaan), Dewi Laksmi (Dewi kemakmuran dan kesuburan), Dewa Maruta (Dewa petir), Dewi Saraswati (Dewi pengetahuan), Dewi Sri (Dewi pangan), Dewa Surya (Dewa matahari), Dewa Waruna (Dewa air,laut,samudra), Dewa Bayu (Dewa angin), Dewa Yama (Dewa maut), Dewa akhirat(hakim yang mengadili roh) dan Dewa Kartikeya (Dewa pembunuh iblis) dan masih banyak dewa-dewa lainnya.

Runtuhnya Kerajaan Kutai

Kerajaan Kutai berakhir saat masa pemerintahan Maharaja Dharma Setia (Raja ke-21) tewas di medan perang melawan Raja Kutai Kartanegara ke-13, yaitu Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Kerjaan Kutai dan Kerajaan Kutai Kartanegara adalah dua kerajaan yang berbeda. Kutai Kartanegara mempunyai ibukota di Tanjung Kute, dan disebutkan juga ke dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara inipun selanjutnya menjadi kerajaan Islam yaitu, Kesultanan Kutai Kartanegara. Setelah menajadi kerajaan Islam, nama pemimpin yang semulanya Raja berubah menjadi Sultan.
Peninggalan Kerajaan Kutai
Berikut ini beberapa peninggalan sejarah dari keajaan Kutai :

Prasasti Yupa
Prasasti yupa adalah peninggalan sejarah dari kerajaan Kutai yang tertua. Dari prastasi inilah terdapat sumber sejarah tentang kerajaan Hindu yang terdapat di Muara Kaman, di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan.
Secara garis besar isi prastasi Yupa menceritakan tentang aspek kehidupan politik, sosial, budaya di kerajaan Kutai saat itu. Prastasti yupa diyakini menggunakan bahasa sansekerta dan huruf pallawa yang berasal dari India.
Ketopong Sultan
Ketopong adalah mahkota yang dipakai oleh Sultan di kerajaan Kutai yang terbuat dari emas dilengkap dengan hiasan batu-batu permata, motif bungan, kijang dan burung. Ketopong sultan ini memiliki berat emas sekitar 2kg.
Ketopong Sultan di temukan di Muara Kamai, Kutai Kartanegara pada tahun 1890.Kita dapat melihat replika atau tiruan dari ketopong sultan ini di Monumen Nasional (Monas) Jakarta, masih diabadikan sampai saat ini sebagai sumber sejarah yang langka.
Kalung Ciwa
Kalung ciwa merupakan benda sejarah yang ditemukan ketika masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Kalung ciwa dinilai unik dan sangat mahal, karena terbuat dari emas. Kalung ciwa pada awalnya ditemukan oleh seorang penduduk di sekitar Danau Lipan Muara Kaman pada tahun 1890, lalu diserahkan kepada Sultan.
Sejak saat itu kalung ciwa digunakan sebagai perhiasan kerajaan Kutai dan juga digunakan setiap ada pesta penobatan sultan baru.
Kura-kura emas
Kura-kura emas yang berukuran sekepalan tangan ini ditemukan di Long Lalang, daerah yang berada di sekitar hulu Sungai Mahakam. Dari sumber sejarah diketahui informasi, bahwa kura-kura emas ini merupakan persembahan atau lamaran dari seorang pangeran di Cina untuk Putri Raja Kutai, Aji Bidara Putih.
Benda bersejarah yang menjadi saksi awal pernikahan putri raja kutai ini masih tersimpan di Museum Mulawarman dalam bentuk replika atau tiruannya.
Pedang sultan kutai
Pedang ini mempunyai ukiran yang unik, terdapat gambar harimau di gagang pedang dan gambar buaya di ujung pedangnya. Seperti melambangkan, kegagahan dan keberanian sultan kutai. Pedang sultan kutai sering menemani sultan dalam perperangan dan juga merupakan pedang kesayangan sultan.
Sampai saat ini benda sejarahnya ini masih tersimpan di Museum Nasional Jakarta dalam bentuk replika atau tiruannya yang masih diabadikan sebagai sumber sejarah.
Keris Bukit Kang
Keris Bukit Kang merupakan keris yang digunakan oleh istri raja yaitu Permaisuri Aji Putri Karang Melenu, permaisuri dari Raja Kutai Kartanegara yang pertama. Berdasarkan sejarah, permaisuri ini merupakan bayi yang ditemukan dalam sebuah gong yang terhanyut di atas bambu.
Di dalam gong yang ditemukan tersebut terdapat bayi perempuan, telur ayam dan sebuah kering. Kering inilah diyakini oleh kebanyakan orang sebagai Keris Bukit Kang.
Singgasana Sultan
Singgasana Sultan merupakan benda sejarah yang masih terjaga sampai saat ini dan diletakkan di Museum Mulawarman. Singgasana yang dilengkapi dengan payung serta umbul-umbul ini digunakan oleh Sultan Aji Muhammad Sulaiman serta raja-raja sebelumnya di kerajaan Kutai.
Di Museum Mulawarman, singgasana sultan ini dibentuk dan di modifikasi ulang dalam bentuk replika atau tiruan yang masih tetap di abadikan.

1      2      3      4      5      6      7      8      9      10

Thursday, October 3, 2019

Situs Purba Megalitikum


Situs Sokolimanmerupakan situs kepurbakalaan yang terletak di Dusun Sokoliman II, Desa Bejiharjo, Karangmojo, Gunungkidul, DI Yogyakarta, tidak jauh (sekitar 5 km) dari objek wisata Gua Pindul. Situs ini berfungsi sama seperti situs Bleberan, di Kecamatan Playen, Gunungkidul, yaitu menampung dan mengamankan benda-benda cagar budaya, terutama yang bersifat megalitik, khususnya yang ditemukan di Desa Bejiharjo. Lokasinya berbatasan dengan lahan milik Perhutani yang ditanami kayu putih.
Di situs berukuran luas 2000 meter persegi ini dikumpulkan ratusan menhir (termasuk menhir arca), batu-batu penyusun kubur batu, serta punden yang sebelumnya terserak di kebun-kebun penduduk atau di lahan milik Perhutani. Sampai tahun 2014 terdapat 137 menhir, lima kubur batu (tidak lengkap), dan tujuh papan kubur batu. Selain itu terdapat satu punden  yang dipindahkan dari sumber air di dusun tersebut, yang tiap tahun  didatangi penduduk dalam rangka "bersih desa". Terdapat pula menhir arca "Mbah Gandhok" yang dipindahkan dari lahan milik penduduk untuk menghidari vandalisme.
Adanya peninggalan purbakala di kawasan ini diketahui setelah  dilakukan penelitian awal oleh J.L. Moens dan van der Hoop pada tahun 1934. Mereka melaporkan adanya bekal kubur yang berbentuk manik-manik, alat-alat besi, fragmen gerabah, dan benda-benda perunggu di kawasan Dusun Gunungbang, Desa Bejiharjo, tempat ditemukannya beberapa kubur batu (sampai sekarang masih di lokasi).
Baik situs Sokoliman maupun situs Bleberan menunjukkan bahwa pada masa lalu, kawasan tepi Sungai Oya, yang membentuk Cekungan Wonosari (Wonosari Basin), telah menjadi tempat hunian manusia yang mengusung tradisi megalitik.
Benda-benda yang terkumpul mengisyaratkan ritual yang terkait dengan kematian/penguburan. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya beberapa kerangka manusia di dekat penemuan menhir serta batu kubur tersebut.

Budaya Megalitik Gunung Kidul , Yogyakarta.
Persebaran budaya Megalitik di Gunungkidul selaras dengan kondisi kesuburan wilayahnya. Banyak ditemukan di daerah cekungan atau dekat dengan sumber air, sehingga secara umum ditemukan pada wilayah yang tanahnya subur.

Salah satu budaya Megalitikum di Gunungkidul terdapat di Situs Gedong Ngawis. Situs yang berada di Padukuhan Gondang, Desa Ngawis, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul ini menempati lahan seluas 400 meter persegi.
Disampaikan Kepala Bidang Pelestarian Warisan dan Nilai Budaya, Dinas Kebudayaan Kabupaten Gunungkidul, Ir Winarsih belum lama ini Di Situs Gondang terdapat tinggalan berupa peti kubur batu dan menhir.
“Peti kubur batu adalah peti yang disusun dari enam buah lempengan batu, yakni empat buah sebagai dinding dan dua buah sebagai alas dan tutup,” jelas Winarsih.
Sedangkan Menhir adalah batu yang dipahat sederhana namun sudah menggambarkan bentuk arca manusia. Bagian yang dipahatkan meliputi bagian wajah dan lengan tangan.
Lanjutnya, Situs yang berada tidak jauh dari Situs Sokoliman ini pernah diekskavasi oleh Badan Pelestari Cagar Budaya (BPCB) pada tahun 1995. Sehingga situs diketahui sebagai peninggalan prasejarah. Selain artefak peti kubur batu dan menhir atau arca batu juga ditemukan gerabah dan manik-manik sebagai bekal kubur.
“Sebelumnya, ilmuwan Belanda Mr. Van Der Moor pernah meneliti di situs tersebut pada tahun 1934,” imbuh Winarsih.
Saat ini Situs Gondang Ngawis dijadikan tempat penampungan koleksi sebanyak 78 cagar budaya yang terdiri dari 3 buah kubur batu, dan 75 buah batu menhir. Seperti situs-situs lainnya, situs prasejarah ini dipelihara oleh BPCB. (Kandar)
Wilayah Gunung Kidul kaya peninggalan purbakala terutama dari zaman batu besar atau Megalitikum. Mayoritas dari situs bersejarah itu tetap terpelihara keamanan dan keasliannya meskipun minim pengamanan. Warga mengaku takut memindahkan peninggalan dari zaman purbakala karena adanya mitos kualat.

Warga Dusun Gondang, Desa Ngawis, Karangmojo, Gunung Kidul, Arjo Wito, mengemukakan, ayahnya, Mbah Porjo, meninggal dunia setelah mencoba memindahkan kubur batu atas perintah penjajah Belanda. Kala itu, Belanda sempat meminta warga menggali kubur batu untuk mencari bekal kubur berupa perhiasan manik-manik dan emas.

Semenjak kematian warga akibat memindahkan kubur batu, warga di Dusun Gondang mengaku tidak berani memindahkan atau merusak peninggalan purbakala. Selain batu menhir dan kubur batu yang telah ditata di dalam kompleks Situs Gondang seluas 400 meter persegi, peninggalan kubur batu dari zaman purbakala ini masih banyak terserak di lingkungan rumah ataupun sawah milik penduduk.
Menurut Arjo Wito, banyaknya batuan yang terserak di Dusun Gondang itu jika dikumpulkan bisa lebih dari satu truk. Selain peninggalan berupa batu kubur seperti batu tegak (menhir), fragmen menhir, dan kubur batu, warga sempat menemukan aneka bekal kubur seperti cincin atau gelang emas. ”Kami tidak berani merusak karena takut kena tulah (bala),” ujar istri Arjo Wito, Sukinah.
Pada era tahun 1970-an, Arjo Wito dan Sukinah pertama kali menemukan kubur batu yang menyembul di ladang tadah hujan milik mereka. Setelah beberapa kali dikunjungi tim peneliti arkeologi, areal ladang tersebut kemudian dibeli oleh pemerintah. Pada tahun 1996, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DI Yogyakarta mulai memagari Situs Gondang dengan kawat dan besi. Hingga kini, Arjo Wito bekerja sebagai juru pelihara Situs Gondang.
Kuburan Budho
Meskipun kaya situs purbakala, masyarakat Gunung Kidul sama sekali tidak memiliki bekal pengetahuan tentang sejarah peninggalan tersebut. Mereka umumnya menyebut kubur batu itu sebagai kuburan Budho (umat Buddha). ”Kami turut menjaga karena situs ini adalah kekayaan daerah. Tetapi, warga sama sekali tidak tahu sejarah dari kuburan Budho ini,” ungkap beberapa warga seperti Purwanto dan Sastro Sakim.
Tidak adanya papan petunjuk tentang sejarah dan umur situs tak hanya terjadi di Situs Gondang, melainkan juga di Situs Sokoliman yang teletak beberapa ratus meter dari Situs Gondang di Dusun Sokoliman, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo. Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul, umur kedua situs ini diperkirakan 3000 tahun sebelum Masehi.
Pada tahun 1934, peneliti Jl Moens dan Van der Hoop meneliti dan menemukan bekal kubur berbentuk manik-manik, alat besi, fragmen gerabah, dan benda-benda perunggu di wilayah Karangmojo tersebut.

1      2      3      4      5      6      7      8      9      10

Monday, September 30, 2019

Situs Waruga


Situs Waruga di Minahasa Utara
Memasuki salah satu situs bersejarah di Minahasa Utara ini butuh sedikit perjuangan untuk mencarinya. Letaknya yang berada di belakang perumahan dan lahan penduduk membuat salah satu situs bersejarah di Sulawesi Utara ini agak tersembunyi. Inilah Situs Waruga Sawangan yang merupakan kuburan tua peninggalan zaman megalitik orang Minahasa.

Waruga di Minahasa diperkirakan berkembang pada sekitar awal abad ke-13 sebelum Masehi. Kemunculan Waruga pertama kali di daerah Bukit Kelewer, Treman, dan Tumaluntung, Kabupaten Minahasa Utara. Kemunculan Waruga kemudian terus berkembang di berbagai daerah di Sulawesi Utara hingga awal abad ke-20 Masehi.

Pada zaman pra-sejarah masyarakat Minahasa masih percaya jika roh leluhur memiliki kekuatan magis. Untuk itu, kuburan dibuat secara khusus dengan seindah mungkin. Waruga terdiri dari dua bagian, bagian badan dan bagian tutup. Bagian badan berbentuk kubus dan bagian tutup berbentuk menyerupai atap rumah.

Uniknya, waruga tidak dibuat oleh kerabat atau keluarga dari orang yang meninggal akan tetapi dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggal. Ketika orang itu akan meninggal maka dengan sendirinya akan memasuki waruga yang dibuatnya itu setelah diberi bekal kubur lengkap. Suatu hari bila itu dilakukan dengan sepenuhnya akan mendatangkan kebaikan bagi keluarga yang ditinggalkan.

Sebenarnya di Sulawesi Utara banyak terdapat situs Waruga, salah satunya di Desa Sawangan Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa Utara. Terdapat 143 buah Waruga di desa ini yang dibagi dalam beberapa ukuran yang dikelompokkan menjadi 3 kelompok.

Kelompok pertama, Waruga berukuran kecil dengan ketinggian antara 0-100 cm sebanyak 10 buah. Kedua, Waruga berukuran sedang dengan ketinggian antara 101-150 cm sebanyak 52 buah. Ketiga, Waruga berukuran besar dengan ketinggian antara 151-250 cm sebanyak 81 buah.
Waruga sendiri berasal dari bahasa Tombulu, yakni dari suku kata Wale Maruga yang memiliki arti rumah dari badan yang akan kering. Waruga juga memiliki arti lainnya yakni Wale Waru atau kubur dari Domato atau sejenis tanah lilin.

1      2      3      4      5      6      7      8      9      10

Saturday, September 28, 2019

Lompat Batu Nias

Tradisi melompat batu atau yang biasa disebut oleh orang Nias sebagai fahombo batu adalah pada mulanya dilakukan oleh seorang pemuda Nias untuk menunjukan bahwa pemuda yang bersangkutan sudah dianggap dewasa dan matang secara fisik. Lebih jauh dari itu bila sang pemuda mampu melompati batu yang disusun hingga mencapai ketinggian 2 m dengan ketebalan 40 cm dengan sempurna maka itu artinya sang pemuda kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya samu’i mbanua atau la’imba hor, jika ada konflik dengan warga desa lain.
Tapi satu hal yang perlu diketahui bahwa tradisi lompat batu ini tidak terdapat di semua wilayah Nias dan hanya terdapat pada kampung-kampung tertentu saja seperti di wilayah Teluk Dalam. Dan satu hal lagi, tradisi ini hanya boleh diikuti oleh kaum laki-laki saja, dan sama sekali tak memperbolehkan kaum perempuan untuk mencobanya mengingat lompat batu merupakan ajang ketangkasan yang nantinya bila berhasil melompat dengan sempurna yang bersangkutan akan didampuk menjadi pembela kampungnya ketika ada perselisihan dengan kampung lain.

Oleh karena begitu prestisiusnya kemampuan lompat batu ini, maka sang pemuda yang telah berhasil menaklukan batu ini pada kali pertama bukan saja akan menjadi kebanggaan dirinya sendiri tapi juga bagi keluarganya. Bagi keluarga sang pemuda yang baru pertama kali mampu melompati batu setinggi 2 meter ini biasanya akan menyembelih beberapa ekor ternak sebagai wujud syukuran atas keberhasilan anaknya.

Karena suatu kebanggaan, maka setiap pemuda tidak mau kalah dengan yang lain. Sejak umur sekitar 7-12 tahun atau sesuai dengan pertumbuhan seseorang, anak-anak laki-laki biasanya bermain dengan melompat tali. Mereka menancapkan dua tiang sebelah menyebelah, membuat batu tumpuan, lalu melompatinya. Dari yang rendah, dan lama-lama ditinggikan. Ada juga dengan bantuan dua orang teman yang memegang masing-masing ujung tali, dan yang lain melompatinya secara bergilir. Mereka bermain dengan semangat kebersamaan dan perjuangan.
Uniknya, konon meski sudah latihan keras tidak semua pemuda akhirnya berhasil melewati undukan batu bersusun itu, bahkan tak jarang dari mereka ada yang sampai patah tulang karena tersangkut ketika mencoba melewati batu tersebut. Tapi tak jarang pula ada pemuda yang hanya berlati sekali dua tapi langsung mampu melewati batu tersebut. Menurut kepercayaan setempat hal ini dipengaruhi oleh faktor genetika. Jika ayahnya atau kakeknya seorang pemberani dan pelompat batu, maka diantara para putranya pasti ada yang dapat melompat batu. Kalau ayahnya dahulu adalah seorang pelompat batu semasih muda, maka anak-anaknya pasti dapat melompat walaupun latihannya sedikit. Bahkan ada yang hanya mencoba satu-dua kali, lalu, bisa melompat dengan sempurna tanpa latihan dan pemanasan tubuh.

Kemampuan dan ketangkasan melompat batu juga dihubungkan dengan kepercayaan lama. Seseorang yang baru belajar melompat batu, ia terlebih dahulu memohon restu dan meniati roh-roh para pelompat batu yang telah meninggal. Ia musti memohon izin kepada arwah para leluhur yang sering melompati batu tersebut. Tujuanya untuk menghindari kecelakaan atau bencana bagi para pelompat ketika sedang mengudara, lalu menjatuhkan diri ke tanah. Sebab banyak juga pelompat yang gagal dan mendapat kecelakaan.
Lantas kenapa para pemuda yang mampu melompat batu kemudian akan menjadi ksatria dikampungnya? Itu lantaran ketika terjadi peperangan antar kampung maka para prajurit yang menyerang harus mempunyai keahlian melompat untuk menyelamatkan diri mengingat setiap kampung di wilayah Teluk Dalam rata-rata dikelilingi oleh pagar dan benteng desa. Maka dari itu ketika tradisi berburu kepala orang atau dalam sebutan mereka mangaih’g dijalankan sang pemburu kepala manusia ketika dikejar atau melarikan diri, mereka harus mampu melompat pagar atau benteng desa sasaran yang telah dibangun dari batu atau bambu atau dari pohon tali’anu supaya tidak terperangkap di daerah musuh.Itu juga sebabnya desa-desa didirikan di atas bukit atau gunung hili supaya musuh tidak gampang masuk dan tidak cepat melarikan diri.

Dan bagi pemuda yang dapat selamat dari perangkap musuh itulah yang kemudian akan pulang ke kampungnya dengan segala kehormatan dan dielu-elukan sebagai pahlawan.

1      2      3      4      5      6      7      8      9      10

Thursday, September 26, 2019

KERIS MANIFESTASI "JIWA JAWI"

Disini tidak akan membenarkan dan menyalahkan apa yang sudah terjadi dalam pemahaman soal keris dan tosan aji lainnya. Yang pantas dicari adalah bagaimana budaya keris atau tosan aji itu memberikan manfaat bagi kehidupan kita bersama. Oleh karena itu, sekedar mau menyodorkan sebuah peringatan nenek moyang yang berbunyi "Janjine dudu jimat keramat, ananging angunging Gusti Kang Pinuji"Keris bukan sebagai jimat, tetapi lebih sebagai piyandel (harapan, doa, dan kepercayaan), sebagai sarana memuji dan memuja Sang Pencipta. Intinya keberadaan keris tersebut harus berguna bagi masyarakat. 

Singkat ceritanya keris adalah ilmu dan dipandang sebagai sebuah manifestasi 'Semangat hidup dan kearifan Jawa', Jiwa Jawi. Jawa berasal dari kata "Javana" yang bearti kearif-bijaksanaan. Kata keris berasal dari mangker karana aris artinya mundur dengan bijaksana maksudnya mundur dari dunia ini dengan bijaksana. Oleh karena itu menggeluti dunia keris seharusnya bergulat dengan membaca alam, membaca diri, dan membaca kehendak Sang Pencipta.
Keris merupakan simbol pribadi, piyandel, sipat kandel, dan ini merupakan kepercayaan yang tidak bisa digugat dalam dunia perkerisan. Keris mempunyai makna dan isi, pertama-tama yang harus disadari adalah
keris itu berisi piwulang-wewarah, nasehat untuk hidup dengan baik dan benar (harapan agar manusia menjadi arif dan bijaksana).

Keinginan manusia pada dasarnya hanyalah satu yaitu menuju Sang Pencipta, dan di dalam keris itulah diungkap filsafat sangkan paraning dumadi (asal manusia lahir dan kemana tujuan hidupnya), sangkan paraning pambudi (berupaya mencapai tujuan hidup dengan ilmu) atau Manunggaling Kawula Gusti (upaya menuju arah tujuan hidup). Oleh karenanya secara fisik keris menggambarkan dan menggoreskan harapan sekaligus nasehat agar manusia senantiasa bertindak dan bersikap seperti yang digambarkan oleh keris. Gambaran itu diadopsi di dalam dapur, pamor, juga racikan yang tertera dalam keris. Keris dengan luwes menggambarkan upaya/usaha manusia untuk menuju Sang Pencipta.

Keris ada yang lurus dan ada yang lekuk hal ini menggambarkan suatu semangat Teguh dalam niat, luwes dalam pelaksanaannya artinya manusia diminta bijaksana dalam menjalani hidupnya, luwes dan tidak kaku. Ketajaman keris dimaksudkan bukan untuk perang melawan orang lain, tetapi untuk memerangi diri sendiri, keris bukan untuk membunuh tetapi digunakan untuk melindungi diri dimana hal ini sangat sulit untuk dipisahkan/dibedakan jika seseorang sangat ingin berkuasa, maksudnya adalah kemampuan untuk mengendalikan nafsu dalam diri sendiri.

Lalu dimana letak magis keris? Di dalam filsafat Jawa digoreskan Bapak (wong tuwo) tapa, anak nampa, putu nemu, buyut katut, canggah kesrambah maksudnya jika ayah (orang tua) hidup prihatin dan anak, cucu, cicit, dan canggah yang akan menerima kebahagiaan. Keprihatinan yang diwujudkan dalam benda yang pengerjaannya dilakukan oleh seorang Empu dengan bermati raga dan bertapa selama paling tidak 3 bulan tentu memberikan daya yang sangat kuat yang terekam di dalam mantra yang terpatri dalam godaman sang empu lewat pembakaran dan penempaan yang terus menerus dalam keprihatinan yang mendalam.
Doa yang terlantun dari empu yang berupa mantra-mantra ibarat kaset yang diputar dan terekam di dalam keris dan tosan aji. Kaset itu bisa diputar balik apabila yang mempunyai keris tahu cara memutarnya. Oleh
karena itu dalam dunia perkerisan ada laku/ritual yang harus ditempuh seseorang apabila hendak membeli keris. Membeli keris memang dengan uang, tetapi ada yang lebih penting dari itu, yaitu dengan laku keprihatinan, laku yang sangat umum adalah Tyas manis kang mantesi, ruming wicara kang mranani, sinembah laku utama ( Hati yang baik yang selalu mengemuka, keharuman pembicaraan yang senantiasa menarik, ditambah laku keutamaan ). Tanpa laku itu keris tidak akan bermakna. Keris yang handal butuh laku yang handal pula, oleh karena itu meski kita mempunyai keris Gajah Mada sekalipun tanpa laku yang memadai keris itu tidak akan berguna, lantaran tidak bisa dihidupkan daya magisnya. Walaupun keris iu dalam eksoterinya kurang berkelas, tetapi jika disertai laku luhur pemiliknya, maka boleh jadi keris itu akan bermakna bagi hidup pemiliknya.
Inilah selintas pemahaman keris sebagai manifestasi Jiwa Jawi yang tidak sekedar bermuatan etnis Jawa, tetapi Jawa dalam arti Javana yaitu kearif-bijaksanaan.

1       2       3       4       5       6        7        8        9        10.....