Pada
jaman dahulu adalah seorang empu yang termashur Empu Supa namanya. Empu
Supa adalah putera Empu Supadriya yakni seorang pandai besi di
Majapahit yang membuat senjata atau alat-alat perang kerajaan Majapahit.
Empu Supa kawin dengan Dewi Rasawulan,
adik Sunan Kalijaga, putera puteri Harya Teja Bupati Tuban. Dari hasil
perkawinannya dengan Dewi Rasawulan, Empu Supa dikaruniai seorang anak
yang diberi nama Empu Supa Muda. Selain memperistri Dewi Rasawulan Empu
Supa juga mengawini seorang puteri, yakni Dewi Sugihan atau Dewi Lara
Upas. Perkawinannya dengan Dewi Lara Upas dikaruniai seorang putera yang
diberi nama Jaka Sura.
Pada suatu hari Empu Supa disuruh oleh
Sunan Kalijaga membuat pisau untuk menyembelih kambing. Untuk membuat
pisau tersebut Sunan Kalijaga memberikan sepotong besi yang lazimnya
dipakai untuk membuat keris. Segera Empu Supa bekerja dengan tekun,
membuat pisau pesanan Sunan Kalijaga. Tetapi, rupa-rupanya sudah menjadi
takdir dewa-dewa, bukan pisau penyembelih kambing yang dihasilkan,
tetapi sebuah keris yang amat indah dan menakjubkan. Sebuah keris yang
sempurna dengan luk tiga belas. Konon, kata orang hanya raja diraja yang
pantas memakai keris tersebut. Keris tadi lalu diberi nama Kyai
Sengkelat.
Sunan Kalijaga segera memberikan perintah supaya
keris tersebut disimpan saja terlebih dahulu. Kemudian Sunan Kalijaga
bersabda, “Ya sudahlah, hanya Tuhan saja Yang Maha Mengetahui dan bisa
memahami peristiwa semacam ini”.
Sesudah peristiwa tersebut,
Sunan Kalijaga lalu menyuruh membuat lagi sebuah keris yang cocok dan
pantas untuk seorang ulama. Sesudah selesai dan jadi, keris tadi lalu
diberi nama Kyai Crubuk dan dipersembahkan kepada Sunan Kalijaga.
Terceritalah pada waktu itu kerajaan Majapahit sedang diserang wabah
penyakit yang amat mengerikan. Banyak orang yang mati. Konon, kabarnya
banyak orang pagi sakit, sore mati, sore sakit dan paginya hanya tinggal
nama. Menurut keyakinan rakyat Majapahit dan juga diperkuat oleh para
keluarga istana, wabah penyakit ini ditimbulkan oleh sebuah pusaka
kerajaan yang bernama Kyai Condong Campur. Pada waktu itu pun Putri
Cempa, permaisuri raja Majapahit juga sedang gering. Oleh karena itu
segenap warga punggawa kerajaan Majapahit disiapkan agar supaya menjaga
Kerajaan Majapahit.
Pada suatu hari yang bertugas jaga di
Kerajaan Majapahit ialah Tumenggung Empu Supadriya dan Supagati. Akan
tetapi karena keduanya sedang menderita sakit, maka tugas jaga tersebut
lalu dilimpahkan para puteranya. Empu Supadriya diwakili oleh Empu
Supa, Empu Supagati diwakili oleh Empu Jigja. Pada waktu itu Empu Supa
menyandang keris Kyai Sengkelat, dan Empu Jigja memakai keris Kyai Sabuk
Inten. Pada malam itu Kyai Condong Campur keluar dari sarungnya. Wibawa
keris sakti memang menakjubkan. Semua punggawa kerajaan seperti kena
sirep, semua tidur nyenyak sekali.
Demikian juga para kerabat
istana tak satu pun yang mampu mempertahankan kantuknya. Pada waktu
menyaksikan Kyai Condong Campur sudah meninggalkan sarungnya, Kyai
Sengkelat diikuti oleh Kyai Sabuk Inten dengan cepat melesat dari
sarungnya mengejar Kyai Condong Campur. Terjadilah peperangan yang
sangat hebat, Kyai Condong Campur dikeroyok oleh Kyai Sengkelat dan
Sabuk Inten. Dalam peperangan yang amat hebat itu, Kyai Condong Campur
akhirnya terdesak, lalu segera melarikan diri, kembali ke sarungnya.
Mulai saat itu wabah penyakit yang melanda Kerajaan Majapahit hilang
sama sekali. Orang yang sakit jadi sembuh dengan tiba-tiba. Maka
Kerajaan Majapahit kembali menjadi aman dan tenteram seperti sediakala.
Sudah menjadi kebiasaan di Kerajaan Majapahit, setiap bulan Sura
diadakan upacara membersihkan pusaka kerajaan. Pada saat-saat yang
penting ini Sang Raja Brawijaya berkenan menyaksikan pelaksanaan
upacara. Betapa terkejutnya Sang Raja Brawijaya ketika menyaksikan
keadaan keris sakti, Kyai Condong Campur. Kelihatan citra sang pusaka
sakti ini telah rontok dan hancur.
Sang Raja Brawijaya kemudian
memanggil Tumenggung Empu Supadriya. Sang Empu disuruh memperbaiki
pusaka sakti yang citranya telah rontok tersebut. Empu Supadriya segera
bekerja dengan keras memperbaiki citra sang keris sakti Kyai Condong
Campur, agar pulih seperti dahulu. Keris sakti tersebut, lalu dimasukkan
ke dalam api pembakaran, dengan maksud akan ditempa kembali. Setelah
dibakar, kemudian disiapkan pada tempat menempa. Akan tetapi
rupa-rupanya sudah menjadi takdir Yang Maha Kuasa, tiba-tiba pusaka
sakti tersebut musnah, melesat ke antariksa.
Dan menurut ujar
orang, lalu menjadi bintang berekor. Di angkasa sang pusaka sakti
tersebut lalu bersuara, yang lazimnya diujudkan dalam bentuk tembang
Jawa Sinom seperti berikut:
Heh Sang Prabu Brawijaya
(Hai Sang Prabu Brawijaya)
Poma den ngati-ngati
(Harap engkau berhati-hati)
Sira mitenah maring wang
(Engkau telah menfitnah aku)
Manira darma nglakoni
(Engkau hanya sekedar menjalani)
Iyo pratandha iki
(Ini adalah sebuah pertanda)
Dadi rusak negaramu
(Jadi rusak negaramu)
Ya siro tutugna
(Ya, baiklah engkau lanjutkan)
Gawea keris kang becik
(Buatlah keris yang baik)
Hangupayaa keris dhapur sasra
(Usahakanlah membuat keris bercorak seribu).
Tersebutlah dalam kisah ini, negeri Blambangan, berdasarkan petunjuk
seorang ahli nujum bernama Huyung Tingkir, Adipati Blambangan
mengetahui bahwa wahyu kerajaan tersebut sedang berada di Tuban berupa
sebuah pusaka keris sakti yang bernama Kyai Sengkelat. Maka dari itu
Adipati Blambangan menyuruh seorang pencuri ulung yang bernama Cluring
untuk mencuri keris pusaka tersebut. Cluring maling yang sakti, akhirnya
berhasil mencuri keris Kyai Sengkelat dari kediaman Empu Supa. Keris
Kyai Sengkelat segera dipersembahkan kepada Sang Adipati Blambangan.
Karena jasa-jasanya ini Cluring diangkat menjadi Patih Mangkubumi di
Blambangan.
Sudah menjadi kebiasaan, pada saat-saat tertentu
Sunan Kalijaga menjenguk ke Tuban, meninjau kemenakannya si Supa Muda.
Demikianlah kisahnya, Sunan Kalijaga ingin mengetahui keadaan keris
sakti Kyai Sengkelat yang dulu disimpan oleh Empu Supa. Betapa
terkejutnya Empu Supa setelah menyaksikan bahwa Kyai Sengkelat sudah
hilang dari tempat penyimpanannya. Sunan Kalijaga lalu memberikan
wejangan-wejangan kepada Empu Supa, tentang hilangnya keris sakti Kyai
Sengkelat. Sunan Kalijaga memberi perintah kepada Empu Supa, agar supaya
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan kembali keris sakti
Kyai Sengkelat. Tidak boleh tidak keris sakti itu harus bisa diketemukan
kembali.
Empu Supa pun segera bersiap pergi mencari hilangnya
keris Kyai Sengkelat. Ia berjalan terus ke timur. Dalam pengembaraannya
itu Empu Supa sampai di pulau Madura. Di pulau ini Empu Supa mengganti
namanya menjadi Kasa. Ia mengabdi pada seorang pandai besi yang bernama
Empu Singkir. Bersama Empu Singkir, Empu Supa membantu membuat tombak
dan keris. Dari Madura ia meneruskan perjalanannya sampai di Kahuripan.
Di Kahuripan Empu Supa mengabdi pada seorang pandai besi Empu Bassu.
Akhirnya Empu Supa sampai di negeri Blambangan dan berganti nama sebagai
Pitrang. Di Blambangan Pitrang mengabdi pada Empu Sarap, seorang pandai
besi yang terkenal di negeri Blambangan.
Pada waktu itu negeri
Blambangan sedang mempersiapkan diri untuk memerangi Majapahit. Oleh
karena itu Empu Sarap dan Pitrang mendapat pesanan membuat senjata yang
sangat banyak. Kepandaian Pitrang membuat senjata ternyata menyebabkan
namanya tersohor, Patih Mangkubumi, Cluring dibuatkan keris Tilam Putih
dan tombak Biring. Mendengar berita bahwa Pitrang sangat pandai membuat
senjata, sang Adipati Blambangan segera memanggilnya. Sesudah Pitrang
menghadap, Sang Adipati minta supaya dibuatkan keris yang mirip dengan
Kyai Sengkelat.
Karena Pitrang memang seorang pembuat keris
yang pandai, pusaka keris buatan Pitrang tadi benar-benar persis sama
dengan aslinya sehingga sulitlah bagi orang-orang biasa untuk
membedakannya. Kesempatan yang baik ini tidak disia-siakan oleh Pitrang,
yang tidak lain adalah Empu Supa yang menyamar. Segera pusaka sakti
keris Kyai Sengkelat yang asli disembunyikannya. Lalu Pitrang membuat
dua buah keris Sengkelat palsu. Dua buah keris yang palsu inilah yang
diserahkannya kepada Adipati Blambangan.
Sang Adipati merasa
sangat berkenan atas karya Pitrang. Oleh karena itu Sang Adipati
Blambangan memberi anugerah Pitrang seorang putri yang bernama Dewi
Sugihan, yang juga lazim disebut Dewi Lara Upas. Sesudah berhasil
memperoleh kembali keris Kyai Sengkelat, Empu Supa pun segera kembali
ke Tuban. Pada waktu itu Dyah Sugihan sedang mengandung, lalu melahirkan
seorang putera laki-laki yang kemudian diberi nama Jaka Sura.
Pada waktu itu Kerajaan Majapahit sedang mengumpulkan semua empu di
seluruh wilayah Kerajaan Majapahit. Tujuan utama ialah agar para empu
tersebut menciptakan sebuah keris yang bercorak seribu, seperti yang
pernah disarankan oleh Kyai Condong Campur yang sekarang telah menjadi
bintang berekor.
Pada waktu itu semua empu sudah hadir. Hanya
Empu Supa saja yang belum kelihatan di persidangan. Kemanakah perginya?
Tumenggung Supadriya segera menyembah dan berkata, bahwa Empu Supa
sekarang sedang pergi ke Tuban menjenguk keluarganya.
Kemudian
Tumenggung Supadriya disuruh menyusul Empu Supa agar supaya segera
menghadap sang raja di Majapahit. Sesampainya di Tuban ternyata Empu
Supa tidak ada di rumah, sebab sedang mengembara. Di rumah tinggallah
istrinya Dewi Rasa Wulan dan anaknya si Supa Muda.
Karena takut
kalau-kalau raja murka, sebagai bukti bahwa Empu Supa benar-benar tidak
ada di rumah, maka putra dan putri Empu Supa lalu diajak serta untuk
menghadap sang raja di Kerajaan Majapahit.
Setelah mereka
sampai di Kerajaan Majapahit, Tumenggung Supadriya segera memberikan
laporan bahwa Empu Supa baru saja mengadakan pengembaraan, dan pulangnya
belum dapat dipastikan. Sang Raja segera bertanya, siapakah anak muda
yang bernama Empu Supa tersebut. Tumenggung Supadriya menjawab, bahwa
anak muda tidak lain ialah si Supa Muda, anak Empu Supa. Sang Raja
bertanya kepada Supa Muda. “Apakah kau dapat membuat keris yang
bercorak seribu?” Supa Muda itu menjawab, “Hamba, hamba, dapat Gusti,
dengan berkah dari Yang Maha Agung”.
“Nah, baiklah. Sekarang
engkau saya perkenankan mundur dari persidangan ini. Jangan lupa pada
janjimu untuk membuat keris bercorak seribu. Segera engkau
mengerjakannya”, demikian sang raja berkata.
Dengan kesanggupan
tersebut, Supa Muda lalu mengumpulkan bermacam-macam jenis besi dari
segala penjuru dunia, dikumpulkannya di pantai Tuban. Setelah segala
macam besi terkumpul, besi-besi tersebut lalu ditempanya. Maksudnya akan
dijadikan sebuah keris yang bercorak seribu. Namun, meskipun sudah
bekerja dengan keras, dengan tekad yang teguh, usahanya tersebut belum
menampakkan hasil. Setiap ditempa, besi-besi tersebut selalu melebur
dan tidak dapat menyatu. Karena putus asa, Supa Enom menangis
tersedu-sedu, merendam dirinya di pantai utara laut Tuban.
Kebetulan pada saat itu Sunan Kalijaga menyaksikan apa yang terjadi.
Maka didekatinyalah kemenakannya tersebut, lalu ia berkata, “Ada apa
anakku, engkau menangis tersedu-sedu di pantai Tuban ini?” Supa Muda
lalu berceritera bahwa ia disuruh oleh sang Raja di Majapahit supaya
membuat pusaka keris yang bercorak seribu.
Tetapi usahanya
sampai sekarang belum berhasil. Mendengar akan apa yang diceriterakan
oleh Supa Muda, timbullah belas kasihan Sunan Kalijaga kepada
kemenakannya. Supa Muda kemudian diberinya sepotong besi pulosari, agar
supaya dibuat sebuah keris seperti apa yang diinginkan oleh sang raja di
Majapahit. Dengan sangat gembira Supa Muda pun segera bekerja.
Kebetulan pada waktu itu, tanpa diduga-duga sama sekali Empu Supa datang
dari pengembaraannya. Empu Supa memberikan dorongan dan doa restu
kepada anaknya yang sedang membuat keris bercorak seribu.
Dengan restu orang tuanya dan Sunan Kalijaga, Supa Muda dengan teguh dan
mantap meneruskan karyanya, membuat pusaka. Akhirnya pekerjaan yang
rumit, gawat dan mulia itu dapat diselesaikan juga. Jadilah sebuah keris
yang mirip dengan Kyai Sengkelat, tetapi lebih hebat dan ampuh, karena
pusaka tersebut bercorak seribu. Keris yang sudah jadi tersebut memang
menakjubkan. Bercahaya, berkilauan, dan penuh kewibawaan.
Karena keris tersebut bercorak seribu maka lalu disebut sebagai keris
pusaka Nagasasra. Kemudian keris Sakti Nagasasra diserahkan kepada sang
raja di Majapahit. Sang Raja sangat berkenan di hati, melihat ujud keris
Nagasasra tersebut. Oleh karena itu Empu Supa Muda mendapat anugerah
seorang puteri yang cantik jelita dari kerajaan Majapahit dan diangkat
menjadi bupati di Tuban. Di Sendang Sedayu, Jaka Sura, putra Empu Sura
dari istrinya Diyah Sugihan atau Lara Upas, pada suatu hari membuka peti
kepunyaan sang ibu. Betapa terkejutnya Jaka Sura, karena yang dalam
peti tersebut hanyalah potongan-potongan besi belaka. Diyah Sugihan lalu
berceritera kepada sang putera tentang asal-usul Jaka Sura. Sang ibu
menjelaskan bahwa sebenarnya Jaka Sura adalah putera seorang Empu yang
termashur di Kerajaan Majapahit, yakni Empu Supa. Mendengar cerita sang
ibu, Jaka Sura sangat senang hatinya. Jaka Sura pun akhirnya ingin
belajar membuat keris seperti bapaknya juga. Kemudian ia pun pergi
kepada seorang pandai besi di daerahnya. Tapi apa gerangan kata sang
pandai besi?
“Kalau kamu hendak belajar membuat keris yang
sakti, janganlah berguru kepadaku. Aku hanya seorang pandai besi biasa
saja. Pekerjaan saya tidak membuat keris. Tetapi membuat cangkul, sabit
dan sebagainya. Kalau kamu ingin belajar membuat keris yang ampuh, coba
datanglah pada Jaka Sura. Ia adalah putera seorang empu yang termashur
di Kerajaan Majapahit, Empu Supa. Tentu Jaka Sura pun tidak kalah
hebatnya dari bapaknya.
Mendengar ucapan sang pandai besi yang
sangat menyindir hatinya itu, hati Jaka Sura bagaikan diiris dengan
sembilu. Hatinya pedih dan sangat sedih. Benaknya penuh dengan segala
macam angan-angan dan pikiran. Timbullah tekadnya, ingin membuktikan apa
yang dikatakan sang pandai besi tersebut. Ia bertekad tidak akan
pulang sebelum ia berhasil menjadi seorang empu pembuat keris yang
benar-benar hebat dan mengagumkan. Dengan tekad tersebut ia langsung
masuk ke dalam hutan untuk meminta kemurahan Yang Maha Kuasa.
Karena.lelah dalam perjalanan, ia pun kemudian beristirahat di bawah
pohon beringin yang sangat rimbun. Tanpa terasa, karena sangat sedihnya
ia pun menangis. Dan angin hutan yang berhembus telah merangsang rasa
kantuknya. Ia pun mulai hendak tidur. Dalam kantuknya ini tiba-tiba
muncullah sesosok tubuh di mukanya. Jaka Sura terkejut dan bertanya,
“Siapakah tuan?”
“Heh, Jaka Sura, ketahuilah aku inilah yang
bernama Empu Anjani. Empunya para siluman. Janganlah engkau terkejut,
kalau aku tiba-tiba berada di hadapanmu. Jaka Sura, kalau kamu ingin
menjadi Empu yang termashur aku tidak berkeberatan memberikan pengajaran
kepadamu”, jawab Empu Anjani.
Kemudian Empu Anjani memberikan
wejangan dan pengajaran segala macam ilmu membuat keris. Pendek kata
Jaka Sura sudah berhasil menyerap ilmu pemberian Empu Anjani sampai
tuntas. Setelah selesai Jaka Sura pun pulanglah menemui sang ibu. Semua
kejadian yang baru saja dialaminya diceriterakannya kepada sang ibu.
Jaka Sura punya niat ingin menemui bapaknya. Ia pun berangkat ke
Kerajaan Majapahit.
Kebetulan pada waktu itu Sang Raja
Brawijaya mendapatkan ilham supaya membuat keris. Tetapi keris tersebut
harus dibuat oleh seorang Empu yang masih muda. Lagi pula besinya bukan
sembarang besi melainkan besi hasil memuja. Perjalanan Jaka Sura pada
waktu itu telah sampai di Majapahit. Ia diperkenankan menghadap sang
raja. Ketika ia di tanyai sang Raja apakah sanggup membuat pusaka keris
dengan besi pujaan, ia pun tidak menolak.
Dengan segala
kebulatan cipta dan karsa Jaka Sura pun mulailah bersemedi. Hebatnya
sang cipta dan karsa, akhirnya terciptalah sepotong besi yang berujud
seperti kapas, putih merah warnanya. Jaka Sura pun segera mengerjakan
keris tersebut. Besi pujaan tidak ditempa. Besi tersebut dibuat keris
oleh Jaka Sura hanya dengan jari-jari tangan saja. Orang-orang yang
menyaksikannya sangat kagum. Demikianlah juga Sang Raja Brawijaya.
Akhirnya keris pusaka itu selesailah. Keris sakti tersebut diberi nama
keris Mangkurat.
Dengan karyanya tersebut, Jaka Sura pun
dianugerahi seorang putri kerajaan dan dinobatkan menjadi Pangeran
Merdeka di Sendang Sedayu, mengganti Empu Supa yang telah dinaikkan
pangkatnya menjadi bupati para empu di Majapahit.
Keadaan telah
berubah, Majapahit telah mengalami masa kemunduran. Timbullah Kerajaan
Demak. Demak pecah dengan Pajang. Pecahnya Demak dengan Pajang semakin
gawat. Pada waktu itu Jaka Sura mengabdikan dirinya ke Demak setelah
runtuhnya Majapahit. Selanjutnya Empu Jaka Sura lebih dikenal sebagai
Empu Umyang.
Pada waktu itu Empu Umyang diutus sang Raja untuk
membuat keris yang lebih sakti daripada keris-keris yang pernah
diciptakan. Akan tetapi rupa-rupanya Empu Umyang tidak berhasil
menjalankan tugasnya dengan baik. Sang Raja sangat murka, dan Empu
Umyang kemudian diusir dari Demak. Empu Umyang terpaksa meninggalkan
Demak dengan hati yang kecewa dan duka. Dalam perjalanannya yang sangat
berat itu, akhirnya sampailah ia di kota Miring. Menginjak desa Wanasari
di daerah Kota Miring, Empu Umyang melihat sebuah kolam yang sangat
jernih airnya. Kolam tersebut sering disebut sebagai kolam kehidupan.
Sebab bila ada binatang yang mati kemudian dimasukkan kedalam kolam itu
maka hiduplah kembali. Timbullah gagasan Empu Umyang, ingin sekali
membuat keris yang sakti di tempat itu. Segera ia menyiapkan segala
perlengkapannya. Mulailah ia bekerja. Besi ditempa dibentuk mirip Kyai
Sengkelat, berkelok tiga belas, sebagai pendingin dipergunakan air sakti
kolam tersebut. Ketika ia sedang memasukkan bakal keris itu ke dalam
kolam sakti, di sebuah pohon di sendang ada seekor hantu yang sedang
berayun-ayun. Setelah selesai, ternyata pusaka keris yang dibuatnya itu
benar-benar ampuh dan hebat. Keris tersebut bersinar-sinar, cahayanya
memenuhi antariksa. Jaka Sura alias Empu Umyang sangat-senang hatinya.
Keris tersebut lalu diberi nama Tundung Mediyun. Diberi nama demikian
sebab keris itu dibuat ketika ia diusir (ditundung) dari Demak. Karena
waktu keris itu dibuat, ia melihat seekor hantu (memedi) yang sedang
berayun-ayun maka lalu disebut Tundung Mediyun.
Dinukil oleh
Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan
Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Cerita Rakyat Jawatimur, DEPARTEMEN
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Foto : Sendang Tundhung Mediun.