Search This Blog

Thursday, July 24, 2014

Pertumbuhan Sriwijaya

Pembentukan dan pertumbuhan Sriwijaya

Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.[8] Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.

Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengendalikan dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama.[2] Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan.
Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.



Sumber : id.wikipedia.org
Foto........: Candi Muara Takus, salah satu kawasan yang dianggap sebagai ibukota Sriwijaya.


1       2       3       4       5       6        7        8        9        10.....

Sriwijaya

Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Jawa:....; Thai: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy") adalah salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan pesisir Kalimantan.

Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan wijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan", maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.

Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan di antaranya tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.

Setelah jatuh, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi tahun 1918 dari sejarawan Perancis George Cœdès dari École française d'Extrême-Orient.


Catatan sejarah Kerajaan Sriwijaya
Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia.
Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.

Selain berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Sayang, kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu digunakan justru buat jembatan. Tercatat ada 17 keping perahu yang terdiri dari bagian lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan bagian buritan untuk menempatkan kemudi.
Perahu ini dibuat dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan dengan temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat kayu.

Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum kolonialisme Belanda.

Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu.
Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.

Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang), tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya. Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini adalah buatan manusia. Bangunan air ini terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektar. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktifitas manusia.
Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang), dengan catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).

Catatan :


Ibukota Sriwijaya, Jawa, Kadaram, Dharmasraya

Bahasa Melayu Kuna, Sanskerta

Agama Buddha Vajrayana, Buddha Mahayana, Buddha Hinayana, Hindu

Pemerintahan Monarki

Maharaja
- 683 Sri Jayanasa
- 702 Sri Indrawarman
- 775 Dharanindra
- 792 Samaratungga
- 835 Balaputradewa
- 988 Sri Cudamani Warmadewa
- 1008 Sri Mara-Vijayottunggawarman
- 1025 Sangrama-Vijayottunggawarman

Sejarah
- Didirikan 600-an
- Invasi Dharmasraya 1100-an

Mata uang Koin emas dan perak

Sumber : id.wikipedia.org
Foto........: Peta Jangkauan terluas Kemaharajaan Sriwijaya sekitar abad ke-8 Masehi.


1      2      3      4      5       6      7     8      9       10......

PRABU SILIWANGI

PRABU JAYADEWATA (1482 – 1521)
( PRABU SILIWANGI )
Jayadewata secara resmi diangkat sebagai raja
Kerajaan Pajajaran yang bertahta di Pakuan saat berusia
81 tahun. Saat pengangkatannya, dilakukan 2 kali
penobatan. Dari penobatannya pertama sebagai
penguasa Galuh beliau diberi gelar Ratu Purana Prebu
Guru Dewapranata. Sedangkan untuk penobatannya
sebagai penguasa Sunda-Galuh, beliau diberi gelar Sri
Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang
Ratu Dewata .
Dari beberapa kali pernikahannya, Sri Baduga
Maharaja dikabarkan memiliki 13 orang anak yang rata-
rata menjadi raja / penguasa yang menyebar ke seluruh
Tatar Pasundan.
Karena sepak terjang Jayadewata saat menjadi
Prabu Anom maupun setelah menjadi Raja Pajajaran
begitu hebat dan dikagumi oleh seluruh rakyatnya serta
dianggap sebagai raja di tatar Sunda yang terbesar
setelah era kekuasaan kakeknya (Prabu Niskala
Wastukancana), maka banyak para pujangga Sunda
menceritakan tokoh ini ke dalam bentuk sastra (seperti
dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun). Melalui bahasa
pujangga-pujangga tersebut Jayadewata digelari Prabu
Siliwangi (berasal dari kata “silih” yang berarti
menggantikan dan “wangi” yang diambil dari gelar
kakeknya yaitu Prabu Wangi / Prabu Anggalarang /
Prabu Niskala Wastukancana). Jadi, penggunaan gelar
Prabu Siliwangi ini sebenarnya bukan merupakan gelar
resmi, dan sang raja pun tidak pernah menggunakan
gelar ini untuk menunjukkan jati dirinya (seperti yang
tertulis pada prasasti-prasasti). Pemakaian sebutan
Prabu Siliwangi lebih bersifat kesusastraan, dan
kebiasaan dari rakyat di zaman itu yang merasa tabu
(tidak boleh) untuk menyebut secara langsung nama
atau gelar sesungguhnya dari sang raja yang berkuasa
dalam percakapan mereka sehari-hari.
Wangsakerta (ahli sejarah dari Cirebon sekaligus
penganggung jawab dari penyusunan Sejarah Nusantara)
mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi,
seperti tulisannya :
"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon
mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu
Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga
nira"
(Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua
orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja
Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya).
Jayadewata merupakan Prabu Siliwangi yang
sangat terkenal atau yang selama ini sering diceritakan
kemahsyurannya didalam cerita-cerita sejarah Pajajaran
dan masyarakat Sunda.
Di saat kekuasaanya, Pajajaran mengalami masa
kejayaannya ( kretayuga ), dimana sosial ekonomi
rakyatnya cukup sejahtera serta Pakuan yang menjadi
ibukota kerajaan mencapai puncak perkembangannya.
Sang Maharaja memperkuat sistem pertahanan
Pakuan secara spektakuler yaitu dengan cara
memperkokoh parit yang mengelilingi kerajaannya
sepanjang 3 kilometer di tebing Cisadane (parit tersebut
pertama kali dibuat oleh Rakeyan Banga). Sedangkan
bekas tanah galian dari proyek itu kemudian dijadikan
benteng yang memanjang di bagian dalam, sehingga jika
musuh menyerang dari luar akan terhambat oleh parit
kemudian benteng tanah.
Kemudian Sang Maharaja membuat tanda
peringatan berupa gunung-gunungan, yaitu bukit
Badigul di daerah Rancamaya (Bogor). Tempat tersebut
dijadikan sebagai tempat upacara keagamaan dan
menyemayamkan abu jenazah dari raja-raja tertentu.
Beliau juga memperkeras jalan dengan batu-
batuan tertentu dari keraton hingga gerbang Pakuan,
kemudian dilanjutkan lagi hingga ke Rancamaya (kurang
lebih 7 km). Gerbang Istana depan dinamakan Lawang
Saketeng, sedangkan gerbang istana belakang
dinamakan Lawang Gintung.
Untuk pelestarian lingkungan alam, Sang
Maharaja membuat semacam hutan lindung yang
berfungsi sebagai reservoir alami. Hutan tersebut
ditanami pohon samida, pohon tersebut kemungkinan
hanya boleh ditebang jika kayunya diperlukan untuk
kepentingan upacara kremasi.
Karya besar dari Sri Baduga Maharaja yaitu
pembangunan telaga besar yang bernama Sang Hyang
Talaga Rena Mahawijaya di hulu sungai Ciliwung
(Rancamaya, Bogor). Telaga tersebut berfungsi sebagai
tempat pariwisata dan penyuburan tanah.
Karya-karya lainnya dari Sri Baduga Maharaja
antara lain membuat jalan ke Wanagiri, membuat
“kaputren” (tempat isteri-isteri-nya),
“kesatrian” (asrama prajurit), satuan-satuan tempat
(pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat
angkatan perang, serta menyusun Undang-Undang
Kerajaan Pajajaran. Undang-undang yang disebut
Sanghiyang Siksakandang Karesian ini dirumuskan
berdasarkan sistem pemerintahan Sri Baduga Maharaja
yang sangat adil, Undang-Undang ini disusun pada
tahun 1518.
Sri Baduga Maharaja memiliki ahli syair yang
bernama Buyut Nyai Dawit , sedangkan ahli pemerintahan
dipegang oleh Adipati Pangeran Papak.
Kebijakan yang paling menarik di saat kekuasaan
dari Sri Baduga Maharaja adalah dengan membuat
penetapan batas-batas kabuyutan (daerah yang
dianggap suci dan dijadikan pusat pendidikan) yang
dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" atau disebut juga
desa perdikan (desa bebas pajak) di daerah Sunda
Sembawa, Gunung Samaya, dan Jayagiri. Tindakan ini
diambil karena Sri Baduga Maharaja merasa harus
menjalankan amanat dari kakeknya (Prabu Anggalarang /
Prabu Niskala Wastukancana). Bahkan amanat tersebut
diabadikan dalam prasasti yang terbuat dari tembaga
sebanyak 5 keping. Prasasti tersebut kemudian
ditemukan di Kabantenan. (isi dari prasasti itu lihat
Kerajaan Sunda sub- Prabu Anggalarang).
Penduduk di lurah kawikuan tersebut dibebaskan
dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga
perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif / kerja
bakti), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare
dongdang" (padi 1 gotongan).
Selain di 3 buah desa kawikuan, Sri Baduga
Maharaja juga memerintahkan kepada para petugas
muara agar dilarang untuk memungut bea. Raja ini
menganggap, tidak perlu memungut pajak pada mereka
yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada
ajaran-ajaran dan yang terus mengamalkan peraturan
dewa.
Dalam hal memperkuat angkatan perang, Prabu
Siliwangi ini membentuk satuan tentara dengan tugas
yang jelas. Misalnya Bhayangkara (prajurit keamanan),
Pamarang (prajurit yang ahli memainkan pedang) dan
Pamanah (prajurit ahli memanah). Dan terakhir Pasukan Elite Pengawal Raja, Puragabaya .Dengan pembagian
tugas tersebut menjadikan Pajajaran memiliki armada
perang yang tangguh.
Sedangkan untuk pertahananan di dalam
kerajaan, Sri Baduga Maharaja selalu menekankan
kepada rakyatnya agar berpedoman setia kepada
kebiasaan dan keaslian leluhur, jika hal itu dilaksanakan
dengan baik, maka beliau meyakini bahwa Pajajaran
tidak akan kedatangan musuh. Beliau sangat
menganjurkan kepada semua pendeta dan pengiringnya
untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi
penuntun kehidupan rakyat.
Kemahsyuran Pelabuhan Muara Jati sebagai
pelabuhan internasional makin berkembang saat Raden
Walangsungsang (anaknya dari Subang Larang),
menetap di Cirebon dan mendirikan Pakuwuan Cirebon
Larang di Cirebon pesisir. Langkah yang dilakukan
Raden Walangsungsang dalam mengelola Pelabuhan
Muara Jati waktu itu (tugas warisan dari Ki Gedeng Tapa
yang telah wafat) di antaranya adalah membentuk satuan
penjaga keamanan untuk mengamankan Pelabuhan
Muara Jati yang semakin ramai.
Setelah daerah itu semakin maju, akhirnya Raden
Walangsungsang diangkat sebagai raja daerah Kerajaan
Cirebon Larang oleh Sri Baduga Maharaja.
Sebagai kerajaan yang memperoleh pendapatan
dari hasil niaga, Pajajaran saat itu merasa cemas
dengan hubungan harmonis antara Cirebon Larang (yang
dipimpin oleh anaknya yang bernama Raden
Walangsungsang) dan Demak. Pada saat itu, armada
Laut Demak sering berada di pelabuhan Muara Jati. Sri
Baduga Maharaja khawatir apabila kehadiran armada
Demak dapat mengganggu jalannya perniagaan
Pajajaran. Sekitar abad ke-15 di Nusantara, Pajajaran
dan Demak termasuk kerajaan yang memiliki jalur
perdagangan sangat ramai.
Demak yang terkenal kuat dalam angkatan
lautnya, saat itu tengah mengalami beberapa kekalahan
dari Portugis yang telah menguasai selat Malaka. Berita
kekalahan ini membuat Sri Baduga Maharaja merasa
perlu mengadakan hubungan kerjasama dengan
Portugis.
Seperti yang kita tahu, Pajajaran merupakan
penguasa di Selat Sunda dan Portugis berkuasa di Selat
Malaka. Sebagai penguasa di 2 selat yang menjadi jalan
masuk perniagaan dan bangsa asing ke Nusantara,
tentunya keputusan Sri Baduga Maharaja ini sangat
cemerlang. Kerjasama antara Pajajaran dan Portugis
sangat tepat dilakukan untuk menguasai jalur niaga di
Nusantara.
Kerjasama ini dilakukan bukan maksud
menggalang kekuatan untuk menyerang Demak,
melainkan hanya upaya antisipasi apabila Demak
membantu Cirebon melakukan serangan dalam upaya
pembebasan diri dari Pajajaran. Rupanya, Sri Baduga
Maharaja sudah dapat mencium gelagat dari Raden
Walangsungsang dalam upaya memerdekakan diri.
Untuk memuluskan rencananya, maka Sri Baduga
Maharaja mengutus Surawisesa (putera mahkota
Pajajaran) untuk mengadakan kerjasama dengan Alfonso
d’ Albuquerque (Laksamana Bunker Portugis di Malaka).
Pada tahun 1512, Surawisesa mengunjungi
Malaka dan akhirnya perjanjian bilateral resmi antara
Pajajaran – Portugis, dengan hasil kesepakatan adalah
Portugis berjanji untuk membantu Kerajaan Pajajaran
bila diserang oleh pasukan Demak dan Cirebon, serta
ingin menjalin hubungan dagang.
Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1513,
Pajajaran didatangi oleh duta-duta dari Portugis dengan
menumpang 4 buah kapal. Salah seorang dari
rombongan Portugis tersebut bernama Tome Pires yang
bertindak sebagai juru catat perjalanan. Tome Pires
sendiri mencatat mengenai kekuasaan dari Sri Baduga
Maharaja adalah “the kingdom of Sunda is justtly
governed” (Kerajaan Sunda / Pajajaran diperintah
dengan adil). Kerjasama kali itu baru merupakan tahap
penjajakan.
Kebijakan-kebijakan dari Prabu Siliwangi itulah
yang menunjukan kemakmuran, kebesaran, dan kejayaan
Pajajaran pada masa kekuasaannya. Raja ini menerapkan
motto hidup “silih asah, silih asih, silih asuh“ . Dengan
kebijakan dan strategi-strategi itu pula, kita dapat
mengakui bahwa Prabu Siliwangi ini adalah seorang
raja yang mampu memimpin kerajaan dan juga seorang
yang ahli strategi perang, sehingga saat itu Pajajaran
tidak dapat disusupi oleh musuh. Karena itulah, orang
pada zaman itu seakan teringat kembali kepada
kebesaran mendiang kakek buyutnya (Prabu Maharaja
Lingga Buana) .
Dalam Carita Parahyangan, pemerintahan Sri
Baduga dilukiskan demikian :
"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh
ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan
kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja
loba di sanghiyang siksa"
(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan
kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit
batin. Bahagia sejahtera di utara, selatan, barat dan
timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah
tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Namun kebesaran yang dimiliki Pajajaran saat
itu tidak serta merta membuat sang raja merasa tenang,
hal ini dikarenakan pada saat itu banyak Rakyat
Pajajaran yang beralih ke agama Islam dengan
meninggalkan agama lama. Mereka oleh sang Maharaja
disebut "loba" (serakah) karena merasa tidak puas
dengan agama yang ada, lalu mencari yang baru.
Meskipun merasa kesal, tetapi Sri Baduga Maharaja
hanya bisa menyindir tanpa melakukan tindakan “fisik”
atau mengeluarkan perintah larangan, karena beliau
menyadari bahwa memilih agama merupakan hak bagi
setiap rakyatnya. Dengan demikian beliau tetap
memperlakukan adil bagi rakyatnya yang telah memeluk
agama Islam.
Untuk lebih mempererat kerjasama dengan
Portugis, pada tahun 1521 Sri Baduga Maharaja kembali
menugaskan Surawisesa untuk menemui Portugis di
Malaka. Penugasan ini dilakukan beberapa bulan
sebelum sang Maharaja wafat.
Sri Baduga Maharaja wafat pada tanggal 31
Desember 1521 dalam usia yang sangat sepuh yaitu 120
tahun. Kekuasaan Kerajaan Pajajaran diserahkan pada
puteranya yang bernama Surawisesa (anak dari Kentring
Manik Mayang Sunda).
Ketika sudah dikubur selama 12 tahun, makam Sri
Baduga Maharaja digali kembali atas perintah dari
Surawisesa. Kemudian kerangkanya diangkat untuk
dikremasi. Setelah itu, abu jenazahnya tadi kemudian
ditaburkan di Rancamaya, Bogor ( kini sudah
dijadikan lapangan golf serta perumahan mewah).
Selain di Rancamaya, sisa abu jenazahnya itu kemudian
dibagikan kepada raja-raja daerah (bawahan Pajajaran)
untuk dipusarakan di tempat kabuyutan daerah itu.
Karena itulah, maka tidak perlu heran apabila di
beberapa tempat banyak yang mengklaim sebagai
tempat dari makam Prabu Siliwangi.


1      2      3      4      5       6      7     8      9       10......

TUNDHUNG MEDIUN

Pada jaman dahulu adalah seorang empu yang termashur Empu Supa namanya. Empu Supa adalah putera Empu Supadriya yakni seo­rang pandai besi di Majapahit yang membuat senjata atau alat-alat perang kerajaan Majapahit. Empu Supa kawin dengan Dewi Rasawulan, adik Sunan Kalijaga, putera puteri Harya Teja Bupati Tuban. Dari hasil perka­winannya dengan Dewi Rasawulan, Empu Supa dikaruniai seorang anak yang diberi nama Empu Supa Muda. Selain memperistri Dewi Rasawulan Empu Supa juga mengawini seorang puteri, yakni Dewi Sugihan atau Dewi Lara Upas. Perkawinannya dengan Dewi Lara Upas dikaruniai seorang putera yang diberi nama Jaka Sura.

Pada suatu hari Empu Supa disuruh oleh Sunan Kalijaga mem­buat pisau untuk menyembelih kambing. Untuk membuat pisau tersebut Sunan Kalijaga memberikan sepotong besi yang lazimnya dipakai untuk membuat keris. Segera Empu Supa bekerja dengan tekun, membuat pisau pesanan Sunan Kalijaga. Tetapi, rupa-rupanya sudah menjadi takdir dewa-dewa, bukan pisau penyembelih kambing yang dihasilkan, tetapi sebuah keris yang amat indah dan menakjubkan. Sebuah keris yang sempurna dengan luk tiga belas. Konon, kata orang hanya raja diraja yang pantas memakai keris tersebut. Keris tadi lalu diberi nama Kyai Sengkelat.

Sunan Kalijaga segera memberikan perintah supaya keris ter­sebut disimpan saja terlebih dahulu. Kemudian Sunan Kalijaga bersabda, “Ya sudahlah, hanya Tuhan saja Yang Maha Mengetahui dan bisa me­mahami peristiwa semacam ini”.
Sesudah peristiwa tersebut, Sunan Kalijaga lalu menyuruh membuat lagi sebuah keris yang cocok dan pantas untuk seorang ulama. Sesudah selesai dan jadi, keris tadi lalu diberi nama Kyai Crubuk dan di­persembahkan kepada Sunan Kalijaga. Terceritalah pada waktu itu kerajaan Majapahit sedang diserang wabah penyakit yang amat mengerikan. Banyak orang yang mati. Konon, kabarnya banyak orang pagi sakit, sore mati, sore sakit dan paginya hanya tinggal nama. Menurut keyakinan rakyat Majapahit dan juga diperkuat oleh para kelu­arga istana, wabah penyakit ini ditimbulkan oleh sebuah pusaka kerajaan yang bernama Kyai Condong Campur. Pada waktu itu pun Putri Cempa, permaisuri raja Majapahit juga sedang gering. Oleh karena itu segenap warga punggawa kerajaan Majapahit disiapkan agar supaya menjaga Kerajaan Majapahit.
Pada suatu hari yang bertugas jaga di Kerajaan Majapahit ialah Tumenggung Empu Supadriya dan Supagati. Akan tetapi karena kedua­nya sedang menderita sakit, maka tugas jaga tersebut lalu dilimpahkan para puteranya. Empu Supadriya diwakili oleh Empu Supa, Empu Supa­gati diwakili oleh Empu Jigja. Pada waktu itu Empu Supa menyandang keris Kyai Sengkelat, dan Empu Jigja memakai keris Kyai Sabuk Inten. Pada malam itu Kyai Condong Campur keluar dari sarungnya. Wibawa keris sakti memang menakjubkan. Semua punggawa kerajaan seperti kena sirep, semua tidur nyenyak sekali.
Demikian juga para kerabat istana tak satu pun yang mampu mempertahankan kantuknya. Pada waktu menyaksikan Kyai Condong Campur sudah meninggalkan sarungnya, Kyai Sengkelat diikuti oleh Kyai Sabuk Inten dengan cepat melesat dari sarungnya mengejar Kyai Condong Campur. Terjadilah peperangan yang sangat hebat, Kyai Condong Campur dikeroyok oleh Kyai Sengkelat dan Sabuk Inten. Dalam peperangan yang amat hebat itu, Kyai Condong Campur akhirnya terdesak, lalu segera melarikan diri, kembali ke sarungnya. Mulai saat itu wabah penyakit yang melanda Kerajaan Majapahit hilang sama sekali. Orang yang sakit jadi sembuh dengan tiba-tiba. Maka Kerajaan Majapahit kembali menjadi aman dan tenteram seperti sediakala.
Sudah menjadi kebiasaan di Kerajaan Majapahit, setiap bulan Sura diadakan upacara membersihkan pusaka kerajaan. Pada saat-saat yang penting ini Sang Raja Brawijaya berkenan menyaksikan pelaksanaan upacara. Betapa terkejutnya Sang Raja Brawijaya ketika menyaksikan keadaan keris sakti, Kyai Condong Campur. Kelihatan citra sang pusaka sakti ini telah rontok dan hancur.
Sang Raja Brawijaya kemudian memanggil Tumenggung Empu Supa­driya. Sang Empu disuruh memperbaiki pusaka sakti yang citranya telah rontok tersebut. Empu Supadriya segera bekerja dengan keras memperbaiki citra sang keris sakti Kyai Condong Campur, agar pulih seperti dahulu. Keris sakti tersebut, lalu dimasukkan ke dalam api pem­bakaran, dengan maksud akan ditempa kembali. Setelah dibakar, kemu­dian disiapkan pada tempat menempa. Akan tetapi rupa-rupanya sudah menjadi takdir Yang Maha Kuasa, tiba-tiba pusaka sakti tersebut musnah, melesat ke antariksa.
Dan menurut ujar orang, lalu menjadi bintang berekor. Di angkasa sang pusaka sakti tersebut lalu bersuara, yang lazim­nya diujudkan dalam bentuk tembang Jawa Sinom seperti berikut:
Heh Sang Prabu Brawijaya
(Hai Sang Prabu Brawijaya)
Poma den ngati-ngati
(Harap engkau berhati-hati)
Sira mitenah maring wang
(Engkau telah menfitnah aku)
Manira darma nglakoni
(Engkau hanya sekedar menjalani)
Iyo pratandha iki
(Ini adalah sebuah pertanda)
Dadi rusak negaramu
(Jadi rusak negaramu)
Ya siro tutugna
(Ya, baiklah engkau lanjutkan)
Gawea keris kang becik
(Buatlah keris yang baik)
Hangupayaa keris dhapur sasra
(Usahakanlah membuat keris bercorak seribu).
Tersebutlah dalam kisah ini, negeri Blambangan, berdasarkan petunjuk seorang ahli nujum bernama Huyung Tingkir, Adipati Blam­bangan mengetahui bahwa wahyu kerajaan tersebut sedang berada di Tuban berupa sebuah pusaka keris sakti yang bernama Kyai Sengkelat. Maka dari itu Adipati Blambangan menyuruh seorang pencuri ulung yang bernama Cluring untuk mencuri keris pusaka tersebut. Cluring maling yang sakti, akhirnya berhasil mencuri keris Kyai Sengkelat dari kediaman Empu Supa. Keris Kyai Sengkelat segera dipersembah­kan kepada Sang Adipati Blambangan. Karena jasa-jasanya ini Cluring diangkat menjadi Patih Mangkubumi di Blambangan.
Sudah menjadi kebiasaan, pada saat-saat tertentu Sunan Kalijaga menjenguk ke Tuban, meninjau kemenakannya si Supa Muda. Demikianlah kisahnya, Sunan Kalijaga ingin mengetahui keadaan keris sakti Kyai Sengkelat yang dulu disimpan oleh Empu Supa. Betapa ter­kejutnya Empu Supa setelah menyaksikan bahwa Kyai Sengkelat sudah hilang dari tempat penyimpanannya. Sunan Kalijaga lalu memberikan wejangan-wejangan kepada Empu Supa, tentang hilangnya keris sakti Kyai Sengkelat. Sunan Kalijaga memberi perintah kepada Empu Supa, agar supaya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan kembali keris sakti Kyai Sengkelat. Tidak boleh tidak keris sakti itu harus bisa diketemukan kembali.
Empu Supa pun segera bersiap pergi mencari hilangnya keris Kyai Sengkelat. Ia berjalan terus ke timur. Dalam pengembaraannya itu Empu Supa sampai di pulau Madura. Di pulau ini Empu Supa meng­ganti namanya menjadi Kasa. Ia mengabdi pada seorang pandai besi yang bernama Empu Singkir. Bersama Empu Singkir, Empu Supa membantu membuat tombak dan keris. Dari Madura ia meneruskan perjalanannya sampai di Kahuripan. Di Kahuripan Empu Supa mengabdi pada seorang pandai besi Empu Bassu. Akhirnya Empu Supa sampai di negeri Blambangan dan berganti nama sebagai Pitrang. Di Blambangan Pitrang mengabdi pada Empu Sarap, seorang pandai besi yang terkenal di negeri Blambangan.
Pada waktu itu negeri Blambangan sedang mempersiapkan diri untuk memerangi Majapahit. Oleh karena itu Empu Sarap dan Pitrang mendapat pesanan membuat senjata yang sangat banyak. Kepandaian Pitrang membuat senjata ternyata menyebabkan namanya tersohor, Patih Mangkubumi, Cluring dibuatkan keris Tilam Putih dan tombak Biring. Mendengar berita bahwa Pitrang sangat pandai membuat senjata, sang Adipati Blambangan segera memanggilnya. Sesudah Pitrang meng­hadap, Sang Adipati minta supaya dibuatkan keris yang mirip dengan Kyai Sengkelat.
Karena Pitrang memang seorang pembuat keris yang pandai, pusaka keris buatan Pitrang tadi benar-benar persis sama dengan aslinya sehingga sulitlah bagi orang-orang biasa untuk membedakannya. Kesempatan yang baik ini tidak disia-siakan oleh Pitrang, yang tidak lain adalah Empu Supa yang menyamar. Segera pusaka sakti keris Kyai Sengkelat yang asli disembunyikannya. Lalu Pitrang membuat dua buah keris Sengkelat palsu. Dua buah keris yang palsu inilah yang diserahkannya kepada Adipati Blambangan.
Sang Adipati merasa sangat berkenan atas karya Pitrang. Oleh karena itu Sang Adipati Blambangan memberi anugerah Pitrang seorang putri yang bernama Dewi Sugihan, yang juga lazim disebut Dewi Lara Upas. Sesudah berhasil memperoleh kembali keris Kyai Seng­kelat, Empu Supa pun segera kembali ke Tuban. Pada waktu itu Dyah Sugihan sedang mengandung, lalu melahirkan seorang putera laki-laki yang kemudian diberi nama Jaka Sura.
Pada waktu itu Kerajaan Majapahit sedang mengumpulkan semua empu di seluruh wilayah Kerajaan Majapahit. Tujuan utama ialah agar para empu tersebut menciptakan sebuah keris yang bercorak seribu, seperti yang pernah disarankan oleh Kyai Condong Campur yang seka­rang telah menjadi bintang berekor.
Pada waktu itu semua empu sudah hadir. Hanya Empu Supa saja yang belum kelihatan di persidangan. Kemanakah perginya? Tumenggung Supadriya segera menyembah dan berkata, bahwa Empu Supa sekarang sedang pergi ke Tuban menjenguk keluarganya.
Kemudian Tumenggung Supadriya disuruh menyusul Empu Supa agar supaya segera menghadap sang raja di Majapahit. Sesampainya di Tuban ternyata Empu Supa tidak ada di rumah, sebab sedang mengem­bara. Di rumah tinggallah istrinya Dewi Rasa Wulan dan anaknya si Supa Muda.
Karena takut kalau-kalau raja murka, sebagai bukti bahwa Empu Supa benar-benar tidak ada di rumah, maka putra dan putri Empu Supa lalu diajak serta untuk menghadap sang raja di Kerajaan Majapahit.
Setelah mereka sampai di Kerajaan Majapahit, Tumenggung Supadriya segera memberikan laporan bahwa Empu Supa baru saja mengadakan pengembaraan, dan pulangnya belum dapat dipastikan. Sang Raja segera bertanya, siapakah anak muda yang bernama Empu Supa tersebut. Tumenggung Supadriya menjawab, bahwa anak muda tidak lain ialah si Supa Muda, anak Empu Supa. Sang Raja bertanya ke­pada Supa Muda. “Apakah kau dapat membuat keris yang bercorak seribu?” Supa Muda itu menjawab, “Hamba, hamba, dapat Gusti, dengan berkah dari Yang Maha Agung”.
“Nah, baiklah. Sekarang engkau saya perkenankan mundur dari persidangan ini. Jangan lupa pada janjimu untuk membuat keris bercorak seribu. Segera engkau mengerjakannya”, demikian sang raja berkata.
Dengan kesanggupan tersebut, Supa Muda lalu mengumpulkan bermacam-macam jenis besi dari segala penjuru dunia, dikumpulkannya di pantai Tuban. Setelah segala macam besi terkumpul, besi-besi tersebut lalu ditempanya. Maksudnya akan dijadikan sebuah keris yang bercorak seribu. Namun, meskipun sudah bekerja dengan keras, dengan tekad yang teguh, usahanya tersebut belum menampakkan hasil. Setiap ditem­pa, besi-besi tersebut selalu melebur dan tidak dapat menyatu. Karena putus asa, Supa Enom menangis tersedu-sedu, merendam dirinya di pantai utara laut Tuban.
Kebetulan pada saat itu Sunan Kalijaga menyaksikan apa yang terjadi. Maka didekatinyalah kemenakannya tersebut, lalu ia berkata, “Ada apa anakku, engkau menangis tersedu-sedu di pantai Tuban ini?” Supa Muda lalu berceritera bahwa ia disuruh oleh sang Raja di Majapahit supaya membuat pusaka keris yang bercorak seribu.
Tetapi usahanya sampai sekarang belum berhasil. Mendengar akan apa yang diceriterakan oleh Supa Muda, timbullah belas kasihan Sunan Kalijaga kepada kemenakannya. Supa Muda kemudian diberinya sepotong besi pulosari, agar supaya dibuat sebuah keris seperti apa yang diinginkan oleh sang raja di Majapahit. Dengan sangat gembira Supa Muda pun segera bekerja. Kebetulan pada waktu itu, tanpa diduga-duga sama sekali Empu Supa datang dari pengembaraannya. Empu Supa memberikan dorongan dan doa restu kepada anaknya yang sedang membuat keris bercorak seribu.
Dengan restu orang tuanya dan Sunan Kalijaga, Supa Muda dengan teguh dan mantap meneruskan karyanya, membuat pusaka. Akhirnya pekerjaan yang rumit, gawat dan mulia itu dapat diselesaikan juga. Jadilah sebuah keris yang mirip dengan Kyai Sengkelat, tetapi lebih hebat dan ampuh, karena pusaka tersebut bercorak seribu. Keris yang sudah jadi tersebut memang menakjubkan. Bercahaya, berkilauan, dan penuh kewibawaan.
Karena keris tersebut bercorak seribu maka lalu disebut sebagai keris pusaka Nagasasra. Kemudian keris Sakti Nagasasra diserahkan kepada sang raja di Majapahit. Sang Raja sangat berkenan di hati, melihat ujud keris Nagasasra tersebut. Oleh karena itu Empu Supa Muda menda­pat anugerah seorang puteri yang cantik jelita dari kerajaan Majapahit dan diangkat menjadi bupati di Tuban. Di Sendang Sedayu, Jaka Sura, putra Empu Sura dari istrinya Diyah Sugihan atau Lara Upas, pada suatu hari membuka peti kepunyaan sang ibu. Betapa terkejutnya Jaka Sura, karena yang dalam peti tersebut hanyalah potongan-potongan besi belaka. Diyah Sugihan lalu berceritera kepada sang putera tentang asal-usul Jaka Sura. Sang ibu menjelaskan bahwa sebenarnya Jaka Sura adalah putera seorang Empu yang termashur di Kerajaan Majapahit, yakni Empu Supa. Mendengar cerita sang ibu, Jaka Sura sangat senang hatinya. Jaka Sura pun akhirnya ingin belajar membuat keris seperti bapaknya juga. Kemudian ia pun pergi kepada seorang pandai besi di daerahnya. Tapi apa gerangan kata sang pandai besi?
“Kalau kamu hendak belajar membuat keris yang sakti, janganlah berguru kepadaku. Aku hanya seorang pandai besi biasa saja. Pekerjaan saya tidak membuat keris. Tetapi membuat cangkul, sabit dan sebagainya. Kalau kamu ingin belajar membuat keris yang ampuh, coba datang­lah pada Jaka Sura. Ia adalah putera seorang empu yang termashur di Kerajaan Majapahit, Empu Supa. Tentu Jaka Sura pun tidak kalah hebatnya dari bapaknya.
Mendengar ucapan sang pandai besi yang sangat menyindir hati­nya itu, hati Jaka Sura bagaikan diiris dengan sembilu. Hatinya pedih dan sangat sedih. Benaknya penuh dengan segala macam angan-angan dan pikiran. Timbullah tekadnya, ingin membuktikan apa yang dikata­kan sang pandai besi tersebut. Ia bertekad tidak akan pulang sebelum ia berhasil menjadi seorang empu pembuat keris yang benar-benar hebat dan mengagumkan. Dengan tekad tersebut ia langsung masuk ke dalam hutan untuk meminta kemurahan Yang Maha Kuasa. Karena.lelah dalam perjalanan, ia pun kemudian beristirahat di bawah pohon beringin yang sangat rimbun. Tanpa terasa, karena sangat sedihnya ia pun menangis. Dan angin hutan yang berhembus telah merangsang rasa kantuknya. Ia pun mulai hendak tidur. Dalam kantuknya ini tiba-tiba muncullah se­sosok tubuh di mukanya. Jaka Sura terkejut dan bertanya, “Siapakah tuan?”
“Heh, Jaka Sura, ketahuilah aku inilah yang bernama Empu Anjani. Empunya para siluman. Janganlah engkau terkejut, kalau aku tiba-tiba berada di hadapanmu. Jaka Sura, kalau kamu ingin menjadi Empu yang termashur aku tidak berkeberatan memberikan pengajaran kepadamu”, jawab Empu Anjani.
Kemudian Empu Anjani memberikan wejangan dan pengajaran segala macam ilmu membuat keris. Pendek kata Jaka Sura sudah berhasil menyerap ilmu pemberian Empu Anjani sampai tuntas. Setelah selesai Jaka Sura pun pulanglah menemui sang ibu. Semua kejadian yang baru saja dialaminya diceriterakannya kepada sang ibu. Jaka Sura punya niat ingin menemui bapaknya. Ia pun berangkat ke Kerajaan Majapahit.
Kebetulan pada waktu itu Sang Raja Brawijaya mendapatkan ilham supaya membuat keris. Tetapi keris tersebut harus dibuat oleh seorang Empu yang masih muda. Lagi pula besinya bukan sembarang besi melainkan besi hasil memuja. Perjalanan Jaka Sura pada waktu itu telah sampai di Majapahit. Ia diperkenankan menghadap sang raja. Ketika ia di tanyai sang Raja apakah sanggup membuat pusaka keris dengan besi pujaan, ia pun tidak menolak.
Dengan segala kebulatan cipta dan karsa Jaka Sura pun mulai­lah bersemedi. Hebatnya sang cipta dan karsa, akhirnya terciptalah se­potong besi yang berujud seperti kapas, putih merah warnanya. Jaka Sura pun segera mengerjakan keris tersebut. Besi pujaan tidak ditempa. Besi tersebut dibuat keris oleh Jaka Sura hanya dengan jari-jari tangan saja. Orang-orang yang menyaksikannya sangat kagum. Demikianlah juga Sang Raja Brawijaya. Akhirnya keris pusaka itu selesailah. Keris sakti tersebut diberi nama keris Mangkurat.
Dengan karyanya tersebut, Jaka Sura pun dianugerahi seorang putri kerajaan dan dinobatkan menjadi Pangeran Merdeka di Sendang Sedayu, mengganti Empu Supa yang telah dinaikkan pangkatnya menjadi bupati para empu di Majapahit.
Keadaan telah berubah, Majapahit telah mengalami masa kemun­duran. Timbullah Kerajaan Demak. Demak pecah dengan Pajang. Pecah­nya Demak dengan Pajang semakin gawat. Pada waktu itu Jaka Sura mengabdikan dirinya ke Demak setelah runtuhnya Majapahit. Selanjut­nya Empu Jaka Sura lebih dikenal sebagai Empu Umyang.
Pada waktu itu Empu Umyang diutus sang Raja untuk membuat keris yang lebih sakti daripada keris-keris yang pernah diciptakan. Akan tetapi rupa-rupanya Empu Umyang tidak berhasil menjalankan tugas­nya dengan baik. Sang Raja sangat murka, dan Empu Umyang kemudian diusir dari Demak. Empu Umyang terpaksa meninggalkan Demak dengan hati yang kecewa dan duka. Dalam perjalanannya yang sangat berat itu, akhirnya sampailah ia di kota Miring. Menginjak desa Wanasari di daerah Kota Miring, Empu Umyang melihat sebuah kolam yang sangat jernih airnya. Kolam tersebut sering disebut sebagai kolam kehidupan. Sebab bila ada binatang yang mati kemudian dimasukkan kedalam kolam itu maka hiduplah kembali. Timbullah gagasan Empu Umyang, ingin sekali membuat keris yang sakti di tempat itu. Segera ia menyiapkan segala perlengkapannya. Mulailah ia bekerja. Besi ditempa dibentuk mirip Kyai Sengkelat, berkelok tiga belas, sebagai pendingin dipergunakan air sakti kolam tersebut. Ketika ia sedang memasukkan bakal keris itu ke dalam kolam sakti, di sebuah pohon di sendang ada seekor hantu yang sedang berayun-ayun. Setelah selesai, ternyata pusaka keris yang di­buatnya itu benar-benar ampuh dan hebat. Keris tersebut bersinar-sinar, cahayanya memenuhi antariksa. Jaka Sura alias Empu Umyang sangat-senang hatinya. Keris tersebut lalu diberi nama Tundung Mediyun. Diberi nama demikian sebab keris itu dibuat ketika ia diusir (ditundung) dari Demak. Karena waktu keris itu dibuat, ia melihat seekor hantu (memedi) yang sedang berayun-ayun maka lalu disebut Tundung Mediyun.
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Cerita Rakyat Jawatimur, DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Foto : Sendang Tundhung Mediun.

1      2      3      4      5       6      7     8      9       10......

PRABU SEDA / PRABU RAGAMULYA


PRABU SEDA / PRABU RAGAMULYA (1567 – 1579)

(NU SIYA MULYA / SURYAKANCANA)


Raja Pajajaran yang terakhir adalah Prabu Seda.
Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, beliau telah
meninggalkan Pakuan demi menghindari perang terbuka
yang lebih besar dengan Banten, dan lebih memilih diam
di salah satu Kerajaan daerah yang terletak di Kadu
Hejo, Kecamatan Menes sekitar lereng Gunung Pulasari,
Pandeglang. Wilayah ini merupakan bekas kota
Rajatapura (ibukota Kerajaan Salakanagara di tahun 130).
Di lokasi baru itu, sang raja membuka tempat
pemukiman baru di Cisolok dan Bayah. Entah apa yang
dijadikan dasar pemikiran Prabu Seda memilih wilayah
Pandeglang sebagai ibukota barunya. Mengingat
Pandeglang berdampingan dengan wilayah Kesultanan
Banten.
Beliau berkuasa tanpa mahkota karena sebelum
meninggalkan Pakuan, Prabu Seda sempat mengutus 4
orang Kandaga Lante (panglima) untuk menyerahkan
barang-barang pusaka kerajaan Pajajaran kepada Prabu
Geusan Ulun yang memerintah di Kerajaan
Sumedanglarang. Kandaga Lante berangkat
meninggalkan keraton dengan diiringi sebagian rakyat
Pajajaran yang akhirnya memutuskan mengabdi kepada
Prabu Geusan Ulun. Ada pun barang-barang pusaka
amanat Raja Pajajaran terakhir tersebut berupa Mahkota
Binokasih Sang Hyang Pake Siger terbuat dari emas dan
perlengkapannya (sampai sekarang masih tersimpan
dengan baik di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang).
Pada masa kekuasaan Prabu Seda inilah
Kerajaan Pajajaran sebagai penerus kerajaan Sunda,
mengalami keruntuhan akibat serangan Panembahan
Yusuf dari Kesultanan Banten yang saat itu gencar
melakukan syiar Islam, sedangkan seperti yang kita
ketahui Kerajaan Pajajaran adalah menganut agama
nenek moyang.
Sebenarnya secara “de jure” , kekuasaan
Pajajaran telah habis di masa kekuasaan
Nilakendra. Akan tetapi, Pasukan Banten baru resmi
“memadamkannya” setelah mereka berhasil
menghancurkan Ibukota Pakuan.
Benteng kota Pakuan baru dapat dibobol setelah
terjadi penghianatan dari Komandan pengawal benteng
Pakuan yang merasa sakit hati karena tidak memperoleh
kenaikan pangkat. Tengah malam, pasukan khusus
Banten menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng
terlebih dahulu dibukakan oleh penghianat itu.
Ketangguhan benteng Pakuan yang dibuat oleh Rakeyan
Banga lalu kemudian diperkokoh oleh Prabu
Jayadewata / Prabu Siliwangi ternyata masih terbukti.
Meskipun Pakuan telah lama ditinggalkan oleh rajanya,
tetapi pasukan Banten harus berupaya keras untuk
menembusnya, maka “cara halus” dianggap sebagai cara
yang paling tepat untuk membobol benteng itu.
Kekalahan Pajajaran, ditandai dengan
diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (tempat duduk
saat penobatan tahta) dari Pakuan ke Keraton
Surasowan di Banten oleh pasukan Panembahan Yusuf.
Di atas Palangka itulah biasanya raja Pajajaran diberkati
(diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di
Kabuyutan Kerajaan (tidak di dalam istana). Sesuai
dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok
halus mengkilap. Batu Tahta seperti ini oleh penduduk
biasanya disebut Batu Pangcalikan atau Batu Ranjang .
Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong
ke Banten karena tradisi politik waktu itu mengharuskan
demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka
tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja
baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, maka
Maulana Yusuf / Panembahan Yusuf dianggap sebagai
penerus kekuasaan Pajajaran yang syah karena buyut
perempuannya (Larasantang) adalah puteri dari Prabu
Jayadewata.
Ibukota Pajajaran yang bernama Pakuan akhirnya
tersisih dari percanturan hidup. Pakuan sebagai pusat
pemerintahan akhirnya berakhir setelah
dibumihanguskan pasukan Banten, seluruh ibukota
kerajaan dihancurkan dan penduduknya panik melarikan
diri ke setiap penjuru. Sebagian besar, sembunyi di
hutan-hutan lebat, serta gunung-gunung yang belum
dijamah manusia.
Setelah berhasil menghancurkan Pakuan,
pasukan Banten kemudian menuju Pulasari untuk
menghancurkan ibukota baru itu. Prabu Seda dan
pengikutnya yang setia mengumpulkan segenap
kekuatannya melawan pasukan Banten. Tetapi, akhirnya
sang raja gugur bersama seluruh pengikutnya tanpa
sisa. Pajajaran “lenyap” pada tanggal 8 Mei 1579.
Pajajaran henteu sirna, tapi tilem ngawun-ngawun,
ngan engke bakal ngadeg deui
“Pajajaran tidak sirna, tapi hanya menghilang,
dan suatu saat akan berdiri kembali”.


1      2      3      4      5       6      7     8      9       10......

Makam Kyai Ageng Basyariyah

Kiai Ageng Basyariyah atau Raden Mas Bagus Harun adalah putra dari Dugel Kesambi (Pangeran Nolojoyo), adipati Ponorogo pada akhir abad ke 17 M di bawah naungan Kerajaan Mataram. Meski diasuh dalam keluarga ningrat, RM Bagus Harun lebih banyak menghabiskan masa mudanya untuk nyantri dan menimba ilmu kepada Kyai Ageng Hasan Besari (Tegalsari, Ponorogo). Kepada gurunya ini, RM Bagus Harun tidak hanya belajar ilmu syariat dan tauhid, namun juga memperdalam tashawuf khususnya ajaran tarekat Naqsabandiyah Syathariyah. Selama berguru kepada KA Hasan Besari, RM Bagus Harun dikenal sebagai murid yang alim, cerdas dan tawadhu. Karena itulah, RM Bagus Harun menjadi murid kesayangannya bahkan sampai diangkat menjadi anak.

Alkisah, saat Mataram dipegang oleh Paku Buwono II, terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh RM Gerendi (Pemberontakan Pacinan). Pemberontakan tersebut telah berhasil merebut tahta dan Paku Buwono beserta pengikut setianya mengungsi ke daerah timur. Di tengah pengungsian, Paku Buwono mendapat petunjuk bahwa penolongnya berada di kawasan Ponorogo. Singkat cerita, bertemulah Pakubowono dengan Hasan Besari bersama Bagus Harun. Atas mandat dari Hasan Besari, Bagus Harun ikut Paku Buwono II ke Kertosuro untuk membantu mengembalikan tahtanya. Dengan linuwih kesaktian yang dimiliki oleh Bagus Harun, akhirnya Paku Buwono II bisa merebut kembali tahtanya.
Atas jasanya tersebut dan setelah mengetahui bahwa Bagus Harun ternyata adalah putra adipati Ponorogo (yang masih memiliki garis keturunan sampai Senopati Sutowijoyo), Paku Bowono II berencana mengangkat Bagus Harus sebagai Adipati Banten. Namun Bagus Harun menolak karena harus kembali mengabdi kepada gurunya di Ponorogo. Sebagai gantinya, Paku Buwono II memberikan songsong (payung kerajaan) dan lampit. Songsong kerajaan merupakan simbol pemberian tanah perdikan. Belakangan Songsong tersebut berbuah tanah perdikan di kawasan Madiun yang kemudian dinamai “Sewulan” oleh Bagus Harun
Bagus Harun yang kemudian lebih sering dikenal dengan Kiai Ageng Bayariyah kemudian menetap di Sewulan dan mendirikan masjid dan pesantren hingga akhir hayatnya. Makamnya berada di kompleks makam Sewulan di sebelah Barat Masjid Agung Sewulan, tepatnya di cungkup utama. Di cungkup utama tersebut, makam Kiai Ageng Basyariyah diapit oleh putrinya (Nyai Muhammad Santri) dan menantunya (Kiai Muhammad Santri). Ketiga makam tersebut di naungi kain berwanrna hijau. Di atasnya terdapat kaligrafi dengan khot berwarna emas dan background hitam. Tepat di depan makam Kiai Ageng Basyariyah terdapat songsong tiga tingkat berwarna hijau nan indah. Songsong ini dihias dengan sepasang naga di bawahnya dan difungsikan sebagai rak sederhana untuk tempat Al Quran dan surat yasin.
Kompleks pemakaman di areal Masjid Agung Sewulan ini nampaknya menjadi pemakaman bagi bani basyariyah. Almarhum KH Abdul Bashit, Pengasuh PP Oro Oro Ombo Madiun yang meninggal beberapa bulan yang lalu rupanya juga anggota bani Basyariyah. Makamnya berjarak beberapa meter sebelah barat dari cungkup. Pemakaman “tua” yang menjadi salah satu situs wisata ziarah di Madiun ini selalu ada yang mengunjungi setiap harinya, terlebih di Bulan ramadhan. Beberapa peziarah dan warga sekitar menyakini bahwa makam ini merupakan makam yang keramat. Banyak cerita-cerita unik dan mistis dari makam ini yang jika memungkinkan akan penulis ulas pada kesempatan lain.
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga memiliki garis darah dengan Kiai Ageng Basyariyah. Ulama yang negarawan dan budayawan tersebut menjadi salah satu keturunan ketujuh dari Kiai Ageng Basyariyah. Nenek Gus Dur (Ibu Nyai Hasyim Asy’ Ary) yang bernama Nafiqoh merupakan salah satu putri dari Kiai Ilyas, putra dari Kiai Raden Mas Buntaro. Kiai Mas Buntaro ini adalah salah satu putra dari Kiai Muhammad Santri sekaligus cucu langsung dari Kiai Ageng Basyariyah. Menurut pangakuan Mbah Mawardi, Gus Dur sempat hidup selama 3 tahun di Sewulan semasa kecil, bersama keluarga besar neneknya. Ketua Takmir Masjid Sewulan ini pernah mengisahkan bahwa Gus Dur adalah sosok yang pandai bergaul dan suka bercanda. Beserta beberapa teman sepermainan, mereka kerap bermain-maindi kolam depan Masjid Sewulan. Bahkan kerabat Gus Dur satu ini mengaku punya saksi berupa goresan kecil di pelipis. “Ini merupakan kenang-kenangan waktu dulu bermain dengan Gus Dur di kolam ini”, kenangnya sambil tersenyum.

Kiai Ageng Basyariyah merupakan salah satu ulama’ yang cukup dikenal oleh warga Madiun dan sekitarnya. Ribuan anak turunnya telah tersebar di seluruh penjuru negeri dengan berbagai profesi.

1      2      3      4      5       6      7     8      9       10......

SEJARAH KABUPATEN MADIUN.

Kabupaten Madiun ditinjau dari pemerintahan yang sah, berdiri pada tanggal paro terang, bulan Muharam, tahun 1568 Masehi tepatnya jatuh hari Karnis Kilwon tanggal 18 Juli 1568 / Jumat Legi tanggal 15 Suro 1487 Be - Jawa Islam.



Berawal pada masa kesultanan Demak, yang ditandai dengan perkawinan putra mahkota Demak Pangeran Surya Patiunus dengan Raden Ayu Retno Lembah putri dari Pangeran Adipati Gugur yang berkuasa di Ngurawan Dolopo.

Pusat pemerintahan dipindahkan dari Ngurawan ke desa Sogaten dengan nama baru Purabaya (sekarang Madiun). Pangeran Surya Patiunus menduduki kesultanan hingga tahun 1521 dan diteruskan oleh Kyai Rekso Gati. (Sogaten = tempat Rekso Gati)

Pangeran Timoer dilantik menjadi Supati di Purabaya tanggal 18 Jull 1568 berpusat di desa Sogaten. Sejak saat itu secara yuridis formal Kabupaten Purabaya menjadi suatu wilayah pemerintahan di bawah seorang Bupati dan berakhirlah pemerintahan pengawasan di Purabaya yang dipegang oleh Kyai Rekso Gati atas nama Demak dari tahun 1518 - 1568.

Pada tahun 1575 pusat pemerintahan dipindahkan dari desa Sogaten ke desa Wonorejo atau Kuncen, Kota Madiun sampai tahun 1590.

Pada tahun 1686, kekuasaan pemerintahan Kabupaten Purabaya diserahkan oleh Bupati Pangeran Timoer (Panembahan Rama) kepada putrinya Raden Ayu Retno Djumilah.. Bupati inilah selaku senopati manggalaning perang yang memimpin prajurit-prajurit Mancanegara Timur.

Pada tahun 1586 dan 1587 Mataram melakukan penyerangan ke Purbaya dengan Mataram menderita kekalahan berat. Pada tahun 1590, dengan berpura-pura menyatakan takluk, Mataram menyerang pusat istana Kabupaten Purbaya yang hanya dipertahankan oleh Raden Ayu Retno Djumilah dengan sejumlah kesil pengawalnya. Perang tanding terjadi antara Sutawidjaja dengan Raden Ayu Retno Djumilah dilakukan disekitar sendang di dekat istana Kabupaten Wonorejo (Madiun)

Pusaka Tundung Madiun berhasil direbut oleh Sutawidjaja dan melalui bujuk rayunya, Raden Ayu Retno Djumilah dipersunting oleh Sutawidjaja dan diboyong ke istana Mataram di Pleret (Jogyakarta) sebagai peringatan penguasaan Mataram atas Purbaya tersebut maka pada hari jum'at Legi tanggal 16 Nopember 1590 Masehi nama “Purbaya” diganti menjadi “Madiun ”


1      2      3      4      5       6      7     8      9       10......